Sukses

Jalaluddin Rakhmat: Lebaran Bermakna Sangat Luas

Selain menjadi momen untuk saling memaafkan, menurut Jalaluddin Rakhmat, Lebaran juga memiliki makna ritual dan sosial. Halal bihalal bisa diartikan sebagai penyambung silaturahim.

Liputan6.com, Jakarta: Lebaran, bagi umat Islam, dianggap sebagai momentum paling tepat untuk saling memaafkan. Setelah sebulan penuh beribadah selama Ramadan, umat muslim kerap mengartikan Idulfitri sebagai hari kemenangan. Ucapan minal aidin wal faizin pun diucapkan di mana-mana, saat sesama muslim saling bertemu.

Cendekiawan muslim Jalaluddin Rakhmat mengatakan, minal aidin wal faizin adalah potongan dari doa yang panjang: Jaalanallah Minal Aidin Wal Faizin (semoga Allah menjadikan kita termasuk orang-orang yang kembali kepada fitrah dan yang memperoleh kebahagiaan). Sayang, di Indonesia kalimat aidin kadang diganti dengan aidzin.

Menurut Kang Jalal--Jalaluddin biasa disapa--pemakaian kata aidzin bisa merubah arti menjadi semoga Allah menjadi kita sebagai orang yang berlindung kepada Dia dan yang berbahagia. "Berkali-kali saya temukan kata itu. Itu salah," kata Kang Jalal dalam dialog Liputan 6 Pagi, Rabu (25/10).

Selain menjadi momen untuk saling memaafkan, tambah Kang Jalal, Lebaran juga memiliki makna ritual dan sosial. Lebaran dari segi ritual cukup sederhana, yaitu membaca takbir dan salat Idulftri. "Itupun hanya dua rakaat," kata penulis buku Islam dan Pluralisme itu.

Tapi Lebaran punya nilai penting dalam segi sosial. Mulai dari keharusan mengeluarkan zakat fitrah sampai menyambungkan tali silaturahim. Bahkan zakat harus sudah dikeluarkan sebelum umat Islam berangkat salat Id. "Ini berarti tanggung jawab sosial kita harus didahulukan sebelum kewajiban-kewajiban ritual kita," ungkap Kang Jalal.

Sementara Lebaran dalam konteks menyambung tali silaturahim memiliki makna yang lebih luas. Sebab menyambungkan tali silaturahim bukan saja terbatas kepada sesama manusia, tapi juga dengan mereka yang sudah meninggal. "Jadi seakan-akan Lebaran itu menyambungkan silaturahim lintas waktu dan tempat," jelas pengarang buku Dahulukan Akhlak di Atas Fikih ini.

Kang Jalal juga menyoroti tradisi halal bihalal yang kerap dilakukan umat muslim usai salat Id. Sebenarnya, kata dia, "Kata halal bihalal tak diketahui dari mana sumbernya". Yang ada, seperti tertera dalam kamus bahasa Arab karangan Abdullah bin Nuh, adalah hashlah ba`da yaumil id yang berarti pesta-pesta setelah hari raya.

Tapi, menurut pandangan Kang Jalal, halal bihalal bisa diartikan sebagai penyambung silaturahim. Ritual ini juga memiliki efek penyembuhan sangat bagus untuk masyarakat yang dilanda frustrasi yang berkepanjangan.

Sedangkan dalam Islam, silaturahim mengandung pengertian yang sangat luas. Tidak hanya dibatasi antara sesama manusia, tapi juga kepada seluruh mahluk hidup di alam semesta ini. Mengutip hadis qudsi, Nabi Muhammad SAW pernah mengatakan: Yang paling dicintai Allah adalah orang yang paling sayang, di seluruh alam ini adalah keluarga besar Tuhan. Dan yang paling dicintai Tuhan adalah orang yang paling sayang kepada seluruh anggota keluarga besar Tuhan.

Menurut Kang Jalal, jadi pluralisme antara agama itu cuma bagian kecil dari silaturahim yang meliputi seluruh mahluk. Sangat mengherankan kalau silaturahim yang sebenarnya sangat luas kemudian hanya dibatasi pada satu mahzab. Kepada satu agama saja. "Itu berarti sama saja dengan membatasi rahmat Allah yang meliputi langit dan bumi dan memojokkannya di sebuah sudut surau sempit," tegas Kang Djalal.(ICH)

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.