Sukses

"Bom Waktu" di Tubuh Kita

Temuan baru tentang makanan serta bahan makanan yang mengandung zat berbahaya terus bertambah. Selama puluhan tahun, pemerintah membiarkan zat berbahaya itu mengendap di dalam tubuh kita.

Liputan6.com, Jakarta: Hingga kini masyarakat masih dihantui isu penggunaan zat kimia formalin dalam banyak bahan makanan. Betapa tidak, bahan makanan yang ditemukan menggunakan zat pengawet mayat itu tidak jauh-jauh dari pintu dapur kita. Misalnya saja ikan asin, yang menurut penelusuran tim Sigi di kalangan nelayan Teluk Jakarta banyak menggunakan formalin [baca: Di Balik Kenikmatan Ikan Asin].

Temuan itu kemudian merembet ke makanan lainnya. Data yang dilansir Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) akhir tahun silam menyebutkan, puluhan makanan yang beredar di tengah masyarakat mengandung formalin. Di antaranya adalah tahu, mi basah serta bakso [baca: Pengawet Mayat di Tubuh Kita].

Dari contoh makanan yang diambil di sejumlah kota, sebagian besar diketahui mengandung zat kimia itu. Misalnya di Jakarta, dari 15 contoh tahu yang diperiksa, 77 persen tercemar formalin. Begitu juga dari 15 contoh mi basah yang diteliti, 10 di antaranya atau 66 persen mengandung zat pengawet mayat itu. Tak urung, temuan ini membuat banyak produsen makanan di berbagai daerah nyaris bangkrut [baca: Produsen Tahu dan Mi Basah Nyaris Bangkrut].

Yang jelas, temuan demi temuan itu membuat aparat berwenang semakin gencar melakukan razia serta penelitian terhadap berbagai bahan makanan yang beredar. Tak dinyana, temuan lain kemudian membuktikan kalau ayam potong juga sudah disusupi. Tidak hanya formalin, ayam potong siap jual itu juga menggunakan zat berbahaya lainnya, yaitu pewarna pakaian jenis Rhodamine B [baca: Ayam Potong Tak Luput dari Formalin].

Di Cilegon, Banten misalnya, razia yang dilakukan polisi pada pengujung tahun lalu menemukan enam pengusaha ayam potong yang menggunakan kedua zat berbahaya tersebut. Salah seorang pengusaha, Teja, mengaku sudah menggunakan formalin dan Rhodamine B sejak tiga tahun silam. Sebagaimana diperlihatkan Teja di depan petugas kepolisian, proses "pembumbuan" itu sangat sederhana. Formalin dicampurkan sekaligus dengan pewarna dengan takaran berdasarkan perkiraan semata.

Menurut Teja, penggunaan formalin dimaksudkan agar ayam yang dijual terlihat lebih kenyal dan awet serta untuk menghindari penyusutan bobot ayam agar tidak menyusut. Sementara pewarna pakaian digunakan supaya warna daging ayam potong menjadi kemerahan dan terlihat lebih segar.

Penelusuran tim Sigi pada sebuah tempat pemotongan ayam di Jakarta beberapa waktu lalu juga menemukan hal yang sama. Usai dipotong, ayam direbus selama satu hingga dua menit untuk mempermudah mencabuti bulunya. Setelah bersih dari bulu, ayam-ayam itu dimasukkan ke dalam tong yang telah diberi campuran formalin dan pewarna pakaian.

Kendati demikian, pengelola tempat itu mengatakan tidak semua tempat pemotongan ayam menggunakan formalin dan pewarna pakaian, semuanya tergantung permintaan. Kedua bahan kimia itu umumnya digunakan terhadap ayam potong yang tidak sehat. Bagi produsen, daging ayam yang terlihat pucat akan mengurangi minat beli konsumen. Dengan penambahan bahan kimia, kekurangan itu dapat sedikit tertutupi, meski harus mengabaikan kesehatan konsumen.

Temuan lain yang lebih mengagetkan, tidak hanya kaum ibu yang tertipu dengan bahan makanan yang ada di dalam dapur mereka. Bocah-bocah lugu pun tak luput dari sasaran penipuan. Lihat saja beragam jajanan di balik pagar sekolah yang ramai diserbu murid-murid saat jam istirahat atau bubaran sekolah. Meski murah dan terlihat menarik, jajanan itu pelan-pelan telah menggerus kesehatan mereka.

Jajanan seperti kembang gula atau gulali misalnya, ternyata menggunakan pewarna pakaian agar terlihat menarik dipandang mata. Menurut salah seorang pedagang, jajanan ini bahan utamanya adalah gula murni, yang dipanaskan selama kurang lebih selama setengah jam hingga mengental. Lantas, pedagang ini menambahkan pewarna pakaian, merah dan hijau sebagai pilihan utama. Selain kembang gula, jajanan lain seperti es campur ternyata juga mengandung zat yang sama.

Menurut dokter spesialis gizi Rachmad Soegih, Sp.G, bahaya pewarna pakaian bagi anak-anak akan lebih cepat terasa. Biasanya, bocah-bocah itu akan mengalami gangguan tenggorokan yang disertai demam. Namun, itu belum seberapa. Efek lanjutan kalau makanan itu terus dikonsumsi akan mengganggu organ dalam tubuh. "Sel tubuh mereka pelan-pelan akan rusak," jelas Rachmad.

Berdasarkan informasi lainnya, tim Sigi kemudian mendatangi sebuah pabrik pembuatan saus sambal yang berada di Bekasi, Jawa Barat. Dari cara pembuatannya, usaha rumahan sambal botol ini tergolong sederhana. Apalagi harga untuk satu botolnya terbilang miring, cuma Rp 875. Selain itu, tak terlihat sama sekali alat pembersih botol bekas yang mereka gunakan.

