Sukses

Ketika "Zina" Dilegalkan

Seperti pernikahan pada umumnya, proses kawin kontrak juga melalui masa pertunangan, ada mahar, serta menikah di depan penghulu dan wali. Umumnya, kawin model ini berkisar dua pekan hingga tiga bulan.

Liputan6.com, Bogor: Seorang pria Arab dengan pakaian serba putih dan wanita berkerudung warna serupa memasuki sebuah rumah di Kampung Sampay, Desa Tugu, Cisarua, Bogor, Jawa Barat, belum lama ini. Di ruang tamu, penghulu sudah menunggu kedatangan mereka. Tak lama kemudian, proses pernikahan pun dimulai. Usai menyerahkan mahar (mas kawin) dan mengucapkan ijab kabul, keduanya pun dinyatakan "sah" menjadi pasangan suami istri.

Pemandangan seperti itu sangat akrab dijumpai di Kampung Sampay saat musim Arab tiba, begitu orang-orang di sekitar puncak menyebutnya. Musim Arab adalah masa di mana turis-turis dari Timur Tengah menghabiskan waktu libur setelah musim haji. Kawasan puncak merupakan salah satu tempat favorit. Menikmati hawa sejuk dan menyewa vila-vila adalah salah satu kepuasan yang mereka cari.

Namun, penelusuran tim Sigi SCTV menemukan tidak sedikit dari turis-turis Timur Tengah itu yang datang ke puncak dengan tujuan khusus. Apalagi kalau bukan kawin kontrak alias kawin mut`ah dengan perempuan setempat. Salah satu daerah yang terkenal adalah Kampung Sampay. Bagi wanita di kampung itu, kedatangan wisatawan asing terutama dari negara petro dolar, Arab Saudi, berarti melimpahnya pundi-pundi uang mereka.

Menurut Andi (nama samaran) yang sudah bertahun-tahun berprofesi sebagai makelar kawin kontrak di Kampung Sampay. Tidaklah sulit menghadirkan seorang perempuan untuk disuguhkan ke turis asal Arab. Selain gampang, hampir dipastikan dia akan mendapatkan separuh uang dari nilai kontrak yang rata-rata mencapai Rp 10 juta hingga Rp 20 juta. Padahal, sang makelar kadang hanya menyuguhkan wanita jalanan.

Tak hanya dari Cisarua, perempuan-perempuan pemburu rial juga datang dari Cianjur, Sukabumi, dan berbagai daerah lainnya. Sambil menunggu tawaran kawin kontrak, mereka umumnya mengontrak kamar di sekitar Cisarua atau tinggal di rumah induk semang mereka.

Layaknya pernikahan pada umumnya, akad nikah kawin kontrak pun mensyaratkan adanya mahar. Meski tak dihadiri wali dari pihak perempuan, keduanya lalu bersepakat menikah untuk jangka waktu tertentu. Umumnya dua pekan hingga satu bulan. Sumber Sigi mengatakan, kawin kontrak seperti ini tidak jarang hanya disaksikan seorang bermodal bisa berbahasa Arab. Maksudnya, agar si turis yakin dan perkawinannya dianggap sah.

Selain penghulu jadi-jadian, ada juga beberapa penghulu resmi. Mereka adalah petugas dari Kantor Urusan Agama (KUA) setempat yang memang berprofesi ganda. Padahal praktik itu jelas diharamkan. "Ditinjau dari segi Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 (tentang perkawinan) dan hukum Islam, itu dilarang. Sejak zaman Nabi Muhammad sampai sekarang tidak boleh nikah mut`ah atau nikah kontrak," kata Tubib Umar, seorang penghulu di KUA Cisarua.

Lain kawin kontrak gaya Puncak, lain pula di Jepara, Jawa Tengah. Di Kota Ukir ini, fenomena kawin kontrak atau bahkan hidup bersama alias kumpul kebo terjadi seiring banyaknya pria asing yang datang untuk berbisnis furnitur. Sekadar informasi, di Jepara, kini sedikitnya ada 3.500 perusahaan furnitur besar dan 15 ribu perusahaan ukir rumahan. Pasarnya 99 persen ekspor. Tak mengherankan, bila kemudian warga asing berbondong-bondong mencari peruntungan di bisnis mebel dengan langsung datang ke Jepara. Mereka umumnya dari Amerika Serikat, Eropa, Australia, dan negara Asia seperti Korea Selatan dan Jepang.

Adalah Titik dan Charles. Pasangan ini sudah menjalani hidup bersama tanpa ikatan perkawinan selama lima tahun di tanah kelahiran R.A. Kartini itu. Kabarnya, Titik pernah menjadi primadona turis asing di Jepara. Sedangkan Charles adalah pengusaha indoor dan interior furnitur khas Jepara yang sudah menanamkam modalnya sejak delapan tahun silam.

Kepada tim Sigi Titik menuturkan, awalnya dirinya mengenal Charles di sebuah klub malam. Lantaran sama-sama cocok, keduanya kemudian sepakat hidup bersama. Jalan yang kemudian mengubah kehidupan Titik. Maklum, sebulan dia dinafkahi sebesar Rp 10 juta hingga Rp 20 juta. Jumlah itu jelas lebih dari cukup untuk hidup di Jepara. Apalagi jika dibandingkan menjadi buruh pabrik mebel, seperti banyak dilakoni perempuan di kota itu.

