Sukses

Yang Diperas dan Digusur di Trotoar

Di satu sisi, keberadaan kaum pinggiran ini dinilai mampu menciptakan lapangan kerja bagi sebagian penduduk Jakarta. Pada sisi berbeda, mereka kerap digusur dan dikenakan pungutan liar yang jumlahnya mencapai Rp 50 miliar setahun.

Liputan6.com, Jakarta: Bunga-bunga kehidupan, tumbuh subur di trotoar. Mekar liar di mana-mana. Langkah-langkah garang datang, hancurkan wanginya kembang. Engkau diam tak berdaya. Bungaku, bunga liar... Bungaku, bunga trotoar...

Pedagang kaki lima (PKL), seperti yang digambarkan oleh grup band SWAMI dalam tembang Bunga Trotoar layaknya jamur di musim hujan. Mereka menjejali bahu-bahu jalan dan di setiap emperan untuk menawarkan barang dagangannya. Namun, ketika razia datang, pedagang harus pontang-panting meninggalkan lokasi berjualan. Maklumlah, keberadaan mereka dianggap mengganggu keindahan kota.

Kini, situasinya tampak berbeda. Para pedagang kaki lima memberikan perlawanan setiap kali ada penertiban yang biasa digelar Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP). Para pedagang liar di Pasar Senen, Jakarta Pusat, misalnya [baca: Pedagang-Satpol PP Bentrok di Pasar Senen].

Mereka melawan bukan tanpa alasan. Sebab, lapak serta kios yang ditempati untuk berjualan tak diperoleh secara gratis. Pedagang pinggir jalan itu membeli dari harga Rp 1 juta hingga Rp 6 juta per lapak dengan ukuran 2 x 1 meter. Selain itu, setiap hari mereka diminta membayar biaya retribusi dan uang keamanan hingga tiga kali. Adapun besarnya Rp 1.000 sekali penarikan. Namun, di akhir pekan pungutan liar itu jumlahnya bertambah menjadi Rp 5.000 hingga Rp 8.000 per lapak. Total dalam sebulan, kurang lebih satu orang pedagang mengeluarkan "uang jago" dan tarikan ilegal berkisar Rp 110 hingga Rp 150 ribu.

Walau setiap hari rutin membayar, mereka tetap digusur. Pemerintah Provinsi DKI Jakarta menyatakan kios dan lapak para pedagang itu ilegal. Sebab, lokasi yang mereka tempati bukan untuk berjualan. Tak hanya itu. Para pedagang tersebut pun dituding menyebabkan kemacetan di jalan-jalan sekitar tempat mereka berdagang.

Pedagang pun marah. Selain karena nasibnya tak diperhatikan. Mereka juga merasa dijepit kiri, kanan, atas, dan bawah. Membeli lapak di lokasi terlarang, membayar pungutan liar dan retribusi, sekaligus siap untuk digusur. Tak mengherankan, bila setiap penertiban kerap berbuntut bentrokan antara pedagang dan petugas.

Ketua Asosiasi PKL Muhdi mengatakan, pedagang sebenarnya ingin agar retribusi disahkan saja. Dengan dilegalkannya retribusi, mereka berharap uang yang dikeluarkan bisa jelas peruntukannya. "Ada retribusi tapi sifatnya liar. Kita tak tahu ke mana duit itu," kata Muhdi. Dia menambahkan, retribusi itu diambil oleh orang-orang kaki tangannya pemerintah daerah. "Bagaimanapun keberadaan pedagang kaki lima tanpa campur tangan penguasa tak mungkin. Kita orang kecil nggak berani," tambah Dia.

Apa yang dikatakan Muhdi ternyata benar. Penelusuran tim Sigi SCTV di kawasan pedagang kaki lima di Jakarta mendapati seorang petugas Satpol PP sedang memungut biaya retribusi. Padahal, Undang-undang Nomor 18 Tahun 1997 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah melarang hal itu. Walau demikian, pungutan liar terus berlangsung hingga sekarang.

Menurut Gondo--sebut saja nama petugas nakal itu--dalam sehari dirinya mengutip dua hingga tiga kali biaya retribusi dari setiap pedagang. Adapun biaya yang dikenakan sebesar Rp 1.000 hingga Rp 3.000. Berarti, dalam sebulan untuk satu kawasan saja, mereka sedikitnya dapat mengentit uang dari pedagang sekitar Rp 6 juta.

Dari seorang petugas Satpol PP tim Sigi mendapati informasi jika uang hasil pungutan liar oleh kelompok pengelola atau preman mengalir ke kantong pejabat pemerintah secara tidak resmi. "Mereka dapat perintah dari wakil kecamatan maupun wali kota," ungkap dia. Jumlahnya pun tak tanggung-tanggung. Bayangkan, dalam sebulan bisa mencapai sekitar Rp 20 juta. Itu baru di satu area saja.

Akan tetapi, Kepala Dinas Ketenteraman dan Ketertiban Provinsi DKI Jakarta Harianto Badjoeri membantah adanya pungutan liar seperti itu. "Tidak ada pungutan apa pun oleh aparat kita," jelas dia. Harianto menegaskan, pihaknya tidak melindungi suatu badan atau kelompok mana pun untuk memungut retribusi itu.

