Sukses

TKI, Teroris, dan Gegap Gempita Timnas Sepakbola

Buruknya nasib sejumlah TKI di luar negeri, aktivitas gerakan teroris, sampai gegap gempita kiprah timnas sepakbola Indonesia menjadi catatan penting di 2010. Dengan begitu, kita bisa memetik hikmah untuk melangkah di 2011 nanti.

Liputan6.com, Jakarta: Uang yang dicari, derita yang didapat. Nasib tenaga kerja Indonesia atau TKI tidak beruntung. Jauh-jauh mencari rezeki ke luar negeri, ada saja di antara mereka yang menjalani hidup sebagai manusia teraniaya. Penyiksaan, perkosaan, menjadi kisah menahun yang muncul nyaris rutin setiap tahun. Belum lagi tentang mereka yang tewas di tangan majikan.

15 November 2010, kabar buruk datang dari jazirah Arab. Sumiati binti Salan Mustapa masuk Rumah Sakit King Fadh, Madinah, Arab Saudi. Penjelasan pihak rumah sakit, gadis 23 tahun asal Dompu, Nusa Tenggara Barat, ini mengalami luka bakar nyaris di sekujur tubuh. Kedua kaki tidak bisa digerakkan, jari tengah retak, dan ada sayatan dekat mata. Bahkan, kulit kepala terkelupas, termasuk robek di bibir yang diduga digunting sang majikan.

Empat hari berselang, kabar duka kembali datang dari Arab Saudi. Korbannya Kikim Komalasari. Tak hanya disiksa, TKI asal Cianjur, Jawa Barat, itu juga diduga diperkosa dan dibunuh. Jasad Kikim ditemukan di tong sampah. Keluarga korban amat terpukul. Asuransi dan uang duka tidak cukup memulihkan duka berkepanjangan karena kehilangan Kikim selamanya.

Kabar duka belum berhenti. 11 Desember malam waktu Madinah, Juju Nurhayati kabur dari rumah majikannya dengan cara melompat dari lantai dua. Akibatnya fatal, tulang punggung Juju patah, termasuk tumit kaki. Juju bertindak nekat karena selama tujuh bulan bekerja majikan sering menyiksa. Tak cuma dikerasi, gaji Juju juga tidak dibayar.

Nasib pahlawan devisa banyak yang terabaikan. Sekalipun nyawa selamat, mereka terlantar di jalanan. Pekerjaan yang sulit di dalam negeri membuat sejumlah orang nekat menerobos jalur tak resmi. Akibatnya, mereka pun dipulangkan paksa, seperti nasib ratusan tenaga kerja asal Jawa Timur yang dideportasi Pemerintah Malaysia karena tak punya paspor.

Di tengah buruknya nasib TKI, langkah pembenahan dilakukan dengan membuat kesepakatan antara Indonesia dan Arab Saudi. Berharap tak ada lagi pekerja Indonesia yang teraniaya atau mati tak wajar di negeri orang.

Tak kalah memilukan, negeri ini juga harus menelan kepedihan lewat sebuah tragedi kecelakaan kereta api. Pada 2 Oktober 2010, 34 nyawa mereka yang tengah lelap tidur di gerbong kereta, melayang. Itu terjadi setelah kereta api utama bisnis jurusan Jakarta-Semarang yang tengah berhenti dan menurunkan penumpang di Stasiun Petarukan, Pemalang, Jawa Tengah, sekitar pukul 03.00 WIB, dihajar Kereta Argo Anggrek jurusan Jakarta-Surabaya.

Di hari yang sama, seorang tewas akibat tabrakan antara Kereta Gaya Baru dan Kereta Bima di Stasiun Purwosari, Solo, Jawa Tengah. Sembilan hari kemudian, 24 gerbong kereta api jurusan Jakarta-Rangkasbitung hangus dilalap api di Stasiun Rangkasbitung. Lebak, Banten. Ini merupakan kebakaran terburuk dalam sejarah perkeretaapian jurusan Jakarta-Rangkasbitung. Kepolisian menyatakan gerbong-gerbong kereta sengaja dibakar. Seorang tukang sapu di stasiun menjadi tersangka.

