Sukses

Melewatkan Pesta dengan <i>Ngibing</i> Bersama Cokek

Kemeriahan gambang kromong dengan lagu-lagu Betawi tempo dulu dan instrumen musik tradisionalnya, tidak lengkap tanpa wayang atau cokek. Lewat lemparan cuking dan ngibing, para penari itu mengais nafkah.

Liputan6.com, Tangerang: Suatu siang di rumah seorang pemilik kelompok musik tradisional Gambang Kromong di kawasan Legok, pinggiran Kabupaten Tangerang, Banten. Para penari yang biasa disebut anak-anak wayang atau cokek tengah bersiap-siap memenuhi sebuah undangan. Rencananya sore hingga malam keesokan harinya, mereka akan menyemarakan sebuah pesta perkawinan. Mereka tentu saja dinanti untuk menarikan ngibing atau tarian khas gambang kromong.

Mitha, 19 tahun, adalah satu dari wayang atau cokek itu. Dia telah tiga tahun bergabung bersama kelompok Gambang Kromong Setia Nada milik Oey Tjong In atau Co Ing. "Pengen nyoba aja, mencari pengalaman hidup" kata Mitha. Seperti para cokek lainnya, Mitha diajak emak wayang sebagai pencari bakat. Pada umumnya mereka berasal dari sejumlah desa di kabupaten Bekasi. "Tugas saya ngajarin ngibing," Nyonya Muryani, emak wayang.

Emak wayang yang dipanggil para cokek dengan sebutan mama memang menjadi ibu mereka selama di rumah penampungan atau pesta. Di rumah penampungan, ia menyiapkan makanan dan mengawasi kesehari-harian penari termasuk kedekatan cokek dengan tamu atau teman dekatnya. Di tengah pesta, emak wayang berperan sebagai comblang cokek kepada para tamu. "Kalau ada yang ngajakin keluar mau sih," tutur Mitha.

Menjelang senja ketika lagu-lagu pembuka usai dilantunkan, para cokek pun mulai mempersiapkan diri. Setelah membersihkan diri sekadarnya, mereka pun mulai mempercantik diri. Pentas dimulai persis ketika malam mulai merayap. Emak wayang menjajakan cuking atau selendang identitas mereka kepada para tamu. Bila cuking telah dipilih seorang tamu, maka mereka pun bersiap-siap menemani ngibing.

Satu lagu atau lebih dari itu bukan persoalan bagi para cokek. Selama cuking masih dipegang sang tamu, berarti mereka sepenuhnya menjadi teman ngibing selama pesta. Godaan kerap dialami seorang cokek ketika tamunya mengajak berkencan ke tempat lain. Ikatan cokek dengan tamu akan berakhir ketika cuking dikembalikan kepada sang cokek. Sebagai imbalannya, sang cokek menerima sejumlah uang. Uang tips inilah satu-satunya sumber nafkah mereka. Sepuluh persen di antaranya diberikan kepada emak wayang. "Kalau kenal dikasih Rp 200 ribu. Sebulan saya bisa dapat Rp 1 juta lebih," kata Mitha.

Malam semakin larut, hentakan gendang makin menyulut kehangatan pesta. Aroma minuman keras juga kian terasa. Beberapa tamu sempat berganti pasangan. Sementara para cokek dengan gemulai yang dipaksakan mencoba tersenyum dan membahagiakan tamunya.

Para cokek yang rata-rata berusia 17 tahun memang terasa belia untuk mengarungi kehidupan semacam ini. Kenyataannya mereka tersebar di sekitar 30 kelompok musik tradisional yang tumbuh di pinggiran Kabupaten Tangerang. Jumlah mereka senantiasa bertambah seiring dengan lonjakan angka kemiskinan.(COK/Syaiful Halim dan Satya Pandia)

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.