Sukses

Air di Jakarta Mengalir Kemana?

Dalam lima tahun terakhir, lebih dari 3 juta meter persegi bangunan berdiri mengepung Jakarta. Jika eksploitasi lingkungan dibiarkan dan drainase Jakarta tak tertangani dengan baik, jangan harap banjir lenyap dari Ibu Kota.

Liputan6.com, Jakarta: Musim hujan datang. Air, menggenang penjuru Ibu Kota. Genangan air yang tumpah di badan jalan menjadi biang keladi simpul kemacetan. Bagi Kota Jakarta, turunnya hujan identik dengan kemacetan yang terjadi. Apalagi kalau hujan turun saat jam pulang kantor. Seharusnya kondisi ini tidak perlu terjadi jika saja jalur drainase berjalan baik.

Drainase terletak tepat di bawah ruas jalan protokol yang memanjang dari kawasan Istana Negara hingga pusat perbelanjaan Blok M. Lebarnya berkisar 1,5 hingga 4 meter dengan tinggi 180 sentimeter. Di tengah ruas Jalan Thamrin, jalur drainase dibelokkan menuju Kali Cideng untuk membuang limpasan air hujan. Namun yang terjadi drainase tak berfungsi optimal.

Banyak pihak menuding, Pemprov DKI Jakarta tidak becus mengantisipasi masalah banjir yang sudah menahun. Buruknya drainase dan ketentuan tata guna lahan kerap dilanggar secara berjamaah oleh pengusaha, warga, dan pemerintah demi kepentingan bisnis belaka. Namun Gubernur Fauzi Bowo menolak jika kesalahan itu hanya dibebankan pada pemerintahannya saja.

Berbagai upaya sudah dilakukan. Toh nyatanya mengatasi banjir dan genangan di jalanan Ibukota tak semudah membalik telapak tangan. Lahan di Jakarta memang semakin hari terasa makin sempit. Selain kendala pembuatan drainase yang lebih besar, keadaan topografi Kota Metropolitan pun membuat Ibukota selalu terkepung air.

Rupanya, 40 persen dataran Jakarta jauh lebih rendah dibanding permukaan laut. Bayangkan, jika hujan datang, kawasan Istana dan Jalan Sudirman yang sudah lebih tinggi dari permukaan laut, masih banjir. Apalagi 40 persen kawasan pemukiman penduduk di Jakarta Pusat dan Jakarta Utara yang lebih rendah dari permukaan laut.

Dapat dimaklumi rendahnya kemampuan sungai di Jakarta menyerap banjir. Sungai Ciliwung, luasnya sudah tergerus oleh pemukiman dan sampah yang menumpuk di mana-mana. Seperti tidak merasa bersalah, masyarakat menjadikan Ciliwung seakan tempat sampah terpanjang di dunia. Lebar sungai yang dulunya 40 meter, kini tinggal 12 hingga 20 meter. Kedalamannya pun hanya sekitar 2 sampai 3 meter.

Selain Ciliwung, ada 12 sungai besar lainnya yang mengaliri wilayah Jakarta seluas 661,5 kilometer persegi. Di wilayah utara saja, ada 66 saluran penghubung sepanjang total 157,6 kilometer. Namun 90 persen di antaranya sudah tak berfungsi normal.

Sebanyak 13 sungai utama di wilayah barat dan timur dibelah oleh saluran raksasa, Banjir Kanal Barat dan Banjir Kanal Timur yang langsung tembus ke laut. BKB sepanjang 17,3 kilometer mengontrol aliran sungai di bagian barat. Tujuannya agar air sungai tak meluap ke jalanan dan pemukiman. Di sebelah timur Jakarta, ada proyek Banjir Kanal Timur. Proyek raksasa berbiaya Rp 5 trilyun ini terbentang sepanjang 23,5 kilometer mulai dari Kali Cipinang hingga bermuara di Marunda, perairan Cilincing.

Setelah dengan susah payah, air limpasan Jakarta mengalir ke laut, masalah ternyata belum selesai. Sebab ternyata laut Jakarta pun sudah dipenuhi sampah. Apapun upaya pemerintah mencegah banjir dan genangan di jalanan hanya akan jadi mimpi di siang bolong jika warga tak merawat lingkungannya.

Dalam lima tahun terakhir, lebih dari tiga juta meter persegi bangunan berdiri mengepung Jakarta di berbagai titik. Jika eksploitasi lingkungan terus dibiarkan dan drainase Jakarta masih tidak ditangani dengan baik, jangan harap banjir dan genangan bisa lenyap dari Kota Metropolitan ini. Simak selengkapnya dalam video.(JUM/AYB)

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.