Sukses

Tiga Kali Temui SBY, Nasib Tak Berubah

Fatikhuddin, mantan TKI asal Lamongan, Jatim, harus berjuang mendapat haknya selama lebih dari 12 tahun sejak mengalami PHK dari perusahaan tempatnya bekerja di Malaysia.

Liputan6.com, Jakarta: Bicara soal nasib tragis yang dialami tenaga Kerja Indonesia (TKI) tampaknya tak pernah surut. Waktu demi waktu selalu saja bermunculan kisah memilukan dari pahlawan devisa ini. Dari mulai kasus kekerasan sampai kasus pembayaran gaji.

Seperti kasus yang dialami Fatikhuddin, mantan TKI asal Lamongan, Jatim, harus berjuang mendapat haknya selama lebih dari 12 tahun sejak mengalami PHK dari perusahaan tempatnya bekerja di Malaysia. Berbagai upaya telah ditempuh lelaki kelahiran 11 April 1966 ini. Namun hingga detik ini ia belum juga mendapat haknya. Sebaliknya, ia harus mendapat tudingan sebagai TKI ilegal setelah melaporkan nasibnya ke berbagai instansi terkait.

"Sejak saya pulang dari Malaysia, saya langsung melaporkan ke Disnaker (Dinas Tenaga Kerja) Lamongan, PT Bijak (Bina Jaya Abadi Kerja), tapi malah katanya surat-surat saya ilegal. Bahkan saya sudah tiga kali ketemu pak SBY (Presiden Susilo Bambang Yudhoyono) di open house, tapi sampai sekarang ndak ada lanjutanya," ujar pria asal Desa Laren, Kecamatan Laren, Kabupaten Lamongan itu kepada Liputan6.com di Kantor Lembaga Bantuan Hukum Jakarta, Rabu (29/6).

Selain itu, duda beranak satu ini juga mengaku telah melaporkan ke Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Direktorat Jenderal Pembinaan dan Penempatan atau Binapenta) dan Badan Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BP2TKI). Serta berbagai LSM (lembaga swadaya masyarakat) untuk memperjuangkan sisa gaji sebesar RM 60 dari salah satu perusahaan perkebunan Malasyia, PT Pamol. Namun lagi-lagi upaya keras pemahat patung ini tak juga membuahkan hasil. Ia pun mengaku sudah menghabiskan uang sebesar Rp 40 juta.

"Mereka hanya berjanji-janji saja, Erman Suparno, Muhaimin (Menaker terdahulu--Red.). Setiap hak yang saya minta, mereka berkelit. Bahkan saya sudah ketemu dengan Fahmi Idris, dan Alhamdulillah dia terbuka hatinya. Ibaratnya saya sekali mendayung dua pulau terlampui, sambil memperjuangkan hak saya, sekalian saya membantu 70 teman angkatan saya yang di-PHK. Saya sudah habis-habisan sampai pinjam uang teman-teman saya," tutur pria bertubuh kurus ini.

Meski demikian, pria yang tinggal bersama ibu yang hanya sebatang kara ini terus berjuang untuk mendapatkan haknya itu. Sebab, ia sadar bahwa pemerintah dalam hal ini harus bertanggung jawab atas haknya itu. Karena itu, beberapa hari terakhir, ia kembali datang ke Jakarta untuk menemui Ketua Mahkamah Konstitusi Mahfud MD dengan harapan MK dapat membantu menyelesaikan masalah ini.

"Saya memang orang bodoh, tapi BP2TKI, pemerintah itu kan harusnya melindungi hak warganya. Karena itu amanah undang-undang, malah Disnaker selingkuh dengan PJTKI. Menurut saya pak Mahfud seorang Pancasilais, dan dia dekat dengan Presiden, mudah-mudahan dia bisa bantu saya," ujarnya berharap.

Fatikhuddin menuturkan, sejak dipecat dari perkebunan kelapa sawit itu pada 1999 silam. Dia dipulangkan dari Malaysia setelah pemerintah Negeri Jiran menangkapnya karena dianggap sebagai TKI ilegal. Ia sendiri mengaku bekerja di Malaysia pada 1998 karena ajakan temannya.

Berdasarkan informasi teman yang mengajaknya tersebut, Fatikhuddin lantas menyerahkan berbagai persyaratan kepada sebuah kantor agen perusahaan pengerah jasa tenaga kerja Indonesia bernama PT Bijak di Bojonegoro, Jawa Timur. Di sana pula dia melengkapi berkas untuk membuat paspor, visa dan dokumen lain yang disyaratkan Dinas Tenaga Kerja setempat.

Tiga bulan sejak penyerahan berkas persyaratan menjadi TKI, Fatihkhuddin akhirnya mendapatkan paspor dan visa untuk bekerja di Malaysia. Selama tiga bulan itu, dia mengaku PT Bijak tidak memberikan pelatihan kerja, rincian penempatan, dan nilai gaji.

Baru beberapa bulan bekerja, krisis moneter melanda dunia. Fatikhuddin beserta sekitar seratus orang TKI lainnya dikenai PHK oleh perkebunan kelapa sawit tempat mereka bekerja di Malaysia, sementara gaji belum lunas dibayarkan. Padahal, kontrak kerja tertulis dua tahun.

Dia lantas melaporkan kasus PHK dan sisa gaji sebesar RM 60 ribu yang belum dibayarkan ke Kepolisian Diraja Malaysia. Namun justru ia ditangkap dan dipulangkan ke Indonesia karena dinilai TKI ilegal.

Pada 1999, dia melaporkan kasus yang menimpanya ke Depnakertrans untuk meminta haknya yang tersisa. Namun, tidak pernah ada tindak lanjut ataupun kabar dari pihak terkait. Dia pun kini harus bekerja sebagai buruh kasar untuk memenuhi kebutuhan sehari-harinya.

Bahkan, ia mengaku harus rela ditinggal anak dan istrinya di saat kondisi yang sedang terjatuh ini. "Yang saya sesali, anak gadis saya waktu itu ndak jadi kuliah. Saya terpaksa ditinggal istri saya meski waktu itu sedang sakit keras," tutur pria berambut gondrong itu.

Untuk tinggal sementara di Ibu Kota, ia harus bermalam di Kantor LBH Jakarta hingga niat bertemu dengan orang nomor satu di MK itu terpenuhi.(ANS)

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

    Video Terkini