Di 2010, ancaman teroris masih menghantui Indonesia. Penggerebekan di sejumlah wilayah di Tanah Air sekaligus penangkapan dan kematian tokohnya membuktikan Indonesia masih menjadi ladang subur aktivis radikal. Kematian Dulmatin alias Joko Pitono pada 9 Maret 2010 menandakan keberhasilan polisi menumpas teroris. Dulmatin tewas dalam sebuah penggerebekan di kawasan Pamulang Barat, Tangerang Selatan, Banten. Dari penyergapan ini polisi menemukan beberapa rangkaian bom siap ledak.

Nama Dulmatin melambung setelah menjadi tokoh kunci di balik serangan bom di dua klub malam di Bali, Oktober 2002, yang menewaskan 202 jiwa. Dulmatin dikenal sebagai orang yang pintar merakit bom. Bersama dengan Dulmatin, Ridwan serta Hasan Nur yang diduga sebagai asisten Dulmatin juga tewas. Hasil penyelidikan polisi, kelompok Dulmatin berusaha menjadikan Aceh sebagai pusat pelatihan teroris di Indonesia.

Polisi tidak berhenti setelah Dulmatin tewas. 12 Mei, polisi memastikan lima orang yang diduga sebagai teroris tewas dalam kontak tembak di Cawang, Jakarta Timur, dan Cikampek, Karawang, Jawa Barat. Salah satunya adalah Maulana yang merupakan buronan dalam kasus latihan militer di Jantho, Aceh Besar.

Perburuan belum selesai. Pada 22 Juni, Detasemen Khusus 88 Antiteror menggerebek sebuah tempat kos di Klaten, Jawa Tengah. Penggerebekan berlangsung sengit. Baku tembak antara polisi dan penghuni menewaskan seseorang yang diduga sebagai Yuli Kastoro. Sedangkan tiga lainnya selamat. Mereka adalah Abdulah Sonata, Agus Mahmidi, dan Sogir Gunawan. Abdulah Sonata adalah orang yang paling dicari polisi. Melalui internet, ia pernah menyerukan jihad setelah sejumlah aktivis radikal yang berlatih di Aceh diringkus.

Dua bulan kemudian, pada 19 Agustus, Abu Bakar Ba'asyir ditangkap di Banjar, Jawa Barat. Polisi menduga Ba'asyir terlibat dengan pelatihan militer di Aceh dan persiapan aksi teror. Tak hanya itu, dia juga dianggap ikut menyiapkan rencana awal pelatihan militer di Aceh. Baasyir juga dituding menunjuk Dulmatin sebagai penanggung jawab kamp pelatihan.

Sepuluh hari kemudian, tepatnya 19 Agustus, Kota Medan, Sumatra Utara, digegerkan perampokan Bank CIMB Niaga Medan yang menewaskan seorang polisi tewas. Kawanan perampok berjumlah 16 orang dan mengendarai enam sepeda motor. Mereka membawa senjata api laras panjang dan pendek. Ratusan juta berhasil digasak perampok.

Polisi menduga perampokan terkait dengan gerakan terorisme. Indikasinya, hasil forensik dari jenis senjata api M-16 yang digunakan pelaku identik dengan senjata yang digunakan pada saat penyerangan Markas Polsek Hamparan Perak, Sumut.

Fadli Sadama yang diduga sebagai otak perampokan Bank CIMB Niaga Medan dibawa ke Jakarta pada 4 Agustus. Ia fadli ditangkap di Malaysia. Rencananya, Fadli akan bekerja sama dengan jaringan teroris di Malaysia dan Thailand. 

Jumat pagi, 10 Desember, Detasemen Khusus 88 Antiteror menangkap Mustopa alias Pranata alias Imron Baihaki alias Abu Tholut di rumahnya di Desa Bae, Kudus, Jawa Tengah. Selama ini, Tholut masuk dalam daftar pencarian orang yang dianggap sebagai salah satu tokoh kelompok teroris yang paling dicari setelah Abdullah Sonata. Penangkapan abu tholut berdasarkan pengembangan kasus terorisme sebelumnya, seperti pelatihan militer di Aceh dan perampokan Bank CIMB Niaga Medan.