Sambal yang mereka produksi adalah hasil pencampuran cabai yang sudah digiling dengan tepung, pewarna serta perasa bawang putih yang kemudian diaduk menjadi satu. Tidak jelas apa merek pewarna yang digunakan. Selain itu, tak ada cap yang tertulis di bungkus pewarna, seperti logo huruf M, tanda sertifikasi yang disyaratkan Departemen Kesehatan. Pemilik usaha ini hanya mengatakan pewarna itu dibeli seharga Rp 130 ribu per kilogram.

Yang disayangkan, temuan-temuan tersebut tidak dengan sendirinya membuat berbagai bahan makanan berbahaya hilang di pasaran. Pengamatan yang dilakukan di Jakarta beberapa pekan setelah BPOM melansir temuannya, tetap mengejutkan. Di beberapa pusat perbelanjaan ternyata masih beredar berbagai merek bahan makanan yang menurut BPOM mengandung zat berbahaya. Begitu juga beberapa produk lain yang menggunakan merek yang sama.

Untuk memastikan kandungan zat berbahaya dalam berbagai makanan itu, tim Sigi kemudian membawa contoh beberapa bahan makanan itu ke laboratorium BPOM. Proses pengujian dilakukan dalam beberapa tahap, yang dimulai dari pemisahan cairan dari materi-materi lain. Hasilnya, diperoleh cairan berwarna merah yang kemudian diuji lagi dengan menggunakan zat zinc sulfate, thiourea dan kalium ferrocyanide.

Hasilnya, cairan berwarna merah itu kemudian berubah menjadi ungu. Dikatakan oleh Kepala Bidang Pengujian Pangan BPOM, dokter Siam Subagyo, hasil ini membuktikan adanya senyawa dengan zat pewarna sintetis Rhodamine B. Padahal, kata Siam, zat tersebut tidak boleh digunakan untuk makanan. Efek zat tersebut dalam makanan memang tidak langsung terlihat. "Zat itu akan menumpuk dalam jangka panjang, yang umumnya bisa menimbulkan kanker," jelas Siam.

Semua fakta itu jelas membuat masyarakat terperangah. Apalagi kemudian diketahui praktik tersebut telah berlangsung selama lebih dari 20 tahun. Dikatakan oleh Pengurus Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia, Sudaryatmo, mestinya pemerintah lebih fokus dan tidak bersikap setengah-setengah menangani sistem keamanan pangan. "Depkes harusnya mempertanggungjawabkan langkah-langkah yang telah dilakukan dalam memproteksi konsumen," tegasnya.

Namun, berbagai lembaga di tubuh pemerintah hingga saat ini masih terlihat sibuk melempar tanggung jawab. Pihak BPOM misalnya, mengatakan kalau kewenangan mengatur peredaran bahan kimia berbahaya tidak berada di lembaganya. Pada saat bersamaan, keamanan konsumen tetap tanpa proteksi di tengah semua perdebatan itu.

Sementara dari pihak Depkes, yang selama ini menuai kritik dari masyarakat, berbalik mengarahkan tuduhan ke BPOM. Seperti dikatakan Menteri Kesehatan Siti Fadilah Supari, langkah BPOM melansir temuannya sekarang ini merupakan sesuatu yang mengejutkan. Pasalnya, pengawasan makanan dilakukan terus-menerus setiap tahun. "Artinya, BPOM telah membiarkan masyarakat mengonsumsi makanan berformalin selama bertahun-tahun. Kalau BPOM fokus dalam masalah pengawasan, hal ini tidak akan terjadi," ujar Menkes.

Siti mensinyalir, BPOM memiliki agenda tersendiri dengan mengungkap kasus ini, yaitu lebih karena urusan fulus, lantaran adanya keinginan BPOM diberi kewenangan mengeluarkan izin. "Kalau mengurus sertifikasi itu kan ada uangnya," paparnya lagi. Sinyaleman ini kemudian mendapat dukungan dari beberapa lembaga swadaya masyarakat bidang kesehatan [baca: Isu Formalin Terkait UU Farmasi dan Makanan].

Dugaan itu kontan saja dibantah BPOM. "Demi Allah, demi Rasulullah, Badan POM tak memiliki agenda tersembunyi," tegas Ketua BPOM Sampurno di Jakarta, pekan lalu [baca: BPOM: Tiada Motif di Balik Kasus Formalin]. Sayangnya, sikap saling lempar wacana ini tidak menyelesaikan masalah yang mendasar, yaitu perlindungan terhadap konsumen dari bahan makanan berbahaya.

Langkah BPOM yang beberapa waktu belakangan gencar melansir temuannya jelas sangat dihargai. Namun, keheranan juga lantas menyergap ketika kemudian diketahui masalah ini sudah lama dikantongi BPOM. Pertanyaannya, kenapa baru sekarang lembaga ini melansir temuannya? Tapi, pertanyaan itu pun bukan hal yang utama untuk dijawab saat ini.

Yang paling mendesak dikerjakan pemerintah adalah memastikan sesegera mungkin, tidak ada lagi bahan makanan yang bisa menjadi "bom waktu" di dalam tubuh kita. Langkah pemerintah membentuk tim lintas departemen mengatasi masalah ini juga layak diapresiasi [baca: Tim Penyalahgunaan Formalin Dibentuk]. Lebih dari itu, langkah konkret tim inilah yang harus segera direalisasikan, agar tidak sekadar menjadi gerakan tambal sulam belaka.(ADO/Tim Sigi SCTV)

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.