Sukses

Kisah Pilu TKI, Cerminan Bangsa <i>Inlander</i>

Obrolan tentang Ruyati binti Satubi yang dihukum pancung di Mekkah, Arab Saudi, 18 Juni lalu masih saja ramai dibicarakan di media massa dan di berbagai kalangan masyarakat. Masyarakat kecewa pada pemerintah.

Obrolan tentang Ruyati binti Satubi yang dihukum pancung di Mekkah, Arab Saudi, 18 Juni lalu masih saja ramai dibicarakan di media massa dan di berbagai kalangan masyarakat di banyak tempat dan kesempatan. Sebetulnya kasus Ruyati bukanlah yang pertama. Sepanjang tahun ini sudah ada 28 orang yang dihukum mati di Arab dan masih ada 27 lagi TKI yang terancam hukuman mati. Belum lagi kasus penyiksaan dan tindakan tidak adil yang diterima TKI di berbagai negara. Beberapa orang menyoroti pihak PJTKI yang tidak bertanggung jawab. Menurut data saat ini ada sekitar 570 ribu PJTKI.

Dari jumlah itu ada sekitar 130 ribu yang bermasalah. Mereka kurang bertanggung jawab terhadap para TKI, melakukan penipuan, pemerasan, dan pemalsuan dokumen. Beberapa orang menyoroti pihak KBRI yang dianggap kurang peduli pada nasib para TKI. Mereka kurang mampu menjadi payung perlindungan atau membela TKI yang sedang terkena masalah. Sorotan juga ditujukan pada pemerintah yang dianggap tidak peduli pada TKI, padahal ada pejabat yang mengatakan bahwa TKI adalah pahlawan devisa.

Masyarakat dan pejabat pemerintah baru bereaksi bila sudah ada jatuh kurban. Ketika Siti Hajar, perempuan berusia 33 tahun berasal dari Garut, disiksa oleh majikannya di Malaysia maka banyak orang ribut bahkan ada seruan-seruan provokatif yang terdengar di sana sini untuk menghajar Malaysia. Demikian pula ketika Sumiati, perempuan berusia 23 tahun asal Dompu, disiksa secara sadis oleh majikannya di Arab Saudi, banyak orang mengkritik keras orang Arab. Kini ketika kasus Ruyati muncul orang pun menjadi ribut lagi.

Para politisi tampil di televisi mendiskusikan kasus ini dengan penuh semangat. Usulan dan gagasan yang bagus dilontarkan. Tapi sebentar lagi semua itu pasti sudah menghilang seperti buih sabun yang menggelembung lalu pecah dan menghilang. Semua debat dan diskusi tidak mengarah pada langkah-langkah konkrit ke depan untuk melindungi para TKI. Menurut Tempo Interaktif (Edisi, 23 Agustus 2010), ada 6.845 TKI terjerat kasus hukum di Malaysia dengan rincian 4.804 tersangkut masalah imigrasi, sedangkan 2.041 terkena masalah kriminal. Sebanyak 177 orang terancam hukuman mati. Dari jumlah itu ada 70 orang yang telah dijatuhi vonis hukuman mati. Angka ini pasti sudah berubah lagi saat ini. Dengan demikian kasus Ruyati bukanlah kasus terakhir.

Perlakuan tidak manusiawi yang dialami para TKI sudah terjadi sebelum mereka berangkat. Berlanjut terus sampai mereka pulang kembali ke Tanah Air. Ketika akan berangkat mereka sudah menerima perlakuan yang kurang manusiawi. Sering mereka diperas dan ditipu oleh PJTKI yang kurang bertanggung jawab. Di negara tujuan, mereka juga menghadapi masalah yang cukup kompleks. Belum lagi masalah perubahan perilaku sehingga banyak cerita negatif tentang kehidupan para TKI di negara tujuan. Ketika pulang ke Indonesia pun mereka menghadapi masalah lagi. Bila kita kembali ke Indonesia menumpang pesawat bersama para TKI maka sesampai di bandara, kita akan melihat perlakuan yang berbeda terhadap mereka.

