Sukses

Lima Wajah Tanpa Suara

Penari topeng Martinus Miroto tampil dalam puncak Festival Topeng Nusantara 2010. Menyuguhkan warna kehidupan dengan caranya sendiri.

Liputan6.com, Kuningan: Layar baru dibuka. Sinar lampu ditujukan ke tengah panggung. Sorotnya mengarah ke pria bertopeng yang menggerakkan tubuhnya dengan perlahan. Gemulai, seakan penuh arti.

Di kaki Gunung Ciremai, Martinus Miroto bergerak ritmis. Malam itu, dia kembali datang untuk (sekali lagi) menyajikan Panji Penumbra dan Tari Topeng Tunggal Lima Wajah. Tarian yang membuat namanya melambung dan kerap diundang ke sana-sini. Tarian yang juga mampu menghangatkan suasana hati para undangan di malam puncak Festival Topeng Nusantara 2010 di tengah udara dingin wilayah Kuningan, Jawa Barat, baru-baru ini.

Dari balik layar, Miroto muncul dengan topeng Penumbranya. Dia mengenakan rok putih panjang terusan. Di bawahnya terbaring tiga penari lain, Ari, Nila, dan Juni--penari yang berlatih di sanggar Miroto di Gamping, Yogyakarta. Di tubuh mereka, menempel lima topeng wajah berbagai ekspresi. Mistis, terlebih ada iringan alunan musik yang terdengar seperti menyayat hati.

Saat penonton hanyut mengikuti gerak, ritme, dan musik, tiba-tiba Miroto bergerak cepat. Namun, dalam sekejap, tubuh dan tangannya bisa berhenti seketika. Seperti terkunci. Diam beberapa saat. Hening. Untuk kemudian memaksa penonton berdecak kagum dan mempertemukan dua telapak tangannya berulang kali.

Itulah Penumbra dengan lima wajahnya. Ditemui seusai mentas, uniknya pria kelahiran Sleman, 23 Februari 1959 itu mengaku tidak mengetahui arti tarian tersebut. "Susah bagi saya menjelaskan arti tariannya. Bisa multitafsir. Saya hanya menari, susah jika disuruh menjelaskan," ujar Miroto. Dia hanya coba menampilkan lima sifat manusia secara bersamaan; marah, senang, murka, sedih, dan normal.

Mulanya, Miroto bermain tari topeng lima wajah seorang diri. Namun, belakangan ada empat penari lain yang diikutsertakan. Selain mengenakan, mereka juga meletakkan topeng di dua kaki dan tangan. Kemudian berbaring dan bergerak bersama. Mereka mempercayai tulang ekor sebagai pusat tumpuan untuk menari.

Jadi ada 25 wajah topeng yang bergerak secara teratur dalam setiap pentas. Mengadah, sesekali menunduk. Mereka juga menengok ke kanan-kiri bersama. Namun, ketika tampil di puncak FTN 2010, Miroto hanya ditemani tiga penari. Lebih sedikit, memang. Tapi sudah bisa mengaduk-aduk emosi orang yang menyaksikannya. Apalagi, saat topeng-topeng itu tertawa bersama, atau merengut seperti orang yang tengah kesal dengan berbagai persoalan hidup.

"Ini sebenarnya topeng murahan. Tidak laku. Hanya orang desa yang punya. Tapi bagi saya ini bagus. Sangat manusia," kata Miroto. Dia membelinya dengan harga Rp 3.500 pada 1994, saat baru pulang belajar di sebuah universitas di California Los Angeles, Amerika Serikat.

Sejak membeli, Miroto tak pernah meninggalkan, apalagi mengganti topengnya. Pernah dia khawatir topeng tersebut akan rusak atau hilang. Untuk itu dia kembali meminta perajinnya membuat duplikatnya. Tapi selalu gagal. Dua kali dibuat, dua kali gagal.

"Ada yang senyumnya terlalu turun, ada juga yang agak naik. Terakhir perajinnya bilang tak sanggup membuat duplikat topeng itu," lanjut Miroto. Belakangan, dia tahu bahwa membuat topeng sangat tergantung dari suasana hati pembuatnya pada saat itu.

Itulah sebabnya, bagi pengajar di Institut Seni Indonesia Yogyakarta ini, topeng Penumbra memiliki arti tersendiri. Miroto mengaku kerap menciumi topengnya. Bahkan, sebelum mentas, dia kerap bilang dan berbicara kepada topengnya, "Kita kerja, ya. Kita buat yang bagus. Namun, bukan berarti topeng ini keramat, ya."

Dalam berbagai sumber disebutkan, Miroto tertarik pada dunia tari sejak anak-anak. Itu membawanya ke Krida Beksa Wirama untuk belajar tari klasik. Di waktu berbeda, dia juga berlatih tari dari tokoh tari kontemporer Bagong Kussudiardjo. Selepas SMP, putra penggender di pentas wayang kulit, Setio Martono, dengan ibu Marwiyah ini kemudian melanjutkan ke SMKI.

Miroto kemudian meraih gelar sarjana di IKJ dan ISI. Dia juga sempat sekolah seni di Folkswang Dance Academy, Jerman, Wuppertal Dance Theater, Jerman, dan American Dance Festival North Carolina, AS. Sejak 1979, dia kerap menari di berbagai negara, dari Jepang, Korea, hingga ke Belanda. "Kemarin saya baru dari Italia," lanjut Miroto, tanpa bermaksud menyombongkan diri.

Selain Penumbra, Miroto juga melahirkan sejumlah karya, seperti Kidung Kunthi, Joko Tingkir, Incarnation, sampai Srimpi Rubuh. Peraih penghargaan dari Sri Sultan Hamengkubowono IX ternyata juga pernah bermain dalam film Opera Jawa pada 2006.

Perjalanan panjang Miroto membuat hidupnya lengkap dan berwarna, seperti lima topeng wajah yang dimainkannya dalam Penumbra. Ada kemarahan, kesenangan, kemurkaan, kesedihan, dan hidup dalam kenormalan. Semua datang silih berganti, sampai lampu mulai dipadamkan dan layar ditutup kembali. Penumbra pun hilang di balik panggung.(ULF)

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.