Sukses

Memanen &quotHarta&quot Nyi Roro Kidul

Secara turun-temurun penduduk Desa Karang Bolong di Kebumen, Jateng, adalah pemetik sarang burung walet. Sesuai adat, mereka pun harus menggelar sejumlah ritual untuk penguasa Laut Selatan, Nyi Roro Kidul.

Liputan6.com, Kebumen: Sejauh mata memandang, keadaan alam sekitar Desa Karang Bolong sangatlah indah. Maklum, desa kecil ini diapit pegunungan, tepatnya sebelah selatan Kecamatan Gombong, Kabupaten Kebumen, Jawa Tengah. Sepintas seperti umumnya pedesaan di Pulau Jawa. Namun Karang Bolong berbeda dengan desa agraris lainnya. Penduduk desa di dekat Pantai Selatan itu lebih banyak menghabiskan waktunya untuk menderes (menyadap) air bunga kelapa sebagai bahan membuat gula merah.

Kendati terpencil, Desa Karang Bolong sangat terkenal sejak dahulu kala. Bahkan sejak masa Kerajaan Mataram Kartasura (Amangkurat II) hingga sekarang, desa ini cukup harum namanya. Ini lantaran Karang Bolong tersohor sebagai penghasil sarang burung walet. Dan, beberapa hari yang lewat pada bulan ini bertepatan dengan Mangsa Kesanga dalam penanggalan Saka atau perhitungan kalender Jawa. Inilah saat yang tepat untuk memanen sarang burung walet.

Dalam kepercayaan penduduk Karang Bolong, burung walet di desa mereka diyakini sebagai milik penguasa Laut Selatan, yakni Nyi Roro Kidul. Lantaran itulah, buat menghindari segala malapetaka, para pemanen sarang walet harus melakukan sejumlah ritual. Maka, pagi itu di halaman samping rumah Pak Mandor, seekor kerbau jantan dipotong untuk dijadikan kurban sekaligus untuk lauk kenduri warga.

Acara selamatan ini adalah awal sebuah prosesi panjang yang dilakukan para pemetik sarang burung walet. Ini sebagai syarat untuk memetik "harta" Nyi Roro Kidul. Kesibukan Pak Mandor pun banyak. Sebagai pemimpin para pemetik sarang walet, ia tak hanya melakukan kenduri.

Di sebuah bilik kecil, ia kemudian menggelar ritual khusus untuk Ratu Kidul. Berbagai macam kesukaan Nyi Roro Kidul dipersembahkan. Antara lain kain lurik hijau gadung, udang wulung, selendang, kasur, dan bantal putih. Tak ketinggalan berbagai macam penganan sesaji untuk Sang Penguasa Laut Selatan disajikan pula.

Di bibir Gua Contoh di Pantai Karang Bolong, suasana tak kalah ramai. Para penabuh gamelan sibuk mempersiapkan peralatan masing-masing untuk pertunjukan wayang kulit tanpa beber yang sebentar lagi akan digelar.

Setelah segala persiapan rampung, sebuah mantra meluncur dari mulut dalang Ki Sayut Hadisutopo sebagai pembuka ritual. Dalang kawakan ini kemudian meminta izin kepada Sang Bahureksa, penguasa Laut Selatan, agar pertunjukan dan rencana memanen sarang walet berjalan aman. "Hormat saya pada Nyai Roro Kidul beserta pengikutnya, Joko Suryo, Suryawati, Den Bagus Cemeti, Kiai Bekel, dan Kiai Surti," ucap Ki Sayut dalam bahasa Jawa.

Menurut Ki Sayut, pergelaran wayang kulit ini untuk memenuhi adat. "Hari ini Jumat Pahing malam Sabtu Pon, saya diminta memainkan wayang kulit di Karang Bolong. Pagelaran ini tidak bisa diganti. Kalau tidak akan menimbulkan bencana," tutur Ki Sayut.

Boleh dikatakan, tradisi pementasan wayang kulit dan berbagai macam kesenian tradisional tersebut tak bisa dipisahkan dari amanah leluhur tempo dulu. Syahdan, Kiai Surti, utusan Kerajaan Mataram Kartasura, diminta Sang Raja untuk mencari obat bagi permaisuri yang jatuh sakit. Nah, dalam pengembaraannya, sampailah Kiai Surti di Pantai Karang Bolong.

Kiai Surti kemudian bertapa dan mendapat petunjuk dari Dewi Suryawati, anak buah Nyi Roro Kidul. Sang Dewi mengatakan bahwa obat yang dicari tak lain adalah sarang burung walet yang berada di dalam Gua Karang Bolong. Singkat kisah, permaisuri sembuh dari sakit.

Setelah peristiwa itu Kiai Surti akhirnya menikahi Dewi Suryawati secara batin. Ia selanjutnya membuat kesepakatan dengan penguasa gaib Laut Selatan, Nyi Roro Kidul, untuk menggelar sejumlah ritual sebelum memanen sarang walet. Salah satu ritual penting adalah pertunjukan wayang kulit.

Kini, alunan musik gamelan mengalun dan memecah kesunyian malam. Pergelaran wayang kulit digelar lagi semalam suntuk. Namun kali ini sang dalang mengambil lakon Wahyu Makutoromo, cuplikan dari epos Mahabharata versi Jawa. Tak seperti lazimnya, saat babak peperangan tiba, tokoh dalam wayang kali ini tak boleh gugur di medan perang. Karena, bila dalam pergelaran itu ada yang mati, diyakini bakal ada pemetik sarang walet yang mendapat celaka.

