Sukses

Mataram Kuno di Tanah Tegal

Tak cuma itu, peninggalan Mataram Kuno juga terekam di Bumijawa. Berbeda dengan yang di Kesuben, Candi Bumijawa terletak di lereng Gunung Slamet dan menggunakan batu andesit.

Liputan6.com, Tegal: Tegal. Tanah peradaban, tanah mata rantai. Dua keyakinan besar di masa lampau, Hindu dan Buddha, terekam jelas di sini.

Lewat kepingan dan bongkahan, batu bata atau andesit, kabupaten di Jawa Tengah ini seperti mempertegas kisah tentang kejayaan dinasti Mataram Kuno. Sebetulnya jejak itu telah terendus lama oleh warga, tapi arkeolog Tanah Air baru belakangan memperdalamnya.

Di Desa Kesuben, Kecamatan Lebaksiu, misalnya. Penggalian awal yang dilakukan peneliti Pusat Arkeologi Nasional menemukan susuan bata berbentuk candi persegi panjang.

Batu bata ini tertanam di tengah perkampungan yang berjarak hanya selemparan tombak dari Kali Adem, anak Sungai Gung, yang membelah kabupaten. Pendirian candi di nusantara sedikit banyak dipengaruhi Manasara Silpa Sastra, buku pintar kaum Hindu di India dalam mendirikan bangunan suci.

Kitab ini menganggap elemen air menjadi unsur penting dalam pebangunan candi. Lebih dari 80 persen candi di Jawa Tengah dan Yogyakarta berjarak kurang dari 500 meter dari sungai atau anak sungai.

Selama ini warga setempat menyebut tumpukan bata ini sebagai bata wali. Bata-bata ini diyakini sebagai sisa bangunan rumah ibadah pada masa perkembangan Islam abad ke-15.

Keyakinan warga sesungguhnya tersamarkan. Sebab pada ciri utama Candi Kesuben ini terdapat hiasan ornamental Hindu dan Buddha. Bahkan peneliti juga menemukan kepala kala yang berlanggam era Kerajaan Mataram Kuno.

Tak cuma itu, peninggalan Mataram Kuno juga terekam di Bumijawa. Berbeda dengan yang di Kesuben, Candi Bumijawa terletak di lereng Gunung Slamet dan menggunakan batu andesit.

Napas Hindu begitu kental di Candi Bumijawa. Hal itu berdasarkan temuan Lingga perwujudan Dewa Syiwa, satu dari tiga dewa utama dalam agama Hindu.

Di lokasi penggalian juga ditemukan pasangan lingga, yaitu Yoni, perwujudan Dewi Parwati, Sakti atau istri dari Dewa Syiwa.

Penggalian Kesuben sesunguhnya adalah penguraian benang merah jejak Mataram Kuno. Tiga tahun sebelumnya, kemegahan dinasti Tanah Jawa ini terekam pula di dinding Pustakasala atau Candi Kimpulan.

Candi ini diperkirakan berdiri pada abad ke-9 sampai ke-10 masehi, di era pemerintahan Rakai Panangkaran. Syahdan, di sinilah dinamika Kerajaan Mataram Kuno tergurat dari Wangsa Syailendra hingga keturunan Wangsa Sanjaya. Dilihat dari relief struktur bangunan serta ukiran, Kimpulan adalah campuran antara agama Hindu dan Buddha.

Candi ini ditemukan tak sengaja di lokasi kampus Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta, pada awal Desember 2009. Ketika itu tengah didiadakan penggalian untuk fondasi proyek pembangunan perpustakaan. Kimpulan terkubur sekitar lima meter di bawah tanah akibat letusan Gunung Merapi sekitar 1.000 tahun silam.

Di sini para arkeolog menemukan Arca Ganesha dan Lingga Yoni di Candi Perwara atau pendamping. Temuan yang mengejutkan karena Lingga Yoni biasanya hanya berada di candi induk.

Penemuan Kimpulan juga menjadi pertanda bahwa di tiap wilayah Yogyakarta menjadi pecahan kecil teka-teki tentang Mataram Kuno.

Pembabakan candi di Tanah Jawa terdiri dari beberapa teori. Salah satunya adalah teori kronologi. Periode abad ke-8 sampai ke-10 disebut klasik tua. Sedangkan untuk klasik muda berkisar pada abad ke-10 hingga 16.

Masa klasik tua identik dengan candi berbatu andesit. Klasik muda yang banyak dijumpai adalah candi berbahan bata merah.

Tapi penemuan candi di kesuben tergolong unik. Meski jenis batuannya berbata merah, candi ini tak termasuk tipe klasik muda. Hal ini disebabkan kondisi lingkungan sekitar candi yang memang cukup sulit ditemukan bebatuan andesit.

Candi jiwa. Candi ini tak terbuat dari andesit, tapi dari lempengan-lempengan bata merah. Letaknya di Kompleks Percandian Batujaya, sisa-sisa percandian Buddha kuno di Kabupaten Karawang, Jawa Barat.

Pemakaian kata jiwa ini muncul seiring perjalanan waktu. Sejatinya kata jiwa lebih dekat dengan nama salah satu dewa dalam agama Hindu, Syiwa. Padahal, candi ini lebih identik pada Buddha ketimbang Jindu. Dan di Buddha tak mengenal Dewa Syiwa. Tak ditemukan pula di candi ini bangunan berupa tangga, sehingga wujudnya mirip dengan stupa atau arca Buddha.

Sejumlah warga setempat mengisahkan, kata jiwa berasal dari sifat unur atau gundukan tanah candi yang dianggap mempunyai jiwa. Beberapa kali kambing yang diikat di atasnya seketika mati. Situs percandian di Batujaya ini jauh lebih tua dari periode Mataram Kuno. Dalam babak peradaban di Tanah Jawa, situs ini juga penting.

Berdasarkan uji karbon, lapisan budaya tertua di situs Batujaya berkisar abad kedua masehi atau sejak masa peralihan dari prasejarah ke sejarah. Sedangkan yang termuda dari abad ke-12 masehi. Klaim menyebutkan, situs ini berasal dari abad kelima. Ini bisa diartikan peradaban di lumbung padi Jawa Barat ini lebih tua dari masa Mataram Kuno.

Termasuk klasik tua, Candi Jiwa juga menggunakan bata merah sebagai bahan baku. Boleh jadi salah satu faktornya adalah lingkungan sekitar yang memang jauh dari pegunungan tempat batu andesit berada. Keunikan ini mirip dengan Candi Kesuben. Sama-sama tipe klasik muda, tapi berbahan baku bata merah.

Sejauh ini proses ekskavasi masih terus berlangsung di kesuben. penggalian dilakukan dengan beberapa tahap. penemuan gerabah dan tembikar di candi kesuben telah menandakan bahwa di sini kebidupan telah tumbuh. Menjadi bagian parade panjang kejayaan dinasti Mataram Kuno di Tanah Jawa.(ULF)

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

    Video Terkini