Memang harus diakui bahwa banyak juga TKI yang secara ekonomi berubah menjadi lebih baik, sehingga banyak orang yang nekat menjadi TKI meski dia tahu banyak risiko yang akan dihadapinya. Kondisi daerah asal yang tidak mampu memberikan jaminan pekerjaan dengan upah yang cukup, kemiskinan keluarga, kemiskinan akibat ditinggal suami pergi atau suami yang tidak bekerja, dan masalah kemiskinan lainnya yang menghimpit membuat banyak orang bertekad untuk mengubah situasi dan kondisi kehidupan mereka. Impian mendapatkan uang yang cukup untuk menghidupi keluarga menjadi modal utama mereka pergi ke negara asing yang memungkinkan mampu memenuhi harapan mereka. Tekad mereka kurang didukung oleh ijasah formal yang cukup dan keterampilan yang memadai.

Akibatnya mereka hanya menjadi buruh kasar atau pembantu rumah tangga yang sangat besar menanggung risiko. Sebetulnya ada banyak orang Indonesia yang bekerja di luar negeri dan tidak pernah terdengar mereka mendapatkan perlakuan yang mengerikan seperti yang dialami oleh para TKI. Bila mereka mempunyai pendidikan yang tinggi dan keterampilan yang cukup, maka kehidupan mereka jauh dari masalah.

Mantan Presiden RI, BJ Habibie juga dulu pernah bekerja di Jerman. Selain beliau masih banyak lagi orang Indonesia yang menjadi peneliti di banyak universitas, menjadi dokter terkenal, bekerja di pemerintahan, pengusaha, bahkan bekerja di lembaga-lembaga bergengsi di luar negeri. Tetapi karena mereka mempunyai pendidikan yang tinggi dan keterampilan yang mumpuni, maka terhindar dari masalah yang rumit seperti yang dihadapi oleh para TKI. Maka sebutan TKI pada umumnya ditujukan pada warga negara Indonesia yang bekerja sebagai buruh, pembantu rumah tangga, atau pekerja informal rendahan lainnya.

Bila ada kasus mengenai TKI maka salah satu yang sering dikeluhkan adalah bahwa pemerintah kurang mampu memberikan lapangan pekerjaan. Jika melihat angka pertumbuhan angkatan kerja yang naik setiap tahunnya tidak sebanding dengan pertumbuhan lahan pekerjaan yang ada. Menurut data bulan Februari jumlah angkatan kerja Indonesia mencapai sekitar 119.4 juta orang. Ini bertambah 2,9 juta dibanding bulan Agustus 2010 atau bertambah 3,4 juta dibandingkan dengan bulan Februari 2010. Jumlah angkatan kerja akan terus bertambah sedangkan lapangan pekerjaan semakin sulit bila hanya bergantung dari sektor industri dan penunjang industri. Apalagi dalam situasi ekonomi yang sulit seperti saat ini di mana banyak barang impor yang harganya lebih murah dibandingkan dengan bila memproduksi sendiri mengakibatkan beberapa pabrik harus gulung tikar dan terjadi PHK. Maka tuntutan agar pemerintah membuka lahan pekerjaan merupakan tuntutan yang sangat jauh dari realisasinya.

Sebetulnya angkatan kerja ini dapat dialihkan untuk menggarap lahan di pedesaan. Negara kita memiliki alam yang subur dan luas. Masih banyak tanah yang tidak dimanfaatkan sehingga menjadi lahan mati. Sumber lautan pun banyak yang dicuri oleh negara tetangga, sebab kita kurang mengelola dengan baik.

