Sukses

Nias, Tanah Para Pecinta Seni Tradisi

Kebudayaan tumbuh turun temurun di Desa Bawomataluo, Kecamatan Fanayama, Kabupaten Nias Selatan. Desa ini ibarat lumbung tradisi.

Liputan6.com, Nias Selatan: Gempa berkekuatan cukup besar 8,7 skala Richter pernah mengguncang Pulau Sumatra, 28 Maret 2005. Aceh, Riau, Jambi, Bengkulu, dan Palembang bergoyang terkena imbas. Bahkan Malaysia, Singapura, Srilangka, Bangkok, dan Thailand turut bergetar.

Pulau Nias menjadi wilayah dengan tingkat kerusakan terparah. Lebih dari 300 orang tewas di Nias. Hampir dua ribu jiwa menjadi pengungsi.
 
Banyak mimpi warga Nias tertimbun reruntuhan. Pulau yang kental tradisi adat budaya ini koyak dalam tempo lima menit. Sebagian besar masyarakat Nias tak percaya tragedi bisa mampir ke kampung mereka. Sebab empat bulan sebelumnya ketika Tsunami melanda Daerah Istimewa Nanggroe Aceh Darussalam, Nias juga tak luput dari bencana.
 
Selang enam tahun berjalan, wajah Nias tak lagi muram. Duka perlahan memudar. Nias mencoba bangkit agar tak terus larut dalam bencana dahsyat. Infrastruktur memang belum sepenuhnya pulih. Masih mudah menjumpai bangunan yang belum diperbaiki, termasuk jembatan yang belum tuntas dibenahi.
 
Dari Desa Bawomataluo, ruh kebangkitan Nias diembuskan. Sebuah pergelaran seni budaya bakal digelar. Memantik gairah kuno warisan leluhur Nias.
 
Sedianya pesta adat ini akan memakan waktu selama tiga hari. Selama itu pula beragam atraksi adat muncul. Ini memang proyek mercusuar. Sebuah gagasan yang ingin menjelaskan, seni tradisi Nias tak ikut terkubur bersama bencana enam tahun lampau.
 
Kebudayaan tumbuh turun temurun di desa yang terletak di Kecamatan Fanayama, Kabupaten Nias Selatan. Desa ini ibarat lumbung tradisi. Memperlihatkan wajah Nias sesungguhnya, menegaskan ini adalah tanah yang sarat sejarah ratusan tahun. Satu di antaranya saluaya atau tari perang.
 
Perang dikenang, tapi tidak untuk diulang. Nias kuno adalah Nias yang emosional. Nias yang terpecah menjadi beberapa kerajaan kecil. Perselisihan antardesa lebih sering diselesaikan lewat jalur kekerasan. Perang antarkampung nyaris rutin terjadi.
 
Nias tak melulu berkisah tentang perang. Ada banyak permainan tradisional yang hidup. Fafiri atau bermain memukul kayu dengan batu juga menjadi permainan rakyat yang hidup mengakar.
 
Selain itu para bocah Nias juga kerap berlatih lompat batu. Mereka menggunakan sebatang kayu yang dibentangkan. Nias tak ingin ciri khas mereka mati. Itulah sebabnya di sini regenerasi tradisi tak pernah berhenti.
 
Tak terkecuali kebiasaan para pelompat batu. Tradisi ini melewati proses regenerasi ratusan tahun. Darius misalnya, menjadi salah satu penerus aksi hombo batu atau lompat batu di Desa Bawomataluo. Sejak belia ia sudah tertarik hombo batu.
 
Sebagai tradisi warisan kisah peperangan, hombo batu nyaris meniru persis yang terjadi pada masa silam. Syahdan sewaktu perang antardesa kerap terjadi, banyak desa di Nias dikelilingi pagar tinggi agar tak mudah diserang.
 
Mereka nekat melompati pagar-pagar batu tinggi agar bisa menggempur musuh. Aksi melompati dinding batas itulah yang kini menjadi tradisi khas Nias.
 
Keriaan selama tiga hari pesta adat, sedikit banyak membangkitkan gairah warga Nias. Permusuhan masa lampau, bencana gempa besar, melecut penduduk agar lebih optimistis menatap masa depan Nias. Lewat tarian kebersamaan, kegembiraan tumpah ruah. Tujuannya cuma satu, Nias masihlah tanah para pecinta seni tradisi.(AIS)

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.