Sukses

Sejenak Mengenang Rosihan Sang Inspirator

Pers Nasional kehilangan sang tokoh tapi tidak untuk semangat dan inspirasinya. Itulah kata-kata yang tepat untuk menggambarkan suasana pasca-meninggalnya tokoh pers nasional Rosihan Anwar.

Liputan6.com, Jakarta: Pers Nasional kehilangan sang tokoh, tapi tidak untuk semangat dan inspirasinya. Itulah sepertinya kata-kata yang tepat untuk menggambarkan situasi dan kondisi berkabung pasca-meninggalnya tokoh pers nasional Rosihan Anwar, Kamis (14/4) pagi pukul 08.15.

Tokoh pers tiga zaman ini seolah tak pernah kering gagasan dan pemikiran. Rosihan Anwar selalu aktif menulis di berbagai media massa, mulai dari tabloid, majalah, dan koran nasional tentang peristiwa aktual yang terjadi di Tanah Air.

Yang mungkin sering ditemukan pembaca adalah tulisan Rosihan berkaitan dengan 'cerita di balik berita' tentang tokoh besar nasional yang meninggal dunia dalam kisah obituari. Dalam tulisan-tulisan jurnalistiknya yang bernas bergizi itu, Rosihan Anwar tak hanya sekadar transfer knowledge, tapi juga transfer energi positif, pengalaman, dan semangat. Pembaca pun menjadi makin mengenal sisi-sisi lain sang tokoh yang sedang dikisahkannya.

Rosihan Anwar lahir di Kubang Nan Dua, Solok, Sumatera Barat 10 Mei 1922. Pengalaman yang begitu panjang hingga membuat Rosihan tahu persis asam asinnya dunia pers nasional. Kekayaan akan pengalaman hidup dan profesi membuat karya-karya jurnalistik wartawan senior ini selalu memberikan inspirasi, energi, dan spirit baru bagi para jurnalis junior yang haus belajar.

Rosihan Anwar memulai kariernya di dunia jurnalistik saat berumur 20 tahun. Ketika itu, Rosihan menjadi reporter Asia Raya di masa pendudukan Jepang tahun 1943. Sejak itulah, puluhan hingga ratusan goresan pena olah pikirnya menjadi karya tulisan jurnalistik yang tersebar di berbagai media dalam dan luar negeri.

Keluasan pengetahuannya tertuang juga dalam karya-karya sastra, tulisan sejarah dan artikel tentang tokoh, serta buku-buku berkaitan dengan dunia jurnalistik. Tak ayal lagi, macam-macam predikat menyertai wartawan senior ini. Ada yang menyebutnya sebagai kolomnis, sejarawan, sasterawan, aktivis-kritikus film, dan bahkan banyak orang menyebutnya sebagai budayawan. 

Mantan pemimpin redaksi harian Pedoman (1968-1974) ini terlahir sebagai anak keempat dari sepuluh bersaudara. Ayahnya, Anwar Mahadiraja Sutan adalah seorang pejabat daerah yang terpandang kala itu, Demang di Padang, Sumatera Barat. Masa pendidikan Rosihan muda dilalui di Padang dan Yogyakarta. Semangat dan kecerdasannya, membawa Rosihan Anwar menjalani studi di Yale University dan School of Journalism di Columbia University, New York, Amerika Serikat tahun 1950 hingga 1954.

Dedikasinya pada bangsa dan negara di bidang jurnalistik membawa wartawan tiga zaman ini pada kepantasan untuk mendapatkan penghargaan berupa Bintang Mahaputra III bersama tokoh pers Jacob Oetama, pada tahun 1974. Meski kemudian secara ironis, rezim Orde Baru Presiden Soeharto yang memberikan penghargaan itu, menutup harian Pedoman yang dipimpin Rosihan di tahun yang sama.

Pada tahun 2007, Rosihan Anwar dan Herawati Diah, yang ikut mendirikan Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) di Surakarta 1946 mendapat penghargaan Life Time Achievement atau Prestasi Sepanjang Hayat dari PWI Pusat. Dua tahun sebelumnya (2005), Rosihan juga mendapat Anugerah Kesetiaan Berkarya sebagai Wartawan.

Bagi para jurnalis muda, wartawan tiga zaman Rosihan Anwar tak hanya sebagai teman diskusi atau tempat bertanya, tapi juga guru dan pemberi inspirasi.

Rosihan menikah dengan Siti Zuraida binti Moh. Sanawi tahun 1947 dan dikaruniai tiga anak. Sang istri tercinta telah meninggal lebih dulu, 5 September 2010 lalu. (* dari berbagai sumber)

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.