Sukses

Tiwah Dayak, Menggapai Nirwana

Penganut Kaharingan percaya, dengan ritual tiwah, jasad dapat diangkat dan dibersihkan hingga akhirnya sampai ke nirwana.

Liputan6.com, Jakarta: Penganut Kaharingan di Desa Tumbang Torung, pedalaman tengah Kalimantan, percaya hidup juga memiliki tepian. Kaharingan--keyakinan warisan nenek moyang Suku Dayak Ngaju--tahu benar ada batas ketika kematian menuntaskan seluruh aktivitas jiwa manusia.

Bukan cuma itu, ada pula jeda ketika ruh pergi meninggalkan dunia selamanya. Prinsip itu menjadi penegas, manusia selalu di bawah naungan Ranying Hatala Langit--Sang Maha Pencipta, pengendali alam semesta.

Kaharingan adalah agama kuno. Keyakinan tua yang diyakini penganutnya telah hidup bersamaan dengan terciptanya jagad raya. Dan sebagai penganut yang percaya ada kehidupan setelah kematian, umat Kaharingan juga meyakini ada alam baik dan buruk setelah manusia tiada.

Kaharingan pun mempunyai tradisi. Salah satunya adalah tiwah. Prosesi ini membutuhkan biaya ratusan juta rupiah. Itulah sebabnya pelaksanaan tiwah dilakukan secara massal. Tujuannya, mengangkat dan membersihkan jenazah agar dapat menembus nirwana.

Tiwah
adalah ritual kematian tingkat akhir bagi penganut kaharingan. Persiapannya tak sebentar. Butuh waktu sebulan lebih untuk mendekati puncak prosesi. Pada momen inilah keluarga dan kerabat berkumpul, bertanggung jawab pada masing-masing jasad yang akan diupacarakan.

Tak cuma sekadar mengurus perjalanan ruh atau arwah menuju lewu tatau atau surga, keluarga juga berkepentingan agar prosesi tiwah bisa melepas rutas atau kesialan, berupa pengaruh-pengaruh buruk.

Persyaratan penting yang tak boleh tertinggal dalam tiwah adalah harus tersedianya ayam, babi, atau kerbau yang digunakan sebagai sesembahan. Hewan-hewan itu akan ditikam pada bagian tubuh menggunakan tombak atau lunju. Pengorbanan hewan itu juga sebagai bentuk rasa hormat para ahli waris.

Kepala kerbau yang telah ditebas kemudian dipancang di pucuk sebuah tiang. Penganut Kaharingan percaya, banyaknya jumlah kepala menandai jumlah pelayan ruh di alam surga.

Selanjutnya, jasad-jasad berupa tengkorak yang telah terbungkus dalam kain dikumpulkan. Setelah semua siap, satu per satu keluarga mengambil jasad dan membawanya menuju sandung--tempat peristirahatan terakhir.

Sandung yang dikelilingi ambatan atau patung-patung dari kayu menjadi persemayaman terakhir arwah para leluhur. Pada titik inilah sanak keluarga menuju batas tuntunan. Mereka menggiring salumpuk liau atau ruh nenek moyang ke lewu liau yang terletak di langit ke tujuh.

Umat Kaharingan meyakini ruh-ruh akan melewati perjalanan jauh, melewati 40 lapisan embun, sungai-sungai, gunung-gunung, laut, telaga, atau apa pun. Andai pelaksanaan tiwah tak sempurna, arwah yang diantar menuju alam baka bakal tersesat.

Tanpa tiwah, bagi penganut Kaharingan, mustahil ruh-ruh itu akan sampai ke lewu liau. Tiwah juga sebagai penanda mereka yang hidup, sebagai pelepas ikatan status perkawinan. Setelah tiwah, mereka yang ditinggalkan suami atau istri, diperkenankan memilih pasangan kembali.

Tiwah menjadi penyempurna kematian sekaligus pelengkap mereka yang masih di dunia.(ASW/SHA)

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.