Sukses

Preman &quotRibut&quot, Cakung Memanas

Pertikaian antaretnis meletus di kawasan Cakung, Jakarta Timur. Perselisihan preman dari dua kelompok etnis, Betawi dan Madura memicu tawuran.

Liputan6.com, Jakarta: Awal pekan silam, tepatnya 15 Juli 2002, mungkin menjadi hari yang tak akan terlupakan bagi warga yang tinggal di kawasan Cakung, Jakarta Timur. Betapa tidak, saat itu masyarakat setempat dikejutkan dengan pertikaian hebat yang melibatkan dua etnis, Madura dan Betawi. Suasana di kawasan Cakung pun sempat mencekam. Wilayah ini seakan diselimuti wajah-wajah beringas penuh api dendam. Berbagai senjata tajam dihunus masing-masing kelompok.

Pertikaian ini bermula dari keributan di kawasan Sukapura, tak jauh dari Cakung. Terjadi perselisihan sesama preman dari dua kelompok etnis di tempat itu. Kabar keributan pun berkembang dengan berbagai versi yang menyulut solidaritas etnis kedua kelompok. Buntutnya, perkelahian meluas ke kawasan Jalan Tipar, Cakung, dengan melibatkan massa lebih besar. Korban tak bisa dihindari. Seorang warga dari Kelurahan Cakung Barat bernama Romli tewas mengenaskan dibantai dalam tawuran itu. Tercatat lima warga juga menderita luka parah [baca: Kerusuhan di Cakung, Seorang Tewas].

Dalam situasi genting, ratusan polisi dari Kepolisian Metro Jaya segera dikerahkan. Tak kurang tiga Satuan Setingkat Kompi diturunkan untuk mengatasi situasi. Bahkan, Kepala Polda Metro Jaya Inspektur Jenderal Polisi Makbul Padmanegara langsung ke lokasi. Melihat gejala yang kian tak menentu, Makbul mengultimatum warga yang bertikai. Jika mereka tak segera menyimpan senjata dan menyudahi pertikaian, polisi tidak segan menembak di tempat. Ultimatum ini cukup efektif, sehingga ketegangan agak mereda.

Namun, ketika kawasan Cakung mereda, situasi di Jalan Penggilingan, memanas. Keributan di kawasan ini dipicu perusakan mobil Ketua Forum Betawi Rempug (FBR) Fadloli El Munir. Menurut Kepala Kepolisian Resor Metro Jaktim Komisaris Besar Polisi Idrus Gasing, kerusuhan terjadi menyusul pelemparan ke massa Madura yang akan pulang dari Penggilingan ke Buaran. Pelemparan terjadi tepat di depan gardu FBR. "Ya, namanya masih emosi, mereka turun dan mengejar. Kelompok FBR melapor ke Haji Fadloli, yang saat itu berada di Tipar bersama kami. Dia pun berangkat ke Penggilingan. Di tengah perjalanan ada sekelompok Madura menyerang dan merusak mobil Haji Fadloli," kata Idrus.

Penyerangan inilah yang menyulut kemarahan warga FBR. Mereka berkumpul dan menyerang rumah warga Madura yang berada di sekitar markas FBR. Bahkan, ketika massa FBR semakin banyak, mereka memblokir jalan. Mendapat informasi demikian, polisi yang baru mengamankan wilayah Tipar segera bergerak ke lokasi untuk mengamankan situasi. Peringatan serupa saat menangani pertikaian di Tipar pun dikeluarkan. Massa yang bertikai diberi tenggat waktu sepuluh menit untuk meninggalkan tempat.

Hingga batas waktu yang diberikan, massa enggan meninggalkan tempat. Polisi pun membuktikan peringatannya. Dengan sigap, Polisi Antihuru Hara memaksa massa membubarkan diri dan meminta kembali ke tempat masing-masing. Namun, ada saja yang membangkang, sehingga polisi perlu bertindak tegas dengan melepaskan tembakan peringatan ke udara. Menjelang petang, keadaan bisa dikuasai. Kendati begitu, untuk mengamankan situasi dan mengantisipasi kerusuhan susulan, polisi tetap berjaga-jaga di lokasi kejadian [baca: Warga Cakung Bentrok Lagi].

