Sukses

Melacak Gempa Jakarta

Jakarta yang terjejali 9,5 juta jiwa menjadikannya sebagai kota yang rentan menghadapi situasi bencana. Fakta dari Badan Penanggulangan Bencana menunjukkan, Kota Jakarta berada dalam indeks tertinggi rawan menghadapi situasi tanggap darurat.

Liputan6.com, Jakarta: Jakarta. Sesak, terjejali sekitar 9,5 juta jiwa. Jumlah kepadatan ini menjadikan Jakarta menduduki peringkat empat sebagai kota terpadat di dunia. Setelah Seoul, Korea Selatan, Mumbay, India, serta Sao Paolo, Brasil. Sekitar 13 ribu jiwa memadati setiap per kilometer perseginya.

Kepadatan ini menjadikan Jakarta rentan menghadapi situasi bencana. Fakta dari Badan Penanggulangan Bencana menunjukkan, Kota Jakarta berada dalam indeks tertinggi rawan menghadapi situasi tanggap darurat. Kepadatannya membuat warga sulit bergerak saat melakukan evakuasi. Isu bencana pun menghinggapi benak warga Kota Jakarta. Kebenarannya masih kontroversial.

Suka tidak suka, Indonesia masuk dalam kategori bumi rawan bencana. Pergerakan lempeng Indonesia diapit oleh tiga lempeng benua. Kekhawatiran ini didasari kerap terjadinya gempat di kawasan Sunda Megathrust atau lempengan besar Sunda.

Selat Sunda membuat khawatir. Sebab, jaraknya sekitar 172 kilomter dari Jakarta. Gunung Anak Krakatau yang masih aktif pun berada di Selat Sunda, menyimpan kisah pilu pada 1833. Walau keterkaitan gempa tektonik dan vulkanik masih perdebatan, kisah ini menjadi kajian serius untuk membangun kewaspadaan. Apalagi, pengaruh gempa terkait terhadap tingkat ketahanan bangunan. Dengan kepadatan penduduk dan bangunan, wajar bila Jakarta was-was.

Salah satu kelompok peneliti yang meneliti kemungkinan pengaruh gempa Jakarta yakni Tim Sembilan. Profesor Masyhur Irsyam, salah satu peneliti dari kelompok yang terdiri dari akademi serta instansi penelitian itu. Ahli Geoteknologi Institut Teknologi Bandung itu meneliti kecenderungan rambatan gelombang. Anggota Tim Sembilan lainnya adalah Irwan Meilano, yang meneliti sumber kegempaan. Ia telah meneliti peta gempa sejak 1996 lalu. Selat Sunda memang banyak menyimpan kisah kebumian. Tak heran jika wilayah Ujungkulon, Bengkulu, dan gunung-gunung sekeliling Krakatau selalu menjadi target penelitian.

Tumbukan lempeng dan samudra dan benua bisa memicu gempa dahsyat di atas delapan koma skala Richter. Dampaknya meluluhlantakan daratan hingga bisa menimbulkan tsunami. Tsunami dapat terjadi akibat gunung meletus. Atau pun tumbukan antarlempeng di wilayah Selat Sunda. Tsunami menjadi penanda kejadian hebat di lapisan bawah laut. Selain endapan tanah, hal terkecil yang terjadi tanda adalah adanya biota laut yang berada jauh di daratan.

Air yang menuju di daratan kala tsunami membawa tanda-tanda perulangan tahun dan periode terjadinya gempa yang besar. Selain itu, gempa juga menyebabkan terjadinya pengangkatan tanah. Garis tebal dari lapisan menunjukkan periode tahun kejadian di masa lampau.

Di wilayah Lembang, Bandung, Jawa Barat, terdapat patahan aktif yang memiliki potensi menimbulkan gempa. Patahan ini membentang 22 kilomter. Ilmuwan dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia atau LIPI terus meneliti rekam jejak aktivitas patahan tersebut. Mereka terus menggali hingga kedalaman 40 meter demi mendapatkan catatan hingga 40 ribu tahun silam.

Jejak historis petahan Lembang terlihat dari morfologi dataran tinggi di Bandung. Efek kegempaan punya pengaruh terhadap wilayah Jawa Barat dan sekitarnya. Walau patahan dianggap tidak menimbulkan gempa dahsyat hingga di atas delapan skala Richter lebih, wilayah patahan yang dekat dengan permukiman serta kota menjadi perhatian khusus bagi para ilmuwan.