Pasca penangkapan Abu Tholut, aksi terorisme dikhawatirkan masih mengancam. Polisi masih memburu sejumlah sisa kelompok jaringan teroris, termasuk Abdul Ghoni alias Umar Arab alias Umar Patek.

Dari dunia olahraga, mimpi Garuda menjadi jawara sepakbola se-Asia Tenggara pada 2010 kandas sudah. Laga final kedua Piala AFF 2010 di Stadion Utama Gelora Bung Karno, Senayan, Jakarta, 29 Desember, tak mengubah apa pun. Meski Indonesia menang 2-1, Malaysia yang juara untuk kali pertama karena unggul anggregat gol 2-4.

Kegembiraan dan optimisme pecinta sepakbola Tanah Air yang meledak selama kompetisi berlangsung berakhir antiklimaks. Menyisakan harapan yang menjelma menjadi kekecewaan. Sebab, gengsi dan piala telah melayang ke Negeri Jiran. Negeri yang kerap menjadi musuh bubuyutan dalam laga-laga olahraga bergengsi.

Namun, ada yang patut dicatat. Juara atau tidak, sebetulnya perjalanan sepakbola Indonesia di tahun ini telah melahirkan gelagat perubahan. Gembar-gembor pemberitaan media sedikit banyak mendongkrak gairah sepakbola nyaris ke seluruh lapisan masyarakat. Tahun ini seperti menjadi momentum kebangkitan sepakbola Tanah Air. Masyarakat yang sudah lama mendambakan sepakbola menjadi olahraga kebanggaan kelas dunia memberi dukungan yang luar biasa sejak kompetisi berlangsung.

Tengoklah ketika menang 5-1 atas timnas Malaysia. Atau lolos ke final usai membungkam Filipina di semifinal. Euforia tumpah di mana-mana. Rakyat bergembira. Padahal, menang besar dari Malaysia bukanlah pertama kali. Hal serupa pernah terjadi, bahkan ketika timnas berlaga di kandang lawan.

Langkah ke final bukan pencapaian pertama. Indonesia sudah tiga kali berturut-turut bertanding di laga puncak turnamen se-Asia Tenggara ini. Dan ketika euforia itu tengah merambat ke puncak klimaks, kenyataan pahit justru datang. Indonesia kalah dari Malaysia. Pecinta sepakbola Tanah Air terperanjat. Harimau Malaya yang pada fase putaran grup dilumat serdadu Garuda 5-1 ternyata menjungkirbalikkan kegembiraan atas kejayaan timnas selama kompetisi.

Dan kambing hitam pun muncul. Dari mulai laser, jamuan makan politisi, sampai acara istighosah. Kambing hitam memang mudah dicari. Namun, ini bukanlah kali pertama perjalanan timnas disorot secara negatif. Sebelum dibantai Uruguay 1-7 dalam laga uji coba, banyak yang menuding program naturalisasi akan sia-sia.

Pada tahap awal, Christian Gonzales yang asli Uruguay serta Irfan Bachdim keturunan Belanda diajak merumput bersama Bambang Pamungkas dan kawan-kawan. Rencananya, ada lima pemain hasil naturalisasi yang bergabung dalam timnas usai Piala AFF 2010. Gonzales sudah membuktikan menjadi pemain timnas tersubur dalam laga AFF dengan mencetak tiga gol ke gawang lawan. Irfan Bachdim berhasil mencuri hati para pendukung timnas dengan kecepatan dan permainannya yang tidak kenal lelah.

Timnas indonesia memang mulai dekat di hati. Penampilannya yang gemilang di babak penyisihan grup membuat orang rela berbondong-bondong datang ke Stadion Utama Gelora Bung Karno. Sayangnya, PSSI dan panitia penyelenggara seperti tak siap menyelenggarakan pertandingan bertaraf internasional. Penjualan tiket semrawut. Tak heran bila kericuhan demi kericuhan terus terjadi saat pembelian tiket. Puncaknya, Stadion Utama Gelora Bung Karno dirusak massa yang habis kesabarannya.(BOG)

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

    Video Terkini