Dugaan penyebab pertikaian antaretnis itu pun bermunculan. Diperkirakan, konflik ini sebagai akumulasi kekecewaan sekelompok masyarakat lokal terhadap warga pendatang. Menurut Penasihat Forum Komunikasi Masyarakat Madura (FKMM) Muhammad Rawi, konflik etnis yang belakangan ini terjadi di Jakarta banyak dipicu persoalan kecemburuan sosial dan perebutan aktivitas ekonomi. Perebutan lahan "Pak Ogah" dan lahan parkir, misalnya. Rawi menambahkan keributan bisa juga karena perbedaan pendapat tentang masalah yang sebenarnya tak perlu terjadi. Namun, karena ada organisasi yang memayungi mereka, sehingga timbul keberanian massa. "Padahal, selama ini mereka bisa hidup rukun berdampingan. Tak ada permasalahan," kata Rawi seakan menyalahkan organisasi massa.

Selain masalah ekonomi, persoalan budaya dan adat istiadat yang berbeda juga turut memberi andil pecahnya konflik etnis. Ketua Badan Musyawarah Betawi Abdus Syukur menduga, perbedaan status sosial dan budaya itulah yang dimanfaatkan sekelompok orang untuk mengadu domba kedua belah pihak. "Kemungkinan ada yang bermain di belakang untuk menjelekkan orang Betawi. Sejak dulu, Betawi hidup berdampingan dengan semua suku, rukun, dan damai," kata Abdus Syukur.

Namun, dugaan kecemburuan sosial dan perebutan aktivitas ekonomi sebagai sumber konflik dibantah Sekretaris FBR Lutfi Hakim. Dia menegaskan, warga Betawi tak membenci suku lain karena kesuksesannya. Menurut Lutfi, konflik etnis di Penggilingan, berbeda dengan konflik etnis yang meletus di Sukapura dan meluas ke Tipar. Pemicu konflik di Penggilingan karena Pimpinan FBR Fadloli diserang sekelompok masyarakat pendatang tanpa diketahui penyebabnya. "Peristiwa ini karena Pak Kiai diserang kelompok Madura. Itu tak ada kaitannya dengan persoalan palak memalak di Sukapura dan Tipar," ujar Lutfi membela.

Sedangkan menurut pengurus rukun tetangga setempat, memang selama ini ada semacam sangkaan terhadap warga Madura. Beberapa kejadian seperti pencurian, misalnya. Menurut Nidun, ketua RT 03 Pedaengan, warga sering melihat pencuri berlari ke arah lapangan yang berdekatan dengan kompleks perumahan yang banyak dihuni warga Madura. "Orang banyak bilang katanya suku "anu" pencurinya. Tapi, kami sebagai pengurus tak bisa bilang sebagai orang Madura. Cuman orang sini resah," jelas Nidun.

Ketua FKMM Kholil Sudo menyatakan, selama ini warga Madura tak pernah menyerang warga Betawi. Kholil justru mencurigai ada sekelompok ormas yang sengaja mengusik ketenangan warga Madura. "Orang Madura selalu yang disudutkan. Setiap lewat di depan orang, warga Madura diejek. Setiap ada masalah kecil, kami yang disalahkan. Namun, selama ini, saya tetap mengimbau kepada warga Madura supaya jangan terpancing dan menyerang," kata Kholil.

Sebaliknya, Ketua FBR Fadloli berpendapat lain. "Saya walaupun termasuk orang yang didolimi orang Madura, namun saya membuka pintu maaf demi menciptakan keamanan di Ibu Kota. Karena itu, saya langsung terjun ke masyarakat bawah untuk meredam emosi massa Betawi agar melucuti senjata dan tak mengumbar kata yang dapat mengusik orang lain. Usaha ini saya mohon juga berlaku bagi orang Madura," aku Fadloli.

Pertikaian memang sudah berlalu. Namun, suasana mencekam dan ketakutan diserang sempat dirasakan warga dari kedua etnis. Bahkan, tak sedikit perempuan dan anak-anak harus mengungsi ke tempat yang dianggap lebih aman. Karena itu, untuk mencairkan kembali suasana dan mencegah peristiwa serupa terulang, para pentolan kedua kelompok mengambil jalan damai. Sejumlah komponen dan tokoh masyarakat dari dua etnis itu juga sempat bertemu dan mengucapkan ikrar di sebuah hotel di Jakarta untuk berdamai.