Bila pemerintah serius ingin membuka lahan pekerjaan maka hal yang dapat dilakukan adalah memanfaatkan lahan-lahan mati dan mengolahnya menjadi tanah pertanian atau perkebunan. Hal yang memprihatinkan adalah pemerintah kurang berpihak pada petani. Pemerintah kurang membangun teknologi untuk pertanian, perikanan dan peternakan serta membangun sarana penunjangnya. Jalan-jalan di pedesaan banyak yang rusak parah, sehingga petani tidak mampu menjual hasil buminya di kota. Bila hasil panen tidak mampu dijual dengan harga yang memadai maka tidak mengherankan bila ongkos produksi lebih tinggi daripada hasil yang diperoleh. Akibatnya petani, nelayan, dan peternak tetap dalam hidup miskin.

Menjadi TKI merupakan satu-satunya alternatif untuk keluar dari kemiskinan. Pada umumnya orang desa kurang mampu bersaing dengan orang kota untuk mendapatkan pekerjaan di kota. Dia pun enggan menjadi petani sebab suramnya pertanian di negara kita. Maka salah satu cara untuk keluar dari kemiskinan adalah pergi keluar negeri. Mereka berharap di luar negeri akan mendapatkan pekerjaan dan upah yang memadai. Seorang TKW di daerah Blitar selatan mampu mengirim uang sekitar Rp 2 juta per bulannya. Hasil sebesar itu tampaknya sangat sulit diperoleh para petani di kampung halamannya. Maka, meskipun mereka tahu adanya risiko yang sangat besar bila bekerja di negara asing, mereka tidak peduli.

Pemerintah sudah mengeluarkan UU no 39 tahun 2004 tentang penempatan dan perlindungan tenaga kerja Indonesia meski masih banyak kekurangan terutama dalam bidang perlindungan tenaga kerja. Pemerintah juga sudah membentuk Badan Nasional Perlindungan dan Penempatan TKI (BNP2TKI). Selain itu pemerintah juga melakukan koordinasi lintas lembaga tinggi negara, yang meliputi departemen tenaga kerja dan transmigrasi, departemen luar negeri dan BNP2TKI.

Dengan demikian perangkat hukum sudah ada. Koordinasi pun sudah dilakukan bahkan koordinasi ini juga melibatkan perangkat-perangkat kecamatan dan desa. Walaupun sudah ada UU dan koordinasi tingkat menteri tapi masalah TKI terus bermunculan, baik yang diliput secara luas oleh media seperti masalah Ruyati maupun yang tidak mendapat liputan sehingga tenggelam begitu saja. Dengan demikian, pasti masih ada lubang besar yang memungkinkan terjadinya kasus penindasan dan pemerasan bahkan pembunuhan TKI.

Pembuatan UU atau pun pembuatan sebuah sistem perlindungan hanya akan menjadi sebuah kertas tidak berguna bila tidak disertai oleh perubahan manusia. Saat ini kita memasuki era neoliberalisme yang mempengaruhi pola pikir manusia. Salah satu pola pikir atau pandangan manusia yang semakin menguat adalah individualisme. Orang hanya berpikir tentang kepentingan diri sendiri.

Jean Jacques Rousseau, seorang filsuf dari Swiss berpendapat bahwa manusia seperti atom yang mampu berdiri sendiri, sehingga dia tidak membutuhkan sesamanya. Thomas Hobbes, filsuf Inggris, mempunyai pendapat lain lagi. Dia mengatakan bahwa masyarakat adalah himpunan individu-individu yang masing-masing secara egoistis mengejar kepentingan mereka sendiri. Baginya manusia adalah serigala bagi sesamanya. Bagi Hobbes manusia bukan hanya ingin hidup sendiri tapi dia menjadikan sesamanya sebagai mangsa.

Pendapat Hobbes ini memang sangat mengerikan, tapi mau tidak mau, diakui atau tidak diakui, sadar atau tidak sadar pendapat ini sudah merasuk dalam diri bangsa kita. Orang yang merasa kuat berusaha memangsa orang yang lemah seperti serigala yang berusaha memangsa domba atau hewan lemah lainnya.

