Sukses

Merapi, Antara Bencana dan Mitos

Letusan Gunung Merapi menewaskan juru kunci Mbah Maridjan. Juru kunci bergelar Mas Panewu Surakso Hargo itu meninggal dalam tugasnya mengemban amanat Keraton Yogyakarta menjaga Gunung Merapi.

Liputan6.com, Sleman: Gunung Merapi mulai menebar maut. Letusan Merapi berupa awan panas, membuat panik ribuan warga berjarak beberapa kilometer dari Merapi, Senin (26/10) sore. Petang itu awan panas menggelapkan Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta.

Dampak dari amarah Merapi sangat mengerikan. Hingga Rabu (27/10), puluhan orang tewas. Umumnya para korban mengalami luka bakar dan sesak napas. Di antara para korban tewas adalah kuncen Gunung Merapi Mbah Maridjan. Jasad abdi dalem Keraton Yogyakarta itu ditemukan di dapur rumahnya di Dusun Kinahrejo, Desa Umbulharjo, Kecamatan Cangkringan, Kabupaten Sleman, dalam posisi bersujud.

Bambang, seorang relawan sudah sekuat tenaga membantu Mbah Maridjan. Tapi sayang tak sesuai yang diharapkan. "Saya berharap dia masih hidup, tapi saya sudah berusaha," tutur Bambang. Juru kunci bergelar Mas Panewu Surakso Hargo itu meninggal dalam usia 83 tahun.

Maridjan meninggal sebagai bentuk tanggung jawabnya terhadap Keraton Yogyakarta, menjaga Merapi. Ia sama sekali tak berniat turun, tekad yang sama saat Merapi meletus 2006 silam. Dalam peristiwa itu nyawa seorang relawan Palang Merah Indonesia (PMI) Tutur Prianto dan wartawan Vivanews.com Yuniawan W. Nugroho alias Wawan juga tak bisa diselamatkan.

Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG) sudah merekomendasikan agar warga pindah. Kepala Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG) Surono mengatakan, warga yang diimbau untuk mengungsi berada pada kawasan rawan bencana (KRB) III berjarak 6-8 kilometer dari Merapi. Lalu KRB II berjarak 10 kilometer dari Merapi.

Sejak status awas diberlukan pada 25 Oktober, proses evakuasi kian gencar. Tim penyelamat (SAR) memprioritaskan anak-anak, perempuan, nenek-nenek, dan para penyandang cacat untuk dievakuasi. Warga di Kabupaten Sleman dibawa menuju 20 titik pengungsian.

Pantauan di tempat pengungsian di Hargobinangun, Sleman, tampak warga memadati ruang yang disediakan. Darto, warga setempat mengatakan untuk saat ini dirinya merasa aman. "Saya kalau sudah ada di sini sudah enak," ujar Darto. Meski begitu, ia tetap merasa nyaman berada di rumah sendiri.

Berada di lokasi pengungsian pula, duka dirasakan Kartini. Warga di Lereng Merapi ini kehilangan lima anggota keluarga. Saat kejadian, ia berada di rumah berlokasi jauh dari rumah kakaknya. Kartini dikejutkan dengan banyaknya warga berlarian menyelamatkan diri.

Kejadian itu mengingatkan Kartini pada peristiwa 15 Mei 2006 silam. Ketika itu ia tinggal bersama kakaknya. Kini, Kartini mengaku trauma dan enggan kembali ke rumah kakaknya di lereng Merapi. "Kalau saya di sini aman-aman saja. Tapi kalau di atas saya sudah takut," ucap Kartini.

Kartini banyak mengambil pelajaran dari letusan-letusan Merapi sebelumnya. Namun sejumlah warga lain tidak. Tak sedikit dari mereka berkeyakinan, selama Kiai Petruk yang mendiami Gunung Merapi tak memerintahkan turun, mereka menurut.

Erupsi ini dinilai lebih besar dari letusan empat tahun silam, yakni pada 2006. Ahli Gunung Merapi Api Eko Teguh Paripurna pun mengimbau, agar warga mengungsi ke jarak yang lebih jauh dari KRB III. "Awan panas ini bermain pada jarak 10 sampai 12 kilometer," jelas Eko. Ia menambahkan, banyak hal yang sulit diprediksi dan ini mengancam warga. "Statusnya masih awas dan kita harus berhati-hati."

Senada dengan Surono. Saat Merapi berstatus siaga pada 2006, Surono menjelaskan, kubah dan kawah telah terbentuk. Namun tahun ini hingga status awas, titik api diam pun belum diketahui.(AIS)

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.