Sukses

Prita dan Kedaulatan Konsumen

Prita Mulyasari cuma seorang konsumen biasa. Suatu hari, ia merasa kedaulatannya dicederai saat menjadi pasien di RS Omni Internasional, Serpong, Tangerang, Banten. Maka, pada akhir Agustus 2008, ia menulis surat elektronik ke sejumlah teman. Intinya, ia mengabarkan, kondisi yang tak kunjung membaik membuatnya memutuskan untuk beralih ke rumah sakit lain.

Prita Mulyasari cuma seorang konsumen biasa. Suatu hari, ia merasa kedaulatannya dicederai saat menjadi pasien di RS Omni Internasional, Serpong, Tangerang, Banten. Maka, pada akhir Agustus 2008, ia menulis surat elektronik ke sejumlah teman. Intinya, ia mengabarkan, kondisi yang tak kunjung membaik membuatnya memutuskan untuk beralih ke rumah sakit lain. Untuk itu, ia meminta rekam medis miliknya sendiri. Masalahnya, Omni tak bersedia mengeluarkan.

Surat yang sejatinya lumrah dikirim konsumen yang tidak puas. Tak dinyana, surat itu, menyebar luas. Termasuk, menjadi surat pembaca di media massa. Manajemen Omni tak terima. Namun, alih-alih menyusun data dan keterangan tandingan, pihak Omni berkeputusan untuk menyeret kasus ini ke ranah hukum.

Tak tanggung-tanggung, Prita dikejar di dua lini: perdata dan pidana. Dalam gugatan perdata di Pengadilan Negeri Tangerang, Prita kalah. Prita dihukum membayar kerugian material sebesar Rp 161 juta sebagai pengganti uang klarifikasi di koran nasional dan Rp 100 juta untuk kerugian immaterial.

Akan halnya perkara pidana, nasib ibu dua anak itu jauh lebih tragis. Sejak 13 Mei 2009, sebagai tersangka, Prita ditahan di Lembaga Pemasyarakatan Perempuan Tangerang. Pihak kejaksaan menyasar Prita dengan Pasal 27 UU Informasi dan Transaksi Elektronik tentang pencemaran nama baik. Sidang perdana digelar, Kamis (4/6) lalu.

Menurut pihak Omni, melalui kuasa hukumnya Risma Situmorang, sejak awal hingga sekarang, pihak rumah sakit membuka pintu maaf kepada Prita dan berharap agar permasalahan ini tak sampai diselesaikan melalui jalur hukum. "Kami cuma ingin Prita mengakui apa yang ditulisnya tidak benar," katanya.

Namun, kata Risma, pihak Prita tidak mempunyai itikad baik untuk menyelesaikan permasalahan tersebut. "Karena itu, kami dan para dokter terpaksa menempuh jalur hukum untuk membuktikan tuduhan tersebut tidak benar," ujarnya. . 

Kasus ini menghebohkan, menjadi buah bibir sejak istana hingga warung kopi. Tak pelak, pemantik utama adalah penyikapan Omni terhadap keluhan itu. Nasib Prita berbeda bak langit dan bumi dengan Jeff Jarvis.  Suatu hari, penulis buku What Would Google Do? Ini  membeli laptop Dell. Ternyata laptop ini bermasalah. Tapi, usai dibawa ke pihak Dell, Laptop itu tak kunjung bugar. Dalam keadaan frustasi, Jarvis memuat tulisan di blognya pada Juni 2005, dengan judul "DELL SUCKS".

Keluhan ini disambut meriah kalangan blogger. Ratusan komentar bermunculan. Tulisan itu juga disebarkan ke blog-blog lain. Dengan cepat reputasi Dell merosot, apalagi ketika media mainstream ikut juga memberitakan. Bahkan, nilai saham Dell di bursa ikut-ikutan anjlok.

Dell tak punya pilihan. Beberapa bulan kemudian, produsen itu mulai berubah pikiran. Pada April 2006, produsen itu  menurunkan staf technical support-nya untuk berkomunikasi dengan kalangan blogger.  Pada Juli 2006, Dell bahkan membangun blog sendiri, ajang keluh-kesah ataupun pujian bagi produk mereka. Mereka menanggapi setiap posting atau komentar dengan pendekatan yang positif, mau mendengarkan. Dell menjadikan para pelanggan sebagai sahabat yang bisa mengkritik kapan saja. Nama baik perusahaan tersebut akhirnya pulih seperti sediakala.

Dunia memang sudah berubah. Dengan cara-cara baru, para konsumen menyusun posisi diri yang baru. Ini semua dipicu revolusi di bidang teknologi informasi. Kontrol informasi sudah mulai bergeser ke tangan publik secara langsung, bukan lagi di genggaman media massa konvensional. Para konsumen menyebarkan informasi melalui blog, milis, situs jejaring sosial, maupun forum di jagat maya. Dulu, konsumen harus menunggu berminggu-minggu, sebelum protesnya dimuat dirubrik surat pembaca. Kini, hanya dalam hitungan menit, protes (atau boleh jadi pujian) itu bisa menyebar tanpa batas, ke seluruh pelosok dunia. Para pakar pemasaran menamakannya consumer generated media (CGM).

Menurut Amalia Maulana, seorang konsultan merek, CGM adalah fenomena baru yang harus disikapi dengan bijak oleh perusahaan dan pengelola merek. Sebelum kecenderungan ini menguat, umumnya semua berita – baik dan buruk – dikendalikan jurnalis di media formal. Karena itu, fungsi manajer humas di perusahaan dianggap sangat sentral dalam membina hubungan baik dengan jurnalis.

Kini, aliran berita yang lebih dahsyat bukan berada lagi di tangan para jurnalis media formal, melainkan di tangan konsumen. “Kelebihan utama CGM adalah dari sisi kredibilitasnya yang tinggi di mata audiens; berbeda dari tulisan di media formal yang sering dipersepsikan berpihak pada kepentingan tertentu,” tulisnya di sebuah majalah bisnis.

Dari sisi hukum, konsumen seperti Prita juga punya tameng tebal. Adalah terang-benderang bahwa keluhan Prita tersebut merupakan hak konsumen yang dijamin oleh UU Perlindungan Konsumen. Selain itu, berdasarkan UU Praktek Kedokteran dan Peraturan Menteri Kesehatan tentang Rekam Medis, pasien berhak untuk meminta rekam medis.

Pakar Online Public Relation Nukman Luthfie menyatakan, pendekatan terbaik saat ini adalah pendekatan komunikasi. Jika bersikukuh dengan pendekatan hukum saja dan kuasa hukum menjadi juru bicara seperti selama ini, perlawanan publik akan semakin kuat. “Ujung-ujungnya, citra perusahaan semakin ambruk, yang berpotensi memperburuk kinerja perusahaan, termasuk menurunnya jumlah pasien dan income perusahaan,” tulis Nukman di situs pribadinya.

Perlawanan publik memang luar biasa. Halaman khusus di situs jejaring Facebook yang mendesak pembebasan Prita dari jeratan hukum telah didukung lebih dari 180 ribu orang. Padahal, umur halaman itu belum lagi sepekan.

Nasi sudah menjadi bubur. Agak terlambat buat Omni untuk balik badan. Tapi, bukan tak ada kans sama sekali. Buat kalangan produsen, ini adalah pelajaran yang sangat berharga soal memosisikan para konsumen secara setara. Bagi kaum konsumen, inilah momentum yang kian menyadarkan diri: mereka punya kedaulatan.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

    Video Terkini