Sukses

Kuncen Baru Labuhan Merapi

Bagi warga Yogyakarta, labuhan tak sekadar memohon restu arwah leluhur atau penguasa gunung. Labuhan jadi bukti kuat ikatan antara masyarakat dan alam tempat mereka hidup.

Liputan6.com, Yogyakarta: Telah hilang awan panas Gunung Merapi yang memburu warga. Tak terlihat pula muntahan lava pijar yang memaksa siapa pun ketakutan dan berlari. Sepuluh bulan silam, ketika erupsi salah satu gunung paling aktif di Indonesia ini telah memorak-morandakan banyak hal.

Letusan Merapi memaksa ribuan keluarga mengungsi. Ratusan jiwa melayang termasuk Mbah Maridjan, juru kunci Merapi. Banyak yang mengenang Mbah Maridjan sebagai abdi dalem Kraton Ngayogyakarta yang loyal pada amanat. Namun tak sedikit yang menyayangkan ketika ia memilih bertahan ketimbang turun menyelamatkan diri dari wedhus gembel atau awan panas.

Kuncen gunung. Menjadikan identitas gunung di Indonesia terlihat unik. Kearifan lokal mengajarkan mereka yang hidup di kaki gunung untuk mempunyai seseorang dengan kapasitas tertentu untuk menjaga sebuah gunung yang sedemikian besar dan biasanya menaungui banyak desa.

Kata jaga memiliki pengertian sebagai penunggu atau juru kunci. Bagi masyarakat Jawa, mitologi gunung membuat posisi kuncen amat penting. Fungsi kuncen lebih mencakup ke hal-hal yang terkait dengan kearifan lokal. Maka ketika Mbah Maridjan telah tiada, Merapi tetap perlu kuncen. Terlebih status penjaga Merapi terkait erat Kesultanan Yogyakarta dan laut di pantai selatan Jawa.

Pengganti Mbah Maridjan adalah putera ketiganya, Surakso Sihono namanya. Dia telah dilantik sebagai kuncen menjadi perantara kesultanan untuk menjalani tugas suci sebagai pelaksana prosesi labuhan, ritual adat warisan leluhur. Ritual digelar di Desa Kinahrejo yang terletak di kaki Merapi.

Labuhan digelar pada 30 Rajab bertepatan dengan kalender kesultanan. Tiap kali itu pula kesibukan hinggap di desa. Warga merasa perlu terlibat sebab mereka meyakini Merapi tak sekadar gunung tapi berkah yang kuasa untuk penghidupan.

Dalam kosmologi Jawa, keberadaan Merapi tak pernah lepas dari kiprah Kraton Yogyakarta. Simbol kosmologis atau struktur sejarah alam semesta Yogyakarta ini berupa garis lurus khayali yang terdiri dari tiga pilar. Merapi di utara. Laut di selatan. Dan, Kraton Yogyakarta di titik sentral.

Merapi dan Laut Selatan dipercaya sebagai pusat kedudukan jagad kecil. Sedangkan keraton menjadi pusat jagad raya. Pada titik inilah peran kuncen sangat penting. Seperti halnya di Laut Selatan yang dijaga Surakso Tarwono, Kraton juga merasa perlu menempatkan abdi dalem untuk Merapi.

Hiburan tradisi menjadi bagian yang tak tertinggal menjelang labuhan. Doa dirapalkan, harapan dipanjatkan. Malam sebelum labuhan, warga merasa perlu memohon ke hadirat Yang Maha Esa. Almarhum Mbah Maridjan menjadi sosok penting yang didoakan Ia adalah legenda Merapi yang tak pernah mati di hati warga.

Tepat ketika pagi baru terang tanah, abdi dalam kraton pun bergerak diikuti warga desa. Gunungan berupa buah-buahan pun tak ketinggalan. Iring-iringan menuju alas bedengan, lokasi untuk membuang ube rambe atau sesaji. Rangkaian diakhiri dengan rebutan gunungan.

Labuhan hanya boleh dilaksanakan atas perintah raja sebagai pemangku adat. Kesakralan labuhan terletak pada pranata kraton yang tak boleh dilakukan serampangan. Labuhan bermakna membuang atau menghanyutkan benda-benda yang telah ditetapkan kraton. Tujuanng, agar keselamatan sultan beserta rakyat terlindung.

Bagi warga Yogya, labuhan tak sekadar memohon restu arwah leluhur atau penguasa gunung. Labuhan menjadi bukti kuat ikatan antara masyarakat lereng dan alam tempat mereka hidup.(JUM)

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.