Sukses

Stop Kekerasan Atas Nama Agama

Aksi teror hanya menimbulkan kebencian terhadap sesama yang sejatinya harus hidup berdampingan satu sama lain. Maka kekerasan atas nama agama harus berhenti sekarang juga.

Liputan6.com, Jakarta: Kekerasan atas nama agama beberapa tahun terakhir mewarnai berbagai sisi kehidupan masyarakat di Tanah Air. Dengan motif jihad, para pelaku menebar teror. Banyak yang sudah tertangkap serta dipenjara. Akan tetapi kegiatan teror mengatasnamakan agama tidak berhenti.

Mungkin sebagian warga Indonesia ingat dengan Cikeusik berdarah. Dengan meneriakkan nama Tuhan, tiga warga Ahmadyah dibunuh secara sadis. Enam lainnya luka berat dan meninggalkan trauma. Lima bulan setelah peristiwa mengenaskan itu, 12 pelaku hanya divonis tiga hingga enam bulan penjara.

Bukan hanya jemaat Ahmadyah sulit beribadah. Jemaat Kristen di GKI Yasmin yang telah dimenangkan di tingkat MA masih harus beribadah di jalan. Itu pun terus diintimidasi sekelompok orang yang mengatasnamakan warga. Padahal diketahui kebanyakan mereka dari luar wilayah tersebut.

Sebelumnya pada Hari Lahir Pancasila yang sejatinya harus menghormati keberagaman dinodai dengan pemukulan massa Aliansi Kebangsaan untuk Kebebasan Beragama oleh anggota Front Pembela Islam. Aksi kekerasan tampaknya terus melekat dengan organisasis ini. Isu pembubaran ormas pun mengemuka.

Budayawan dan pemuka Kristen, Romo Mudji Sutrisno, menyebutkan kekerasan yang terus terjadi disebabkan adanya krisis saling percaya sesama rakyat. Krisis ini merupakan akumulasi dari berbagai masalah yang mendera bangsa. "Mulai dari masalah ekonomi, politik, hingga ketidakadilan," katanya.

Lebih jauh Romo Mudji mengatakan di wilayah agama, terlalu religi yang disoroti masyarakat bukan titik temu soal keimanannya. "Seharusnya bagaimana agama bisa memberi sumbangan untuk mengentaskan kemiskinan," kata Romo Mudji dalam program Barometer di Studio SCTV, Jakarta, Kamis (23/2) malam.

Wakil Menteri Agama Nasaruddin Umar mengatakan pemerintah dalam posisi sulit mengatasi persoalan ini. "Satu sisi penegakan hukum harus ditegakan, di sisi lain persoalan-persoalan yang ada sedemikian menumpuk. Nah inilah, perlu ada seni tersendiri menyelesaian dan memenej bangsa ini," katanya.

Sementara itu cendekiawan muslim Azumardi Azra kekerasan atas nama agama hanya dilakukan sekelompok kecil. "Masyarakat muslim Indonesia itu cinta damai yang diwakili oleh NU, Muhammadiyah, dan lain-lain. Pemahaman keagamannya juga mengajarkan kedamaian," kata Azumardi Azra.

Kekerasan hanya dilakukan oleh kelompok-kelompok kecil yang akar-akarnya ada dua. Ideologi yang cenderung literal dan dalam melihat kemungkaran, bagi mereka tidak cukup dengan amar maruf tapi nahi mungkar. "Nahi mungkar itu ya harus dengan tangan termasuk pakai pentungan," ungkap Azra.

Peristiwa-peristiswa kekerasan dan tragedi kemanusiaan atas nama agama juga terjadi di dunia internasional. Korban kekerasan terhadap mereka yang disebut terakhir hampir selalu yang punya pikiran-pikiran non mainstream dan kritis terhadap kebijakan dan praktik-praktik antikemanusiaan.

Pemuka agama dari Amerika Serikat Sayyid Syeed menyebutkan kekerasan atas nama agama sama sekali tidak dapat diterima. "Itu memprihatinkan karena agama mengajarkan kita tentang disiplin diri untuk menjalani hidup dan berhubungan dengan Tuhan tapi di saat yang sama agama menyiapkan kita untuk berinteraksi dengan ciptaan Tuhan dengan penuh kasih. Ini yang diajarkan Alquran atau kitab suci agama lain," Sayyid Syeed.

Hal senada diungkapkan pemuka agama dari AS lainnya yakni Julie Sconfeld. Menurut Sconfeld, setiap manusia adalah suci dan setiap jiwa manusia mempunyai nilai yang suci. "Sehingga Yudaisme menolak segala bentuk kekerasan dan benar-benar berkomitmen untuk menyelamakan dan menjaga setiap jiwa manusia," katanya.

Pendeta Chloe Anne Breyer juga sangat menolak kekerasan atas nama agama terutama jika dilakukan terhadap umat minoritas. "Di AS, kami punya konstitusi yang menjamin kebebasan beragama. Kongres juga akan mengesahkan hukum yang mengakui agama. Jadi di satu sisi para pendiri negeri kami datang dari Eropa mencari tempat untuk menjalankan agama mereka secara bebas," katanya.

"Di New York, kami berurusan dengan 15 agama berbeda. Saya rasa kita jangan membatasi diri dengan agama-agama Ibrahim. Saya ingin membedakan antara kita memakai kata minoritas. Minoritas orang memakai kekerasan sebagai ekspresi keagamaan. Itu tidak bisa diterima," ungkap Pendeta Chloe.

Menurut Sayyid untuk menghentikan kekerasan atas nama agama butuh waktu lama dan tanggung jawab bersama. Seperti perjuangan warga kulit hitam diakui di AS. "Warga kulit hitam di AS telah mendapatkan tempat terhormat. Jika kini seorang pria kulit hitam berada di Gedung Putih, itu tidak terjadi secara tiba-tiba," katanya Sayyid.

Ketua PP Muhammadiyah Din Syamsuddin menyebutkan kalau Indonesia harus belajar banyak tentang toleransi beragama dari AS yang melibatkan banyak keyakinan. "Mereka bersatu menghadapi tantangan terorisme dan kekerasan. Terorisme tidak berakar pada agama," kata Din Syamsuddin.

Din menambahkan di Indonesia mempunyai modal sosial keagamaan. Modal tersebut diwujudkan dalam ideologi negara yaitu Pancasila. "Ini kekayaan masyarakat Indonesia di seluruh komunitas agama bahwa agama dari Tuhan tapi itu untuk manusia dan kemanusiaan," ungkap Din. Ia menambahkan wajah dari humanisme ini akan menjadi titik temu bagi kita semua walaupun berbeda agama.

Indonesia sudah menjadi sorotan dunia maka stop kekerasan yang mengatasnamakan agama. Aksi teror hanya menimbulkan kebencian terhadap sesama yang sejatinya harus hidup berdampingan satu sama lain. Maka kekerasan atas nama agama harus berhenti sekarang juga.(JUM)

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

    Video Terkini