Sukses

Petaka Beruntun dan Sigapnya Relawan

Pada Oktober silam, petaka atau kemurkaan alam terjadi beruntun sehingga menimbulkan banyak korban tewas, meninggalkan jejak kehancuran dan traumatis bagi para pengungsi bencana, terutama anak-anak. Di saat koordinasi penanganan bencana yang lamban, para relawan maupun petugas justru tampil sebagai pahlawan.

Liputan6.com, Jakarta: Sepanjang tahun ini bencana alam atau musibah masih melanda beberapa wilayah di Tanah Air. Mulai dari banjir, longsor, kecelakaan kereta api, semburan lumpur, letusan beberapa gunung berapi hingga ganasnya gelombang tsunami. Bahkan pada Oktober silam, petaka atau kemurkaan alam terjadi beruntun sehingga menimbulkan banyak korban tewas, meninggalkan jejak kehancuran dan traumatis bagi para pengungsi bencana, terutama anak-anak.

Boleh dibilang, letusan Gunung Merapi yang paling mengundang perhatian dalam petaka beruntun pada Oktober silam. Berikut ulasan tiga bencana yang dirangkum Liputan6.com:

Banjir Wasior dan Tudingan Pembalakan liar

Dua bulan silam, tepatnya 4 Oktober 2010, banjir bandang meluluhlantakkan Wasior di Papua Barat. Tercatat sedikitnya 155 orang meninggal, puluhan warga cedera, dan lebih dari seratus lainnya hilang akibat bencana di ibu kota Kabupaten Teluk Wondama. Ribuan warga mengungsi karena kehilangan tempat tinggal. Sekitar 80 persen wilayah kota itu pun rusak parah.

Wasior membutuhkan perhatian mendesak, namun anehnya pemerintah dan penggiat lingkungan hidup justru berdebat mengenai penyebab banjir bandang tersebut. Kalangan lingkungan hidup menuding adanya pembalakan liar di Wasior, sebaliknya pemerintah akhirnya membantah tegas tudingan itu. Kendati demikian, petugas maupun relawan bahu-membahu menjalankan tugas kemanusiaan yang di antaranya meringankan penderitaan para korban atau pengungsi [baca: Bersilang Pandangan soal Penyebab Banjir].

Tsunami Mentawai dan Sulitnya Menembus Lokasi Bencana

Belum pulih penanganan Wasior, gempa tektonik sekuat 7,2 skala Richter yang disertai tsunami menyapu Kepulauan Mentawai, Sumatra Barat, 25 Oktober silam. Tsunami yang diperkirakan setinggi dua hingga lima meter ini mengakibatkan sedikitnya 448 orang tewas dan lebih dari 50 orang dinyatakan masih hilang. Pengungsi tercatat mencapai puluhan ribu jiwa. Pemerintah sempat mencabut peringatan tsunami sesaat setelah terjadinya gempa, meski kemudian tsunami tetap terjadi.

Bencana tsunami di Mentawai, mengundang solidaritas banyak kalangan. Namun sulitnya medan dan cuaca buruk sempat menghambat pencarian korban dan distribusi bantuan. Seperti halnya di Wasior, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono juga berkunjung ke Mentawai. Dengan beberapa helikopter, rombongan Presiden mengunjungi Mentawai. Hanya saja, kesigapan petugas maupun relawan sempat tertahan lantaran adanya kesibukan penyambutan rombongan pejabat.

Dan yang lebih disayangkan, saat masa tanggap darurat belum usai, Gubernur Sumatra Barat Irwan Prayitno justru memilih berangkat ke Jerman, tanpa mengantungi izin Presiden. Pilihan sang gubernur akhirnya berbuah teguran dari pemerintah pusat, dalam hal ini Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi [baca: Teguran Tertulis untuk Gubernur Sumbar].

Pulau Sumatra memang kerap diguncang gempa. Pun demikian sejumlah daerah di Tanah Air. Kondisi letak geografis Indonesia yang berada pada tiga lempeng yang bergerak dinamis, mengakibatkan negara ini sering terjadi gempa bumi. Bahkan dalam setahun bisa mengalami 8.000 kali gempa bumi [baca: Setahun, Indonesia Digoyang Gempa Ribuan Kali].

Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika pun menyatakan Indonesia rawan gempa. Menurut BMKG, tercatat sedikitnya 4.000 gempa terjadi di Indonesia setiap tahunnya dan 100 gempa di antaranya berkekuatan lebih dari lima skala Richter, dengan dua gempa berkekuatan cukup besar. Artinya, dari 12 ribu kali gempa yang terjadi di dunia, 30 persennya terjadi di Indonesia. Jika dibandingkan Australia, terjadinya gempa di Indonesia berpotensi 15 kali lebih besar [baca: BMKG: 30 Persen Gempa Dunia Terjadi di Indonesia].

Letusan Merapi dan Gugurnya Sang Juru Kunci

Hanya berselang sehari dari bencana tsunami di Mentawai, letusan Gunung Merapi di perbatasan Jawa Tengah dan Daerah Istimewa Yogyakarta menyentak perhatian publik dalam maupun luar negeri. Pada 26 Oktober 2010, gunung api teraktif di dunia ini mengeluarkan letusan disertai awan panas. Ketika itu awan panas yang disebut penduduk setempat wedus gembel ini menelan korban tewas 43 orang. Di antaranya seorang wartawan dan juru kunci Merapi, Mbah Maridjan [baca: Merapi Meletus].

