Sukses

Warga Singkawang Harapkan Kedamaian dan Kemakmuran

Warga Kota Singkawang, Kalimantan Barat, berharap kedamaian dan kemakmuran memayungi kehidupan seluruh warga. Pesan ini diungkapkan sejumlah warga terkait perayaan Cap Go Meh 2012.

Liputan6.com, Singkawang: Warga Kota Singkawang, Kalimantan Barat, berharap kedamaian dan kemakmuran memayungi kehidupan seluruh warga. Pesan ini diungkapkan sejumlah warga terkait perayaan Cap Go Meh atau malam ke-15 setelah Tahun Baru Imlek 2012, Senin (6/2).

"Saya dilahirkan dan dibesarkan di kota ini pula. Setiap tahun saya menyaksikan aksi para tatung, ya kadang merasa bosan," kata Elly warga yang tinggal di Jalan Niaga. "Tapi, saya berharap kota ini tetap damai dan memberikan ketenangan dan juga kemakmuran bagi seluruh warga."

Elly adalah warga Melayu, dengan ayah berasal dari Ciamis, Jawa Barat, dan ibu berasal dari Sambas, Kalimantan Barat. Setiap warga di luar kelompok Cina keturunan atau suku Dayak, oleh warga setempat disebut orang Melayu. Buah perkawinan orangtuanya melahirkan tujuh putra-putri.

"Kami bertahan di kota ini hingga memiliki keturunan, karena kota ini aman. Perbedaan suku dan agama bukan menjadi halangan bagi kami untuk membaur secara rukun," kata Elly.

Pernyataan serupa dikemukakan warga dari suku Dayak atau Cina keturunan sekitar 62 persen dari populasi di kota itu yang berjumlah sekitar 200 ribu jiwa. "Perayaan Imlek atau Cap Go Meh selalu aman. Tidak ada keributan atau huru-hura. Belakangan ini memang ada isu-isu berbau SARA (suku, agama, ras, dan antargolongan), tapi kenyataannya aman," kata Christine, warga dari suku Dayak.

Potret kerukunan kehidupan beragama dan segala perbedaan lain dibuktikan pada puncak perayaan Cap Go Meh di pusat Kota Singkawang. Sekitar pukul 08.00 karnaval yang diikuti 765 tatung dan rombongan dilepas dari Stadion Kridasana. Para tatung pun langsung beraksi di antara suara tetabuhan dan asap kemenyan. Ribuan warga dari berbagai sudut kota administratif itu memadati jalan-jalan protokol yang bakal dilewati peserta karnaval.

Aksi para tatung adalah atmosfer Kota Singkawang pada setiap perayaan Cap Go Meh. Dari tahun ke tahun, jumlah tatung, sosok yang dianggap memiliki kekuatan magis dan bisa mengundang roh ke tubuhnya selalu bertambah. Mereka datang dari berbagai tempat, bahkan Kota Pontianak.

Sementara, warga setempat dan warga dari daerah lain juga menyaksikannya penuh antusias. Beberapa di antara mereka datang sejak seminggu atau tiga hari yang lalu. Mereka lupakan terik matahari, asap kemenyan yang menyesakkan, dan setiap lokasi yang sesak. Inilah pesta budaya milik Kota Singkawang.

Di setiap jalan yang dilewati para tatung, dari yang tergolong anak-anak hingga orangtua, baik pria maupun wanita, unjuk kebolehan. Mereka menusukkan senjata tajam ke wajah, leher, dan bagian tubuh lain. Ada juga tatung duduk atau berdiri di atas pedang atau berdiri di atas paku. Ada juga tatung yang melahap ayam hidup atau bermain-main dengan ular.

Mereka memang kerasukan roh para leluhur atau kesatria di zaman dulu. Rombongan yang mengawalnya pun sangat bersemangat memanggul tatung di atas tandu ataui memainkan tetabuhan khas etnis Cina itu. Tidak sedikit warga yang mengabadikan peristiwa budaya itu dengan kamera atau telepon selulernya.

Warga yang akan menyaksikan atraksi para tatung pun rela memarkirkan kendaraannya beberapa kilometer di luar area karnaval. Sejumlah warga memanfaatkan situasi itu, dengan menyediakan lahar parkir di depan rumahnya.

Tepat ketika azan zuhur terdengar dari Masjid Raya Kota Singkawang di Jalan Masjid, Kota Singkawang, seluruh atraksi yang dilakukan sambil berkeliling kota itu pun berakhir. Para tatung kembali ke rumahnya masing-masing. Beberapa di antaranya juga sempat menggelar atraksi di depan Vihara Tridharma Bumi Raya di pusat Kota Singkawang.

Warga seakan tidak puas dengan sajian aksi-aksi mendebarkan yang dilakukan sepanjang karnaval. Meski durasi karnaval lebih singkat dibandingkan tahun lalu, warga tetap menerimanya dengan lapang. Mereka merasa bahagia bisa menikmati kembali peristiwa yang menandai kehadiran dan keberadaan warga Cina keturunan di kota itu, atau proses akulturasi warga Cina keturunan dan warga lokal. Dan mereka tidak mempedulikan isu-isu yang dihembuskan pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab.

"Yang penting, kita bisa hidup tenang, damai, dan bahagia. Semoga masalah politik tidak membuat kami terpecah-pecah," tegas Aling, sales promotion girl yang menyaksikan karnaval para tatung itu.

Istilah Cap Go Meh berasal dari dialek Hokkien dan secara harfiah berarti malam kelima belas setelah Imlek. Saat itu juga merupakan bulan penuh pertama setelah Tahun Baru. Perayaan ini dirayakan dengan jamuan besar dan berbagai kegiatan.

"Atraksi tatung itu awalnya dilakukan di Monterado, tempat pendulangan emas di Kabupaten Bengkayang. Saat itu, lima jenderal asal Cina tiba di Kalimantan dan salah satunya, Jenderal Ng Kang Sen, tiba di Monterado," kata Tomi, warga Jalan Diponegoro. "Ia menemukan banyak warga yang terkena penyakit, lantas ia mengobatinya dengan cara mengusir roh jahat itu."(ADI/ANS)

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

    Video Terkini