Sementara itu, Badan Nasional Penanggulangan Bencana atau BNPB Institutsi Mitigasi Bencana dan Tanggap Darurat menganalisi setiap indikasi potensi bencana. Prinsip antisipasi dan mitigasi dilakukan oleh BNPB. Kepala BNPB Sutopo Purwo Nugroho mengatakan, Jakarta relatif aman terhadap potensi gempa yang berasal dari sumber di Jakarta.

Krisna Pribadi yang menggeluti manajemen bencana mempelajari prosedur akan penyelamatan terhadap bencana gempa. Menurut peneliti Institut Teknologi Bandung atau ITB ini, jika terjadi gempa dan kita berada di gedung-gedung tinggi sebaiknya berlindung di tempat-tempat aman atau di bawah meja. "Gempa bumi katakan (terjadi) satu menit, dua menit, kalau kita turun dari gedung tinggi membutuhkan waktu lebih dari itu," kata Krisna.

Menurut Badan Survei Geologi Amerika Serikat, di seluruh permukaan bumi rata-tara tiap tahun terjadi 1,3 juta kali gempa berkekuatan 2 sampai 2,9 skala Richter. Sedangkan gempa berkekuatan besar skala delapan magnitudo lebih, rata-rata terjadi sekali dalam setahun. Jika dijumlahkan dari terkecil sampai terbesar setahun, angka rata-rata mencapai 1,5 juta kali.

Di Indonesia pun demikian, frekuensi gempa tergolong sering karena kita berada di dalam sabuk lempeng. Gempa besar hampir terjadi satu sampai tiga tahun sekali.

Pada 26 Desember 2004, Aceh dilanda gempa dan tsunami hingga sembilan skala magnitudo gempa. Gempa dan tsunami Aceh tercatat sebagai sejarah kelam bencana di dunia dalam 100 tahun terakhir. Empat bulan berselang, 28 Maret 2005, Nias terguncang gempa. Pulau Sumatra pun terguncang gempa 8,7 pada skala Richter. Lebih dari 300 orang tewas di Nias. Hampir 2.000 jiwa terpaksa menelan nasih sebagai pengungsi. Nias terhujam lima menit oleh guncangan gempa.

Tujuh belas Juli 2006, Pangandaran, Ciamis, Jawa Barat, pun tergoyah gempa. Gempa 6,8 skala Richter meradang di pesisir selatan Pulau Jawa karena gelombang tsunami pun muncul. Tipe gempa di Pangandaran adalah gempa dengan getaran lambat namun menciptakan tsunami. Ilmuwan menyebutnya gempa tsunami atau gempa lambat.

Setahun kemudian, 27 Mei 2006, Yogyakarta terhempas gempa. Gempa Yogya bertipe gempa tektonik kuat dengan skala 6,3 skalar Richter. Ilmuwan menduga sesak opak menjadi penyebab gempa kuat tersebut.

Tasikmalaya terhujam gempa pada 2 September 2009. Gempa tasik berkekuatan 7,3 skala Richter magnitudo gempa. Gempa tektonik ini akibat tumbukan lempeng indo  Australia dan Eurosia. Gempa Padang, Sumatra Barat, terjadi pada 30 September 2009. Diduga akibat tumbukan lempeng Samudra Hindia serta Asia di pantai barat Sumatra hingga menimbulkan 7,6 skala magnitudo gempa. Ilmuwan mencatat, wilayah Sumatra Barat memiliki siklus 200 tahunan gempa besar. Di antara lempeng dan sesar aktif.

Selang setahun dari segmen Padang, gempa dan tsunami menerjang Mentawai pada 25 oktober 2010. Dengan kekuatan 7,7 skala gempa. Kejadian di Mentawai mirip seperti di Pangandaran, dengan tipe gempa goyangan lemah namun meninmbulkan tsunami. Kepulauan Mentawai adalah pulau yang sering terjadi gempa.

Hidup di ranah bencana memang perlu waspada, namun beberapa antisipasi perlu dilakukan untuk meminimalisir korban jiwa. Inilah yang dilakukan Iswandi Imran, peneliti struktur bangunan dan mitigasi bencana Institut Teknologi Bandung. Ia menelaah lebih terhadap dinding dan kolom penyangga bangunan.(BOG)











* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

    Video Terkini