Sukses

Hariyadi: Ini Gempa Terdahsyat Sepanjang Hidup

Ratusan WNI di Jepang yang tinggal di lokasi terparah gempa dan tsunami sudah tiba di Tanah Air. Perjuangan mereka menyelamatkan diri dari bencana itu, sangat berat.

Liputan6.com, Jakarta: Ratusan di antara ribuan warga negara Indonesia yang tinggal di Jepang berada di lokasi terparah gempa dan tsunami. Mereka yang selamat segera dievakuasi dari Prefektur Miyagi menuju Tokyo. Setelah sempat menginap di penampungan darurat, kemarin mereka tiba di Tanah Air.

Salah satunya adalah Hariyadi BS. Saat kejadian ia bersama temannya dari Jepang tengah berada di antara Kota Sendai dan Pelabuhan Siogama. "Saya ada janji dengan seorang anak buah kapal," kata Hariyadi saat berbincang dengan Liputan6 SCTV, Rabu (16/3).

Ketika itu mereka berada di dalam mobil yang tengah meluncur di atas jembatan. Tiba-tiba terdengar ledakan, dan kendaraan berguncang keras sekali. Mobil kemudian meluncur hingga ujung jembatan. Tiang-tiang listrik berjatuhan. "Dimana-mana tidak aman," ujar Hariyadi.

Setelah itu terdengar pengumuman akan datang tsunami sekitar 10-15 menit mendatang. Hariyadi memutuskan meninggalkan mobil dan berlari menuju punggung bukit sebelum ke apartemen. "Saya teringat anak. Makanya saya terus berlari di bawah guyuran salju. Begitu susahnya perjuangan saya," ucapnya.

Begitu melihat anaknya selamat, Hariyadi langsung membawanya ke bukit. Di tempat itulah Hariyadi bertahan dengan pengungsi Indonesia lain yang kondisinya sudah ada yang terluka. Untuk bertahan hidup mereka masak dengan kayu bakar.

Pascagempa dan tsunami, keadaan di Sendai gelap seperti kota mati. Hariyadi kemudian bergabung dengan tim penyelamat dari Kedutaan Besar Indonesia. Di jalanan, kata dia, mobil berserakan dimana-mana. "Bisa dibayangkan dahsyatnya tsunami. Ini adalah gempa terdahsyat sepanjang hidup saya," tutur Hariyadi.

Pria yang sudah tinggal di Jepang sejak 2003 ini, mengaku trauma dengan bencana tersebut. Meski begitu Hariyadi yang sehari-hari bekerja sebagai pengajar di sebuah sekolah dasar di Jepang tetap ingin pulang ke negara itu. "Saya ingin tinggal di sana karena ada ikatan emosi," katanya. "Kini kampung anak-anak yang saya ajari sudah menjadi seperti "bubur"," imbuhnya.(IAN)

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.