Sukses

Metamorfosa Tayub dan Kesahajaan Reog Jalanan

Tidak semua orang mengenal Tayub. Tarian yang berumur ratusan tahun itu tumbuh di lingkungan kerajaan sejak zaman Kerajaan Singosari pada sekitar abad ke-12.

Liputan6.com, Jakarta: Tayub adalah tarian yang telah hidup berabad-abad. Tarian ini tumbuh di lingkungan kerajaan sejak zaman Kerajaan Singosari pada sekitar abad ke-12. Lantas berlanjut hingga periode Kerajaan Majapahit pada 1500 Masehi.

Tarian ini menempatkan sosok wanita sebagai titik sentral dan sejumlah penabuh gending sebagai pengiring. Masyarakat Jawa menyebut penari Tayub sebagai ledhek. Ada pula sebutan tandak atau ronggeng. Kendati diberi banyak sebutan, misinya sama, yakni menghibur.

Gerakan Tayuban identik dengan Tari Gembyong, yang juga biasa dipentaskan di kalangan istana. Kala Tanah Air dijajah Belanda, pihak perhubungan Indonesia kerap menggunakan Tayub sebagai media untuk memperlihatkan identitas. Bahkan, Belanda tertarik dan membangun tiga sekolah Tayub di Cirebon, Jawa Barat.

Namun, pada masa kolonial, Tayub yang anggun berubah menjadi seronok. Minuman memabukkan jenis ciu atau arak mulai berkembang. Ledhek pun menggunakan kemben sebagai kostum ketika di arena. Dan, dikenal pula tradisi saweran.

Selain Tayub, kiprah kesenian sejumlah warga di Grobogan, Jawa Tengah, menyajikan potret tersendiri. Mereka adalah petani yang berkesenian. Atau, petani yang terpaksa berkesenian?

Warga Desa Tambahrejo, Grobogan, adalah gambaran lain tentang interaksi masyarakat dan kesenian. Mereka adalah kaum petani yang mencoba membalik nasib. Ketika masa paceklik tiba, mereka tinggalkan sawah dan menari di pinggiran jalanan. Ya, penari jalanan.

Mereka memang pun tidak memerlukan label atau nama kelompok. Warga setempat mengenal mereka sebagai penari reog jalanan. Mereka memboyong sejumlah alat tetabuhan. Tidak banyak, sekadar sebuah gong dan gendang.

Pusat-pusat keramaian adalah sasaran mereka. Pasalnya, tarian reog membutuhkan respons atraktif para penonton. Tak jarang, mereka pergi menumpang bus untuk mencari tempat yang ramai.

Di sebuah persimpangan lampu merah, para seniman jalanan itu berhenti. Mereka beraksi menghibur sejumlah pejalan kaki yang lalu lalang. Atau, pengayuh becak yang kelelahan. Mereka "bekerja" tanpa mengenal rasa lelah.

Mereka menggelar "pertunjukan" bukan hanya di persimpangan jalan. Tapi, tempat-tempat "keras" semacam terminal juga rutin menjadi sasaran. Di tempat itu, supir dan kondektur angkutan umum memang haus hiburan.

Yang pasti, tempat itu merupakan "habitat" yang paling bersahabat bagi para pelakon reog jalanan itu. Sorak sorai penonton adalah imbalan paling membanggakan dibandingkan recehan yang diterima. Karena, mereka jadi merasa bahwa eksistensi masih diperhatikan. Meski dari masyarakat yang berada di emperan.(ASW/SHA)

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

    Video Terkini