Sosok Mbah Maridjan mendadak terkenal sejak 2006. Kala itu ia enggan dievakuasi walau Merapi akan meletus. Dia memilih tak meninggalkan Merapi, sampai akhirnya hayat menjemput. Bisa dikatakan, selama 28 tahun mengabdi sebagai juru kunci Merapi, Mbah Maridjan mengajari arti sebuah kesetiaan, kesederhanaan, dan pengabdian yang belakangan menjadi barang mahal di negeri ini [baca: Selamat Jalan Sang Juru Kunci].

Kampung tempat tinggal Mbah Maridjan seperti halnya dusun-dusun lain di lereng Merapi, tertutup debu vulkanik, Sejauh mata memandang hanyalah tampak warna kelabu atau putih keabu-abuan, bahkan sejumlah media asing menyebut desa-desa yang tertutup abu Merapi sebagai Pompeii era modern. Selanjutnya pada 4 sampai 5 November 2010, beberapa kali letusan kembali terjadi.

Jumlah korban tewas meningkat menjadi 135 jiwa, sedangkan jumlah pengungsi hampir mencapai 290 ribu orang. Letusan Merapi kali ini diprediksi tiga kali lebih besar dari erupsi Merapi pada 2006. Debu vulkanik dari Merapi sempat mencapai sejumlah daerah di Jawa Barat, seperti Bandung, Tasikmalaya, dan Ciamis. Kondisi ini membuat beberapa maskapai penerbangan asing membatalkan penerbangannya ke Jakarta. Bahkan, Presiden Amerika Serikat Barack Obama mempercepat beberapa jam kunjungan singkatnya di Indonesia lantaran pesawat Air Force One yang ditumpanginya dikhawatirkan terkena abu vulkanik Merapi [baca: Merapi Erupsi, Kunjungan Obama Dipercepat].

Erupsi besar Gunung Merapi yang terjadi pada Jumat dini hari 5 November 2010 menewaskan 88 orang. Luncuran awan panas itu dikatakan yang terpanjang sejak 1872 silam, yakni mencapai sekitar 12 kilometer. Lantaran itulah, zona aman sempat ditetapkan pada jarak 20 kilometer dari puncak Merapi. Pihak Badan Geologi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral pun menyebut letusan Gunung Merapi dalam dua hari di awal November silam itu yang terbesar dalam kurun seabad terakhir sejarah letusan gunung tersebut. Serta yang terbesar sejak letusan Gunung Galunggung, Jawa Barat, 30 tahun lalu.

Setelah aktivitas vulkanik mereda, pihak Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi pada 3 Desember silam tepat pukul 09.00 WIB mengumumkan status Gunung Merapi diturunkan dari level tertinggi awas menjadi siaga. Kendati status diturunkan, pengungsi tetap diminta bertahan di pengungsian. Hal ini mengantisipasi kegiatan vulkanik yang sulit diprediksi. Belum lagi ancaman lahar dingin dari Merapi [baca: Status Merapi Turun Jadi Siaga].

Menyabung Nyawa di Garis Depan

Lagi-lagi petugas dan relawan bahu-membahu membantu mengevakuasi korban maupun pengungsi Merapi. Sebulan lebih mereka berjuang di garis terdepan, bahkan beberapa di antara relawan dan petugas turut menjadi korban tewas. Mereka pun menyalurkan bantuan ke berbagai tempat pengungsian. Tak hanya di garis depan, sebagian relawan juga berperan aktif menyembuhkan traumatis anak-anak korban pengungsi [baca: Mereka Ada di Garis Depan].

Selain Merapi, Gunung Sinabung di Dataran Tinggi Karo, Sumatra Utara, sempat dua kali mengeluarkan ledakan pada September 2010. Aktivitas vulkanik gunung yang sempat "tidur: selama sekitar 400 tahun ini mengakibatkan 12 ribu warga mengungsi. Pun demikian Gunung Bromo di Jawa Timur, juga meletus. Hingga awal November silam, secara keseluruhan ada 19 gunung di Indonesia yang bersatus waspada. Belasan gunung itu tersebar mulai dari Pulau Sumatra, Jawa, Sulawesi, Bali, hingga provinsi NTT dan Nusa Tenggara Barat [baca: Belasan Gunung di Indonesia Berstatus Waspada].

Dalam beberapa tahun terakhir bencana alam memang kerap melanda Indonesia. Namun, masalah manajemen penanganan bencana ibarat jauh panggang dari api. Lambannya evakuasi dan tersendatnya bantuan masih menjadi persoalan, belum lagi masalah koordinasi. Tak dapat dimungkiri, banyak kalangan relawan yang justru lebih sigap dan berinisiatif dalam hal menangani dampak bencana. Terakhir, sistem peringatan bencana yang kurang efektif, bahkan banyak alat pendeteksi tsunami yang rusak.(ANS)

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

    Video Terkini