Sukses

Korban-Korban Facebook-an

Menjalin pertemanan secara luas lewat Facebook, itu alasan kebanyakan orang memiliki akun di situs jejaring sosial ini. Namun penggunaannya yang tak bijaksana malah menjadikan Facebook sebagai momok yang menakutkan.

Liputan6.com, Jakarta: Bagai sebuah pisau, Facebook sebagai medium pertemanan adalah netral. Di tangan mereka yang ingin menjalin komunikasi lebih luas, Facebook pun menjadi perpanjangan tangan manusia yang bermanfaat. Sementara di tangan pihak yang tak bertanggung jawab, Facebook justru makin mempermudah manusia untuk berbuat jahat.

Sisi Facebook yang terakhir itulah yang menyulut kekhawatiran masyarakat belakangan ini. Dua ibu yang hadir dalam tayangan Barometer SCTV, Rabu (17/2), mengaku kehilangan putri-putri mereka yang diduga sebagai korban pergaulan situs jejaring Facebook. Tasmiwati ditinggal putrinya bernama Yuli yang baru berusia 14 tahun. Ketika itu Yuli diketahui menghabiskan hari bersama teman-temannya. Warga Limo, Depok, Jawa Barat ini kemudian berpisah dari rekan sekolah untuk bertemu dengan orang asing. Sejak saat itu Yuli tak kembali ke rumah.

Menurut Kepala Unit Cyber Crime Markas Besar Polri Ajun Komisaris Besar Polisi Petrus Golosse, fenomena ini termasuk dalam kasus kehilangan anak. "Teknologi sebenarnya untuk kepentingan umat manusia," ujar lelaki yang menjadi narasumber Barometer itu. Jadi, menurut Petrus, bukan kesalahan Mark Zuckerberg yang meluncurkan Facebook lima tahun lalu. Ini soal pengendalian diri penggunanya.

Hal itu pula yang ditekankan Moza Paramita mewakili artis sekaligus facebooker. Moza menuturkan, dirinya memiliki akun Facebook yang bisa dilihat siapa saja. Namun dirinya juga membatasi komentar dari teman Facebook. Jika dirasa sudah kelewatan, wanita yang kerap membawa acara talk show ini tak segan-segan menghapus teman dari halaman pribadi Facebook-nya.

Seperti disebutkan, salah satu manfaat Facebook adalah menjaring teman-teman yang lama tak bertemu. Namun penggunaannya oleh remaja kerap menggeser tujuan situs ini. Enggan menghapus karena teman yang baru dikenal punya tampang oke, atau ingin terlihat memiliki teman yang banyak. Demikian alasan kebanyakan pengguna sehingga tidak selektif memilih teman. Seorang tamu Barometer SCTV yang masih berstatus siswa sekolah menengah atas mengakui hal ini.

Lalu apa yang harus dilakukan agar Facebook tidak merugikan penggunanya? Petrus mengemukakan tiga komponen pengamanan yang bisa diterapkan masing-masing individu.

Pertama, dengan komponen teknis berupa penyediaan piranti lunak pengaman. Firewall misalnya. Perangkat lunak ini dapat diletakkan antara internet dan jaringan internal. Tujuan firewall yaitu untuk membantu pengguna internet membatasi akses keluar-masuk pihak yang tak diharapkan.

Sementara komponen kontrol bisa dijalankan pemerintah dengan mengeluarkan regulasi. Salah satunya dengan penerapan Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE). Sayang, penerapan UU ITE sendiri masih mengalami kendala karena isinya belum 100 persen bisa melindungi hak pengguna teknologi. Hingga kini UU ITE terus direvisi oleh pemerintah.

Terakhir adalah komponen nonteknis, yaitu pengendalian pengguna. Inilah yang paling menentukan. Termasuk di dalamnya peran keluarga mendampingi pengguna internet di bawah 18 tahun ketika mengakses Facebook atau situs jejaring sosial sejenisnya. Para pengajar di sekolah pun harus lebih tegas dalam menerapkan aturan bagi siswa yang makin terbuka terhadap teknologi.

"Mendampingi anak itu perlu," ujar Ketua Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) Heru Nugroho. Ditambahkan Heru, orangtua yang masih belum memahami perkembangan teknologi mesti belajar menguasainya. Dengan demikian, anak bisa dapat ber-Facebook-an dengan aman dan sehat.(OMI)

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.