Sukses

Jejak Manusia Perahu di Pulau Galang

Dari ratusan ribu orang yang eksodus, mungkin hanya sekitar 50 persen yang selamat mencapai daratan di Malaysia, Hong Kong, Filipina, dan Indonesia. Mereka itulah yang belakangan dikenal dengan sebutan manusia perahu.

Liputan6.com, Jakarta: Manusia perahu. Boleh jadi, banyak di antara kita yang mengetahui hal tersebut. Namun, pasti tidak sedikit yang belum mengetahuinya, terlebih melihatnya. Untuk itu, Potret pekan ini, Ahad (13/3), khusus mengulas masalah tersebut; Jejak Manusia Perahu di Pulau Galang.

Semua berawal dari Perang Vietnam, perang saudara yang berkecamuk sejak 1955. Perang di negeri Indocina itu ternyata menyimpan banyak kisah tragedi. Terlebih sejak Saigon, ibu kota Vietnam Selatan, jatuh ke tangan Vietnam Utara pada 30 April 1975. Konon dua juta orang menjadi korban perang sejak saat itu.

Pecahnya perang juga menyebabkan eksodus besar-besaran. Mereka yang eksodus berusaha mencari tempat perlindungan di wilayah negara lain. Caranya mereka keluar dari Vietnam dengan menggunakan perahu. Itulah sebabnya, belakangan mereka disebut dengan manusia perahu, yang pergi beratus-ratus mili mencari suaka dan perlindungan.

Perjuangan para manusia perahu tidaklah ringan. Dalam waktu lama, mereka terombang-ambing melewati Perairan Laut Cina Selatan yang terkenal ganas. Dari ratusan ribu orang yang eksodus, mungkin hanya sekitar 50 persen yang selamat mencapai daratan. Mereka yang selamat itulah yang kini berada di Perairan Malaysia, Hong Kong, Filipina, dan Indonesia. Khusus untuk Indonesia, para manusia perahu terdampar di Kepulauan Natuna.

Pulau Galang berada di selatan Pulau Batam--sekitar 70 kilometer. Perlu waktu tempuh satu jam untuk mencapai ke sana. Bisa juga diakses melalui Jembatan Barelang. Kondisi ini berbeda dengan masa lalu, saat relawan dari Pulau Jawa harus menempuh waktu tiga sampai empat jam menggunakan perahu kayu pong-pong.

Info yang diperoleh SCTV menyebutkan, pengungsi tiba di Pulau Galang pada 22 Mei 1975. Saat itu tak ada satu bekal pun yang mereka bawa. Kendati begitu, sejak itu para pengungsi berangsur-angsur masuk ke Perairan Indonesia.

Umumnya mereka mengarungi lautan dengan perahu nelayan. Berukuran 20x3 meter yang disesaki puluhan orang. Itulah sebabnya, tak sedikit perahu yang tenggelam di tengah jalan karena kelebihan beban.

Pada 1979, Pulau Galang dijadikan pemusatan para pengungsi dari wilayah Asia Tenggara. Kala itu Pemerintah Indonesia mengambil peran penting dalam sisi kemanusiaan bekerjasama dengan UNHCR untuk membantu para pengungsi. Indonesia bebesar hati dengan sikap politik bebas aktifnya. Mereka mengakomodir setiap fasilitas pengungsian, relawan, tenaga medis, dan guru bantu.

Bundhowi, adalah salah seorang guru bantu Indonesia yang mengajar sejak 1985 hingga 1996. Dia memiliki catatan sejarah dalam bingkaian foto. Bundhowi merekam setiap waktu dengan para pengungsi. Dia menyebutnya dengan istilah Dialoque in Peace. Sebuah tema kemanusiaan yang ingin dicapai dari setiap foto dan lukisan yang Bundhowi buat.

Selain Bundhowi, ada juga Carina Huang, mantan pengungsi camp Galang di Vietnam. Dia menjadi saksi sejarah dari kisah tragis tersebut."Malam itu, aku terus berdoa ke Tuhan. Bila kami harus meninggal, ambilah nyawa kami semua. Namun bila tidak, tolong ambil adik-adikku terlebih dahulu. Jangan aku sendiri, meninggalkan mereka. Hal ini sangat sulit bagi anak-anak kecil saat itu. Namun sekrang aku lebih kuat dan semangat dan belajar untuk mencintai sesama manusia," ujar Carina Huang.

Pemerintah Indonesia kala itu sangat mengakomodir akan kebutuhan dasar manusia perahu yang hidup di Camp Galang. Sementara Palang Merah Indonesia berperan penting dalam membantu dan merawat manusia perahu.

Tak jarang masyarakat datang berobat ke rumah sakit yang dibuat pada 1980. Manusia perahu yang datang dan tinggal di Galang benar-benar mendapat perawatan yang baik.

Sifat akrab dan keterbukaan manusia perahu memiliki ikatan batin yang kuat bagi pribumi yang singgah di Galang kala itu. Seorang di antaranya Abu Nawas. Pria paruh baya itu saat berusia tujuh tahun bergaul dengan anak-anak yang berada di pengungsian. Saat itu orangtua Abu menjadi relawan ransum yang memenuhi kebutuhan makanan bagi para pengungsi.

Lambat laun kondisi di Vietnam pascaperang terus membaik. Camp Galang pun ditutup pada tahun 1996. Namun masih menyisakan sekitar 5.000 manusia perahu yang tidak berhasil lolos menuju negara ketiga.

UNHCR membantu proses pemulangan pengungsi. Kisah pemulangan menimbulkan protes. Tak sedikit manusia perahu yang tak ingin kembali ke Vietnam mengakhiri hidupnya dengan cara tragis.

Kini Pulau Galang menjadi tempat wisata sejarah yang dikelola pihak Otorita Batam. Pulau Galang menjadi destinasi para wisatawan domestik di Pulau Sumatra. Wisata sejarah yang juga sekaligus menjadi tempat ziarah.

Namun pengelolaan Camp Galang terkendala akan biaya perawatan. Berapa bangunan juga telah rusak. Camp Galang kini hanya sebagai monumen kemanusiaan untuk mengenang peran besar Pemerintah Indonesia kala itu.(ULF)

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.