Sukses

Foke-Nara atau Jokowi-Ahok Pilihlah dengan Hati Nurani

Pilkada putaran pertama baru saja berakhir, meski belum secara keseluruhan total suara dihitung oleh KPU, hasil hitung cepat (quick count) versi berbagai Lembaga survei mengindikasikan pasangan Joko widodo dan Basuki Tjahaja Purnama (Jokowi-Ahok) lebih unggul

Pilkada putaran pertama baru saja berakhir, meski belum secara keseluruhan total suara dihitung oleh KPU, hasil hitung cepat (quick count) versi berbagai Lembaga survei mengindikasikan pasangan Joko widodo dan Basuki Tjahaja Purnama (Jokowi-Ahok) lebih unggul dari pasangan incumbent Fauzi Bowo-Nachrowi Ramli (Foke-Nara) dan empat pasang kandidat yang lain. Kini keduanya siap-siap masuk ke Pilkada putaran kedua yang dijadwalkan dilaksanakan September mendatang.

Banyak yang berpendapat, Jokowi-Ahok menang karena prestasi saat keduanya sukses memimpin daerahnya, pendek kata rekam jejak keduanya baik dan tidak terindikasi korupsi. Sementara Fauzi Bowo selama memimpin Ibukota selalu didera masalah dan sarat denga kritikan pedas, tidak bisa mengatasi masalah krusial kemacetan, banjir, dan persoalan sosial lainnya.

Fenomena kemenangan Jokowi-Ahok di putaran awal Pilkada DKI Jakarta ini seperti menandakan adanya perlawanan rakyat menghadapi kemapanan elit yang memimpin Jakarta. Dengan kata lain rakyat kurang percaya dengan gubernur yang memimpin, terutama dalam memenuhi harapan warga, seperti keadilan, kenyamanan, dan kesejahteraan.

Rakyat Jakarta dan Indonesia sudah melek politik, informasi yang terus mengalir melalui media massa hingga media sosial, membuat masyarakat sadar dan menginginkan perubahan. Alhasil sosok Jokowi dengan kesuksesannya memimpin Surakarta dianggap bisa membawa angin perubahan.

Meski saya setuju dengan ungkapan Fauzi Bowo (Foke) bahwa membangun Jakarta tidak bisa dengan instan. Mustahil andaikata Jokowi-Ahok memimpin Jakarta, seketika itu juga macet dan banjir hilang. Namun apa yang dilakukan selama ini oleh Foke, hampir tidak dirasakan oleh warga Jakarta. Kemacetan yang semakin parah, dan banjir misalnya masih menjadi momok bagi warga, selain itu perpecahan dengan wakil gubernur Prijanto yang mencuat di media massa turut menambah ketidak percayaan masyarakat, karena elit mereka diatas "bertengkar".

Jokowi-Ahok Unggul bukan karena peran partai politik khususnya PDI Perjuangan dan Gerindra, yang menopangnya maksimal, namun lebih oleh ketokohan kandidat. Yang tidak kalahnya adanya peran media. Publisitas Jokowi jauh lebih berperan dalam perilaku memilih ketimbang dengan iklan politik. Tidak dipungkiri iklan-iklan politik pasangan Foke-Nara dikemas secara kreatif.

Namun iklan sekreatif apapun dibuat pesan politiknya oleh kandidat beserta konsultan komunikasinya, sedangkan publisitas sangat bergantung dengan kepentingan media yang bersangkutan.
Kita bisa melihat bagaimana kekuatan media sangat besar dalam meningkatkan elektabilitas, bukan dengan iklan namun dengan publisitas di dalamnya.

Menjelang pertarungan Pilkada putaran kedua September mendatang bauk Foke-Nara maupun Jokowi-Ahok, masih memiliki kesempatan meraih suara sebanyak-banyaknya dengan menarik masyarakat yang Golput. Catatan survei LSI (Lembaga Survei Indonesia), tingkat Golput pada Pilkada DKi masih tinggi yakni sebesar 35 persen.

Nah, bagaiamana para kandidat khususnya tim kampanye harus bekerja keras membuat kampanye, berita melalui media massa, dan pencitraan sekreatif mungkin untuk meraih suara dari Golput. Kedua pasang harus mampu "merayu" para Golput untuk mendukung mereka.

Sebagai incumbent, posisi Foke-Nara lebih menguntungkan. Paling tidak masa jabatan akhirnya sebagai gubernur dan lebih banyak intensitas keberadaannya di Ibukota, bisa digunakan untuk pencitraan, guna membangun kembali kepercayaan masyarakat.

Sementara Jokowi yang jauh di Solo masih sibuk dengan pekerjaannya sebagai Walikota Solo. Sebagai Walikota Solo praktis dirinya hanya hadir di Jakarta praktis hanya akhir pekan. Jokowi-Ahok juga harus menggunakan waktu yang pendek dengan berbagai cara untuk "merayu" warga Jakarta untuk tetap memilih dirinya.

Di putaran kedua Pilkada DKI Jakarta ini, masyarakat Jakarta diharapkan memilih pasangan calon gubernurdan wakil gubernur sesuai hatinurani dan bukan karena paksaan ataupun berupa iming-iming materi. Karena kesalahan mempertimbangkan terhadap cagub dan cawagub yang akan dipilih dapat merugikan masa depan kehidupan warga Jakarta sendiri. Baik Foke-Nara ataupun Jowi-Ahok merupakan figur populer, sehingga memerlukan sikap yang cermat dalam menetapkan pilihan kepada pasangan terbaik di antara yang ada tersebut.

Kecermatan dan pendekatan hatinurani tidak boleh diabaikan jika menghendaki keberlangsungan pembangunan wilayah Jakarta.

Aribowo Suprayogi
Redaktur Eksekutif Liputan6.com

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.