Sukses

Merapi dan Kosmologi Jawa

Masyarakat Jawa menganggap Gunung Merapi sebagai simbol kosmologis yang membentuk poros sakral utara selatan. Merapi juga merupakan salah satu dari tiga pilar yang dipercaya sebagai pusat kedudukan jagat kecil.

Liputan6.com, Yogyakarta: Pertengahan Oktober 2010. Yogyakarta gelisah. Pasalnya, awan panas yang biasa disebut masyarakat setempat dengan julukan wedhus gembel--wujudnya seperti domba gimbal--muntah dari mulut Gunung Merapi.

Markas pemantau pun panik. Awan bersuhu lebih dari 500 derajat selsius itu keluar begitu cepat, persis dua hari setelah Merapi berstatus waspada. Penduduk tak tenang. Karena, gejolak Merapi belum mereda.

Salah satu gunung paling aktif di dunia ini kembali menyemburkan awan panas, empat hari kemudian. Abu gunung pun berjatuhan dari langit, buah dari awan panas yang terbawa angin. Nyaris sepekan Yogyakarta dirundung kegelisahan.

Efeknya, pepohonan terkena abu, hewan-hewan pun mati bergelimpangan di Desa Kinaherjo yang seketika menjadi kelabu. Kampung di selatan lereng Merapi itu berselimut debu. Sapuan awan panas lebih dari 30 menit telah merusak segalanya tak terkecuali manusia. Hampir lima puluh orang tewas sudah. Termasuk Mbah Maridjan--juru kunci Merapi--yang ditemukan kaku dalam keadaan sujud di kediamannya.

Raden Ngabehi Surakso Hargo. Nama abdi dalem Keraton Yogyakarta itu tak sekondang sapaan akrabnya, Mbah Maridjan. Kuncen Merapi itu menjadi buah bibir setelah menolak perintah Sri Sultan Hamengkubuwono X agar turun gunung ketika Merapi meletus empat tahun silam.

Setelah 28 tahun mengabdi sebagai juru kunci, Mbah Maridjan menutup takdir sebagai legenda Merapi. Sang Kuasa memanggilnya lewat tragedi yang dramatis. Awan panas dengan kecepatan lebih dari 100 kilometer per jam menerjang rumahnya. Dan seketika hidup Mbah Maridjan berakhir menghadap Ilahi dengan menyisakan sujud terakhir.
 
Sebagai juru kunci, sosok Mbah Maridjan begitu penting lantaran Kesultanan Yogyakarta menganggap Merapi sebagai simbol kosmologis yang membentuk poros sakral utara selatan. Dan struktur sejarah alam semesta Yogyakarta berupa garis lurus khayal yang terdiri dari tiga pilar. Gunung merapi di utara, laut di selatan, dan Keraton Yogyakarta di titik pusat.

Menurut seorang budayawan Yogyakarta Damarjati Supadjar, masyarakat Jawa percaya kehidupan dunia adalah sebuah harmoni antara mikrokosmos dan makrokosmos, jagat alit atau kecil, dan jagat ageng atau besar.

Merapi dan Laut Selatan dipercaya sebagai pusat kedudukan jagat cilik. Sementara keraton menjadi pusat jagad gede. Keduanya tidak boleh timpang. Harus terus seimbang.

Pada titik itulah peran Mbah Maridjan sangat penting. Seperti halnya di Laut Selatan yang dijaga Surakso Tarwono, keraton juga merasa perlu menempatkan abdi dalem untuk Merapi agar masyarakat di sekitarnya terjaga. Fungsi konkretnya, sebagai wakil keraton, Mbah Maridjan harus bisa mengayomi masyarakat sekaligus memimpin ritual labuhan setahun sekali.

Kini, tak akan terlihat lagi sosok pria renta itu. Garis hidupnya terukir menjadi sejarah. Sejarah sebuah gunung, yang kental dengan mitologi.

Dalam kajian Ilmu Vulkanologi, Gunung Bibi dianggap sebagai cikal bakal Merapi. Ada empat periode jejak sejarah Merapi berdasarkan usia bebatuan. Pertama, periode 400 ribu tahun silam, ketika Merapi belum tampak dan masyarakat Jawa purba lebih akrab dengan keberadaan Gunung Bibi.

Kedua, periode Merapi tua, sekitar delapan ribu tahun lampau. Pada tahap ini mulai terlihat bentuk kerucut yang belum sempurna di lereng Gunung Bibi. Ketiga, zaman Merapi pertengahan, sekitar dua ribu tahun lalu. Pada periode ini, letusan Merapi meninggalkan bentuk bebatuan tapal kuda dengan beberapa bukit. Saat aitu pula terbentuk kawah pasar bubar.

Dan yang terakhir, disebut era Merapi baru. Masa ketika kawah pasar bubar telah berbentuk kerucut yang saat ini menjadi pusat aktivitas Merapi.

Merapi terletak di zona subduksi. Tepat di posisi tumbukan lempeng Indo-Australia yang terus bergerak ke lempeng Eurasia. Merapi menjadi gunung berapi termuda di selatan Pulau Jawa.

Periode letusan Merapi rata-rata bersiklus pendek dan terjadi antara dua sampai lima tahun. Tak jarang, terjadi juga setiap lima sampai tujuh tahun. Ketenangan Merapi tercatat sempat mencapai 30 tahun. Terutama pada masa awal keberadaannya sebagai gunung berapi. Dan jeda terpanjang terjadi selama 71 tahun, pada abad ke-16 dan awal abad 17.

Satu di antara letusan Merapi yang dahsyat dan berdampak besar terjadi pada 1930. Letusan itu menghancurkan 13 desa dan menewaskan 1.400 jiwa. Muntahan awan panas berisi campuran material debu hingga blok bersuhu tinggi membuat Merapi berbeda dengan letusan gunung berapi lain. Letusan itu dikenal sebagai Merapi type. Tipe letusan yang meski tak meledak-ledak hebat tetapi selalu membuat warga lereng harus pergi untuk berlindung.(ASW/SHA)

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

    Video Terkini