Dalang pun berharap, saat panen berlangsung, air laut tidak pasang. Dengan begitu pintu gua di mana sarang walet berada tidak tertutup air laut. Puncak upacara akhirnya ditutup kenduri besar yang dilanjutkan dengan tayuban atau pertunjukan tari tayub. Seluruh karyawan pemetik sarang walet pun berkumpul di pendopo desa. Semua turut bergembira karena konon malam itu, Nyi Roro Kidul telah merestui harta karunnya untuk dipetik esok hari.

Keesokan hari, dari ketinggian puncak bukit, gelombang laut tampak mulai tenang. Inilah saat yang tepat bagi para pemetik sarang walet beraksi. Ada sekitar 20 pemetik sarang walet di Karang Bolong, termasuk mandor dan tukang sortir. Sebagian dari mereka, kini, bergegas memikul gulungan tangga rotan menuju ke Bukit Karang Bolong, lokasi sarang walet berada. Ada pula menyiapkan bambu dan memilin tali ijuk yang nantinya digunakan untuk mengganti bambu-bambu keropos di dalam gua.

Para pengunduh pun menurunkan tangga rotan sepanjang 30 meter. Satu persatu menuruni tebing diiringi bunyi deburan ombak, laksana musik pengiring. Kendati berkeyakinan panen walet telah mendapat restu Nyi Roro Kidul, bukan berarti izin itu lantas menjamin keselamatan para pengunduh.

Contohnya pada tahun 1998. Saat itu Mbah Saminama pernah terjatuh akibat empasan ganas ombak Laut Selatan. Beruntung jiwanya berhasil diselamatkan rekan-rekannya. Bahkan, hingga saat ini kakek berusia 70 tahun itu masih bertugas sebagai singkep alias sang pembuka jalur.

Nasib sial pun tak jarang menimpa pengunduh walet. Wiryo Prawiro, misalnya. Pada tahun 1990, pemetik sarang walet ini jatuh saat meniti tangga rotan yang dipasang di dinding gua. Malangnya tubuh Wiryo langsung ditelan ombak yang ganas. Dan, hingga sekarang jasadnya tak pernah ditemukan.

Itulah tantangan memanen sarang burung walet di Karang Bolong. Kendati menyeramkan, tetap saja banyak orang berminat memanennya. Padahal letak sarang walet di dalam gua karang terjal itu mengancam nyawa si pemetik. Bila tak hati-hati, tubuh pemetik sarang walet sewaktu-waktu dapat terempas ke dalam gelombang Samudra Hindia.

Meski sulit diperoleh, banyak orang mempercayai sarang burung walet dapat digunakan untuk obat kuat. Konon, sarang walet merupakan menu spesial bagi kaisar-kaisar di Cina. Ini karena khasiat dan kelezatannya. Sekarang pun sarang walet tetap diminati mengingat nilai jualnya yang sangat menggiurkan. Satu kilo sarang burung walet dihargai Rp 6 juta sampai Rp 10 juta.

Dengan nilai sebesar itu, tak mengherankan bila orang tak gentar menghadapi bahaya untuk mendapatkan sarang walet. Begitu pula Mbah Saminama. Tubuh tukang singkep itu kini bergelantungan di seutas tali sambil meniti bambu. Ia seakan tak peduli setiap saat dirinya dapat ditelan ombak ganas Laut Selatan.

Memang, melihat harga walet yang mahal dan risiko tinggi saat memetiknya, pastilah rupiah yang didapat para pengunduh sarang burung walet itu berlimpah ruah. Namun risiko yang ditanggung ternyata justru tak sebanding dengan upah mereka. Maklumlah para pengunduh itu ternyata adalah abdi negara yang berstatus sebagai pegawai negeri sipil golongan IA atau IB. Mereka digaji oleh
pemerintah hanya sekitar Rp 400 ribu per bulan.

Lantaran lokasinya yang sulit, sejak lama Karang Bolong memang dikelola pihak Kantor Pendapatan Daerah Pemerintah Kabupaten Kebumen. Pihak Pemkab Kebumen pun kemudian mengangkat sejumlah pegawai negeri sipil yang tugasnya hanya untuk memanen sarang burung walet.

Sejatinya, sarang burung walet di Karang Bolong itu pertama kali dikelola oleh Kerajaan Mataram Kartasura, sekitar abad 17 masehi. Pengelolaan sarang walet ini akhirnya jatuh ke tangan penjajah Belanda. Dan, setelah kemerdekaan hingga kini pengelolaannya ditangani Pemkab Kebumen. Bahkan sempat menjadi andalan pendapatan daerah.

Namun lantaran harganya yang menggiurkan, pengelolaan sarang walet Karang Bolong kerap ditenderkan pemerintah daerah ke perusahaan swasta. Sayangnya karena hanya mengejar target pendapatan, cara ini membuat unsur konservasi alam sering terabaikan.

Mudah ditebak, tahun demi tahun keberadaan burung walet dan sarangnya turun drastis. Untungnya tahun ini sistem tender ditiadakan. Boleh jadi, Pemkab Kebumen menyadari jika konservasi tidak dijaga, besar kemungkinan burung walet tak lagi menghiasi langit Desa Karang Bolong yang indah tersebut.(ANS/Tim Potret SCTV)

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

    Video Terkini