Kendati diberi nafkah yang besar, ada konsekuensi yang harus dijalani Titik. Selain melayani apa yang diinginkan pasangannya, juga tidak ada kontrak hitam di atas putih. "Saya harus melayani dia (Charles) seperti istri dan ia tak mau saya terlibat dalam bisnisnya," jelas Titik.

Berbeda dengan Titik. Sasa, yang dikawin kontrak oleh seorang pengusaha mebel asal Eropa untuk jangka waktu lima tahun, memiliki hak dan kewajiban yang jelas tertulis sebagai perjanjian bersama. Antara lain, mendapatkan rumah dan mobil atas nama dirinya, uang bulanan, dan kebutuhan wanita lainnya. Namun, Sasa juga terikat oleh sejumlah kewajiban. "Nggak boleh punya anak," ucap dia.

Dengan berpura-pura menjadi perempuan yang siap dikontrak pria asing, tim Sigi menemui seorang makelar kawin kontrak bernama Wongso. Menurut sang makelar, cara dia menutup modus kawin kontrak adalah dengan menganggap perempuan lokal sebagai karyawan.

Masyarakat Jepara punya sikap yang beragam melihat perubahan sosial ini. Ada yang pro maupun kontra. Menurut Anggota DPRD Kabupaten Jepara Sudarsono, hal seperti itu wajar-wajar saja. "Tidak menimbulkan kendala. Saya mengatakan itu baik sekali karena mereka akan tetap kerasan di sini," ujar dia. Namun menurut seorang pengusaha mebel Jepara Ishadi, kondisi itu sangat merugikan dan menghancurkan bisnis furnitur. "Kalau saya katakan itu bule kaki lima," kata dia.

Majelis Ulama Indonesia (MUI) sendiri telah secara tegas mengharamkan jenis perkawinan model ini. Kawin kontrak tidak sesuai aturan agama dan lebih sebagai upaya menghalalkan perzinahan. "Nikah mut`ah itu sudah diharamkam sampai hari kiamat," jelas Ketua MUI Pusat Khuzaimah T. Yanggo mengutip hadits Nabi Muhammad SAW.

MUI memandang, kalaupun Nabi Muhammad SAW pernah membolehkan nikah mut`ah karena saat itu masa peperangan alias dalam situasi darurat. Selain itu, hukum Islam masih berproses menuju sempurna seperti saat ini. Alhasil, karena kawin kontrak haram hukumnya, MUI berharap pelakunya dibawa ke pengadilan dan dijerat sesuai hukum yang berlaku.

Sementara di mata aktivis dan pembela perempuan Nursyahbani Katjasungkana, perempuan yang dinikahi memang mendapatkan keuntungan materi. Namun, posisinya tetap saja sebagai pihak yang paling dirugikan. Bahkan, kawin kontrak bisa dikategorikan sebagai perdagangan perempuan. "Banyak dibuat terobosan-terobosan supaya terhindar dari hukum. Seperti dikemas dalam nikah siri, kawin kontrak. Tapi intinya perdagangan perempuan yang mengkomoditikan tubuh perempuan," kata Nursyahbani.

Atas dasar itulah, polisi kerap menggelar razia di sekitar puncak. Pekan silam, puluhan perempuan yang diduga bisa melayani kawin kontrak dijaring. Kebanyakan dari mereka berasal dari Kampung Sampay, daerah yang selama menjadi tujuan turis Timur Tengah untuk menikah semusim. "Ada yang tiga bulan, ada yang sepuluh hari. Dan mereka banyak yang menjadi sasaran penipuan," kata Kepala Kepolisian Sektor Cisarua Ajun Komisaris Polisi Syarif Hidayat.

Terkadang dalam setiap razia terjadi pertengkaran antara petugas dan para turis. Sebab, mereka menolak tuduhan kalau perempuan yang dinikahi untuk jangka waktu pendek adalah wanita main-main. Maklum, sebelum sampai proses pernikahan, mereka mengawali dengan pertunangan. Pernikahan pun digelar di depan penghulu dan wali. Seperti halnya Titik dan Sasa, bagi Rosa yang sudah menjalani kawin kontrak berkali-kali menganggap hal ini sebagai kewajaran. Tidak heran, jika ia sedang mempersiapkan kawin kontrak selama tiga bulan dengan seorang pria berumur kelahiran Riyadh, Arab Saudi.

Alasan lilitan kemiskinan menjadi sanggahan mujarab kebanyakan perempuan yang terjerembab ke dunia ini. Mereka beranggapan, dengan kawin kontrak bersama turis Arab, kehidupan ekonomi akan membaik. Padahal, tetap saja perempuan-perempuan itu sebagai pihak yang dirugikan. Adapun Pasal 1 dan 2 UU Perkawinan Nomor 1 tahun 1974 menyatakan, nikah mut`ah dicurigai dapat menimbulkan dan menyebarkan penyakit kelamin. Selain itu, sangat potensial merusak kepribadian dan budaya luhur bangsa Indonesia.(BOG/Tim Sigi)

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.