TKI adalah sekumpulan manusia yang lemah. Manusia yang terhimpit oleh situasi kemiskinan dan kebuntuan lapangan pekerjaan. Manusia yang tidak mempunyai perlindungan memadai. Maka mereka menjadi sasaran empuk bagi orang-orang yang merasa dirinya kuat. Sudah banyak kisah pilu para calon TKI yang tertipu oleh PJTKI. Setelah dimintai uang macam-macam akhirnya mereka tidak jadi berangkat, atau perusahaan tiba-tiba lenyap atau mengingkari kesepakatan. Di negara asing pun mereka seperti domba yang tanpa perlindungan dari PJTKI dan KBRI. Setelah Ruyati dihukum pancung baru terbuka bahwa dia tidak mendapatkan pendampingan hukum dan pihak KBRI tidak tanggap akan situasi yang dihadapinya. Demikian pula dalam kasus kasus lainnya. Ketika kembali ke Indonesia para TKI pun menjadi mangsa banyak pihak yang berusaha mengeruk keuntungan dari hasil jerih payahnya. 

Maka sebagus apa pun UU dibuat bila orang telah menjadi serigala bagi sesamanya, maka UU itu hanya sebuah tulisan yang tidak ada gunanya. Padahal negara kita ini dibangun oleh para pendiri bangsa dengan rasa solidaritas.

Soekarno, Presiden RI yang pertama secara tegas mengatakan bahwa kita hidup di alam nasional dengan pengertian bahwa kita berhubungan erat dengan seluruh perikemanusiaan dan kemanusiaan. Hal ini diartikan bahwa negara kita berdiri di atas rasa perikemanusiaan yang adil dan beradab. Apa yang didengungkan oleh Soekarno jauh berbeda atau berlawanan dengan pendapat Hobbes yang mengabaikan perikemanusiaan. Tapi ajaran Soekarno dan para pendiri bangsa ini tampaknya tidak berbekas lagi pada bangsa kita di jaman ini. Para pemimpin sibuk untuk memperkaya diri sehingga lupa atau mengabaikan rakyat miskin dan lemah. Apa yang tidak menguntungkan bagi dirinya akan diabaikan. Ruyati dianggap tidak menguntungkan, maka dia dibiarkan menghadapi pengadilan seorang diri dan akhirnya dihukum pancung.

Masalah penyiksaan dan pembunuhan TKI oleh warga negara asing sebetulnya bukanlah sebuah masalah kecil dan perlu ditindak lanjuti oleh pemerintah secara serius. Masalah ini bukan hanya masalah pribadi Ruyati, Siti Hajar, Sumiati dan sebagainya melainkan sudah menyentuh masalah harga diri bangsa Indonesia. Memang mereka berangkat ke negara asing atas kemauan sendiri. Mereka juga hanya menjadi pekerja rendahan. Tetapi bagaimanapun mereka adalah warga negara Indonesia yang harus dilindungi oleh pemerintah Indonesia. Kasus penyiksaan dan pelecehan terhadap mereka seharusnya melukai martabat bangsa Indonesia. Ketidakadilan dan kesewenang-wenangan yang mereka terima mencerminkan pelecehan terhadap bangsa. Kasus penyiksaan, pembunuhan, hukuman mati warga negara Indonesia dan di negara lain bukan hanya sekadar kasus biasa melainkan sudah merupakan kasus antarnegara. Sikap kesewenang-wenangan suatu bangsa terhadap warga negara asing sebetulnya melukai harga diri bangsa, sebab mereka menjadi perwakilan penduduk Indonesia di tanah asing.

Bila dia dapat diperlakukan secara biadab dan tanpa tindakan tegas dari pemerintah Indonesia, maka semua orang akan menganggap bahwa semua warga negara Indonesia dapat diperlakukan seperti itu.