Pertemuan yang juga dihadiri Abdul Aziz, pengurus Forum Persaudaraan Etnis, menyepakati menghentikan pertikaian. Selain melihat peristiwa di Tipar sebagai musibah yang tak diinginkan oleh masing-masing kelompok bertikai, mereka juga menyesalkan peristiwa yang disebutkan sebagai Senin Kelabu itu. Apalagi, konflik etnis itu terjadi di daerah yang telah dihuni kedua kelompok selama bertahun-tahun. Karena itu, para tokoh berikrar untuk mempertahankan hidup rukun dan damai tanpa harus saling mengganggu.

Menurut Fadloli, solusi ke depan, tokoh masyarakat harus membina ke bawah dan aparat kepolisian lebih adil dalam bertindak, sehingga tak terjadi lagi peristiwa yang lebih parah. Berbeda dengan Fadloli yang terkesan tak puas dengan tindakan polisi, masyarakat Madura justru mendukung tindakan tegas aparat kepolisian dalam menindak pelaku penyerangan. "Kami mendukung tindakan tegas aparat keamanan tanpa kecuali. Bahkan, kami dengan senang hati akan menyerahkan pelaku asalkan ada jaminan untuk tidak mendiskreditkan keluarga Madura," kata Muhammad Rawi.

Imbauan tokoh masyarakat dari kedua etnis dan kesigapan polisi meredam suasana panas, akhirnya membuahkan hasil. Kepolisian Resor Metro Jakut menahan empat orang pascakerusuhan di Jembatan Tinggi Tipar itu. Mereka diduga menjadi dalang bentrokan antarwarga di kawasan perbatasan Jakarta Utara-Timur tersebut [baca: Empat Tersangka Kerusuhan Cakung Ditahan]. Hingga kini, suasana di lokasi pertikaian berangsur tenang seperti semula. Masyarakat dari kedua etnis kembali membaur seakan melupakan peristiwa Senin Kelabu. Apalagi, ikrar perdamaian sudah diucapkan. Sekarang ini, sangat bergantung pada kesadaran masing-masing kelompok untuk tak mengulang peristiwa tersebut.

Usaha perdamaian tak sebatas dalam pertemuan. Para tokoh masyarakat kedua kelompok juga berkunjung ke rumah korban. Dengan suka rela dan tulus ikhlas, mereka menyumbang tanda duka cita. Pascapertemuan itu seakan mengubur segala dendam kesumat di antara mereka. Keluarga korban menerima semua musibah sebagai cobaan.

Konflik antaretnis di kawasan Cakung, kian menambah panjang daftar konflik antarsuku yang pernah terjadi di Jakarta. Menurut sosiolog perkotaan Universitas Indonesia Gumilar Rusliwa, konflik yang terjadi di Cakung atau sebelumnya menunjukkan penguatan ikatan etnis. Namun, di sisi lain, Gumilar menilai, penegakan hukum di negara ini lemah. Artinya, kata Gumilar, ada proses deligitimasi dari kelompok masyarakat terhadap tata aturan hukum negara. Konflik tersebut dianggap sebagai munculnya freedom of spears atau ruang kebebasan untuk bertindak. "Saya kira kondisi ini cukup rentan terhadap kelompok yang ingin mempolitisasi. Memang ini perlu dicermati," kata Gumilar.

Pertikaian telah terjadi hingga menimbulkan korban jiwa. Rasa ketakutan pun menyelimuti warga dari kedua belah pihak. Kini, setelah konflik itu bisa diredam, timbul rasa penyesalan di antara mereka. Mereka juga berharap supaya aparat keamanan bertindak lebih tegas. Seperti yang diungkapkan warga bernama Pardi, Mukhlis, dan Heri. Mereka berharap pertikaian serupa tak terulang dan polisi lebih meningkatkan keamanan. "Pak aparat keamanan harus bertindak tegas. Masa kita ini kan sebagai warga negara kok selalu nggak aman hidup di negara sendiri," harap Pardi.

Konflik di Cakung atau pertikaian sebelumnya, seharusnya tak perlu terjadi apabila masing-masing kelompok berbesar hati menyelesaikan segala persoalan dengan hati dingin. Satu yang pasti, konflik hanya akan merugikan kedua belah pihak dan menimbulkan ketakutan rakyat kecil yang tak berdaya.(DEN/Tim Derap Hukum)

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

    Video Terkini