Tak hanya Satpol PP, pungutan liar semi-ilegal juga kerap digelar para pengelola PKL. Di salah satu lokasi pedagang liar di kawasan Jakarta Selatan, misalnya. Lebih dari 700 pedagang pinggiran di daerah itu berada di bawah tujuh kelompok pengelola. Mereka adalah penguasa keamanan atau kerap disebut preman setempat.

Para pengelola ini sudah puluhan tahun memungut biaya retribusi ilegal di pasar itu. Dengan dalih untuk uang keamanan dan kebersihan. Dalam satu hari, biaya yang dipungut bisa sampai lima kali. Jumlah uang yang dikumpulkan bisa mencapai Rp 300 ribu hingga Rp 500 ribu.

Walau begitu, sejumlah pedagang mengaku tak keberatan dengan pungutan seperti itu. Asalkan, jumlahnya tak memberatkan usaha mereka. Adapun biaya yang dikenakan untuk seorang pedagang dalam satu hari sebesar Rp 6.000. Secara perhitungan di atas kertas. Dengan jumlah PKL yang mencapai hampir Rp 150 ribu pedagang, maka jumlah pendapatan dari pungutan liar sekitar Rp 300 juta dalam setahun. Angka ini tentu bisa menambah kas Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Pemerintah Provinsi DKI Jakarta.

Untuk itu, Pemprov DKI Jakarta kini tengah merancang lahirnya peraturan daerah tentang retribusi PKL. Perda itu dibuat berdasarkan Undang-undang Nomor 34 Tahun 2000 yang membatalkan UU Nomor 18 Tahun 1997. Adapun biaya yang dikenakan nantinya berkisar Rp 1.000 sampai Rp 1.500. "Retribusi itu tentunya akan kembali kepada pembinaan pedagang kaki lima," kata Kepala Dinas Koperasi Usaha Kecil dan Menengah DKI Sukri Bey.

Patut diketahui, jumlah PKL yang resmi di Ibu Kota sekitar 141 pedagang. Sementara yang tidak resmi angkanya bisa sampai sepuluh kali lipat. Jumlah itu adalah persentase terbesar dari sekitar empat juta pedagang jalanan di seluruh Indonesia. Maklum saja, perputaran uang di Jakarta memang menggiurkan pekerja informal untuk mengadu nasib di Ibu Kota. Mereka menyadari untuk membayar, tapi berharap jangan terus digusur.

Dari 141 pedagang kaki lima, terbesar bergerak di bidang makanan dan minuman. Sementara saat ini yang baru bisa dibina atau ditempatkan di tempat-tempat yang diresmikan pemerintah daerah hanya 14 ribu. Sedangkan lokasi-lokasi binaan yang sudah dibangun baru bisa menampung 4.000-an pedagang. "Secara total, jumlah pedagang yang dibina sebesar 18.000," jelas Sukri.

Selama ini, kendala yang dihadapi pemerintah dalam membina kaum pinggiran itu adalah masalah harmonisasi antara pedagang dengan ketersediaan ruang publik, tata kota, dan estetika tata ruang kota. Pemerintah kabupaten atau kota dituntut dapat memberikan kepastian usaha kepada pedagang kaki lima. Akan tetapi setiap mengembangkan infrastruktur perekonomian, acap kali soal pedagang pinggiran itu tidak dilibatkan. Pembangunan pusat belanja atau mal yang mengakibatkan terjadinya penggusuran, misalnya.

Wakil Kepala Dinas Tata Kota Pemprov DKI Jakarta Agus Subandono mengatakan, saat ini dalam tata ruang kota belum diatur secara rinci mana daerah yang diperuntukkan bagi pedagang kaki lima atau perkantoran. Sehingga wajarlah, jika sampai kini mereka masih menggelar dagangan di trotoar karena belum tersedianya lahan.

Dalam pandangan Sukri, keberadaan pedagang liar ini sebenarnya tak bisa dianggap remeh. Mereka justru dinilai mampu menciptakan lapangan kerja bagi warga Ibu Kota. Kendati belum ada data yang pasti tentang perputaran uang di sektor informal ini, diperkirakan jumlahnya sangat besar. Untuk pungutan liar dari pedagang di Jakarta saja, dalam setahun bisa mencapai Rp 50 miliar.

Berkaca pada kenyataan selama ini, penggusuran tentu bukan satu-satunya solusi mengatasi masalah pedagang kaki lima. Sebab, kehadiran mereka justru telah terbukti ampuh menjadi jaring pengaman ekonomi rakyat. Terlebih dalam situasi sulit seperti ini banyak jalan untuk membina dan menertibkan mereka. Jika demikian, teriakan para pedagang kaum pinggiran ini dalam menjajakan dagangannya masih tetap terdengar. Seperti lirik lagu Bunga Trotoar yang dinyanyikan Iwan Fals cs.(BOG/Tim Sigi SCTV)

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

    Video Terkini