Kita adalah bangsa yang besar dengan jumlah penduduk di atas 200 juta tapi bermental inlander, meminjam istilah dari almarhum Mangunwijaya, sebuah mentalitas yang berhasil ditanamkan oleh bangsa Belanda ketika menjajah dulu. Mentalitas ini membuat kita tidak mempunyai kebanggaan diri. Kita minder bila berhadapan dengan bangsa lain. Sebaliknya kita dapat bertindak keji terhadap bangsa sendiri. Sudah banyak warga negara Indonesia yang menjadi korban kekerasan di Arab Saudi dan Malaysia, tetapi tidak ada tindakan keras dari pemerintah Indonesia terhadap negara-negara tersebut. Seolah kita takut pada negara-negara asing.

Oleh karena kita sering diam ketika diperlakukan tidak adil, maka negara-negara lain pun dapat bertindak sewenang-wenang terhadap negara kita. Misalnya Malaysia yang sering bersikap arogan terhadap negara kita. Tanpa malu Malaysia mengumumkan beberapa budaya asli Indonesia sebagai budaya asli mereka, hal itu hanya ditanggapi dengan kemarahan di dalam negeri saja. Tetapi tidak ada usaha dari pemerintah untuk memperjuangkan dalam tataran tingkat negara. Malaysia pun berani menyerang kapal Indonesia bahkan menahan petugas Indonesia yang berusaha menggagalkan pencurian ikan yang dilakukan oleh orang Malaysia di perairan Indonesia. Hal ini bukan berarti kita harus berperang melawan negara-negara yang memandang rendah negara kita yang akan membawa banyak korban. Tetapi seharusnya pemerintah melakukan tindakan-tindakan diplomatik yang tegas untuk membela kepentingan bangsa dan negara Indonesia.

Sebetulnya kita dapat belajar dari Filipina bagaimana seharusnya melindungi warga negaranya yang bekerja di negara asing. Pada tahun 1995, Sarah Balabagan yang bekerja sebagai pembantu rumah tangga di Arab dituduh membunuh majikannya yang hendak memperkosanya sehingga dia dijatuhi hukuman mati. Maka semua warga Filipina mengajukan pengampunan dan akhirnya diterima. Demikian pula ketika Flor Contemplation pada tahun 1995 yang bekerja di Singapura dituduh membunuh seorang anak majikannya sehingga dijatuhi hukuman mati, maka Presiden Fidel Ramos memperjuangkan pembebasannya meski hal itu menimbulkan ketegangan hubungan diplomatik antara kedua negara itu.

Pemerintah Filipina bukan hanya berjuang bagi warga negaranya yang menghadapi kasus hukum atau diperlakukan sewenang-wenang, tetapi juga memperjuangkan upah warga negaranya yang bekerja di negara asing. Ketika Hong Kong menurunkan upah kerja bagi warga negara Filipina, maka Presiden Filipina sendiri datang ke Hong Kong untuk menyatakan protes. Pemerintah Filipina juga membuat perjanjian dengan negara-negara Arab ketika akan mengirimkan perawat-perawatnya ke sana. Dengan demikian ada kepastian hukum sehingga para pekerja itu tidak diperlakukan sewenang-wenang oleh negara yang dituju.

Sementara pemerintah Indonesia seolah tidak peduli pada warga negaranya yang mengalami masalah di negara asing. Meski sudah banyak TKI yang disiksa, diperkosa, tidak dibayar upahnya, dibunuh oleh majikannya, dan perlakuan yang tidak adil dan sewenang-wenang lainnya tapi seolah-olah ini bukan masalah besar yang menyangkut harga diri sebuah bangsa. Kita masih berusaha santun dan tidak ada tindakan tegas terhadap negara-negara itu. Kita hanya disuguhi diskusi dan debat kusir para politisi di televisi. Kita belum berani seperti Filipina yang berusaha sekuat tenaga melindungi para warganya yang bekerja di negasa asing. Maka tidak heran bila TKI dipandang sebagai budak seperti jaman dahulu kala yang tidak mempunyai perlindungan hukum. Kita masih menjadi bangsa yang kurang percaya diri. Bangsa inlander.

* Penulis adalah seorang rohaniwan, pendamping kaum buruh dan pinggiran di Surabaya

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

    Video Terkini