Sukses

Tahun 2005, Tahun Penuh Bom dan Korupsi

Terakhir, bom meledak di Pasar Maesa, Kota Palu, Sulawesi Tengah, sehari menjelang pergantian tahun. Adapun skandal korupsi di KPU menyeret Mulyana Wira Kusumah dan Nazaruddin Sjamsuddin ke hotel prodeo.

Liputan6.com, Jakarta: Teror bom seakan tak ada habisnya di Indonesia. Bom kembali meledak di Pasar Pasar Maesa, Kota Palu, Sulawesi Tengah di pengujung tahun 2005. Sekitar 45 korban luka-luka dan delapan orang lainnya meninggal dunia, tiga di antaranya tewas di tempat [baca: Sudah Delapan Tewas Korban Peledakan di Palu].

Ledakan bom itu terjadi sewaktu pasar sedang ramai oleh pembeli. Atau pada saat sebagian besar warga di sana tengah berbelanja untuk menyambut Tahun Baru. Tak mengherankan, bila korban sebagian besar adalah para pembeli dan penjual. Ledakan bom juga meluluhlantakkan sebagian bangunan pasar daging tersebut [baca: Bom Mengguncang Kota Palu, Enam Tewas].

Polisi yang datang ke lokasi kejadian menemukan sebuah bom lainnya. Bom yang masih aktif itu akhirnya diledakkan di lokasi yang sama [baca: Bom Lain di Palu Ditemukan]. Insiden ini yang pertama terjadi di Kota Palu pada tahun 2005. Terakhir, ledakan bom terjadi di Gereja Immanuel, Kota Palu, 12 Desember 2004 [baca: Sebuah Gereja di Palu Dibom].

Tak hanya kasus peledakan bom. Berbagai masalah hukum lainnya juga menjadi perhatian berbagai kalangan di tahun 2005. Soal Selat Malaka, misalnya. Walau sempit, perairan yang memanjang sejauh 900 kilometer itu memang sudah menjadi jalur perdagangan dunia sejak 15 abad lampau. Selat yang memisahkan Semenanjung Malaysia dan Pulau Sumatra ini menjadi jalur tersibuk di dunia hingga detik ini. Seperempat perdagangan laut dipastikan melewati selat ini, terutama perdagangan minyak. Jadi tak mengherankan, kalau jalur ini membuat ngiler para perompak.

Kasus paling menghebohkan terjadi saat tanker milik PT Pelayaran Nasional Indonesia (Pelni) dirampok akhir April tahun silam. Sebanyak 573 ton timah batangan senilai Rp 45 miliar yang diangkut tanker itu dikuras habis. Sementara awak kapal dibuang ke perairan Batam, Kepulauan Riau. Kapal ini ditemukan Polis Diraja Malaysia bersandar di Pelabuhan Pasir Gudang, Johor, Malaysia [baca: Mengusir Bajak Laut dari Jalur Sutra].

Pemerintah Indonesia tak tinggal diam dalam masalah ini. Setidaknya patroli laut ditingkatkan. Namun, operasi penangkapan tahun 2005 tak lebih dari sepuluh penangkapan. Jumlah ini jelas jauh di bawah kasus perompakan yang terjadi sepanjang tahun silam, yakni 42 kasus.

Tak hanya perompakan di Selat Malaka. Tim Sigi SCTV pun menyoroti soal impor pupuk bermasalah dari Singapura. Ceritanya begini. Februari silam, bau busuk menyengat dari tumpukan karung bercap pupuk organik yang teronggok begitu saja di Pelabuhan Pulau Galang, Batam, Kepulauan Riau. Jumlah karung pupuk asal Singapura itu tak kepalang tanggung: mencapai 1.700 karung dengan berat total 1.115 ton. Jika ribuan karung itu berisi pupuk sungguhan, memang tak bakal jadi masalah. Akan tetapi di dalamnya mengandung zat radioaktif yang bisa membuat mutasi genetik dan menyebabkan cacat tubuh. Artinya, udara, air, dan tubuh manusia bisa tercemar limbah asal Negeri Singa itu.

Hasil uji laboratorium menunjukkan material dalam limbah itu ternyata mengandung sejumlah logam berat yang mematikan. Antara lain arsen, kadmium, tembaga, dan seng dengan kadar melebihi ambang batas. Logam berat arsen yang mematikan ditemukan hampir dua kali kadar ambang batas aman, begitu juga logam berat lain.

Penelusuran tim Sigi menemukan ratusan karung limbah B3 (bahan berbahaya dan beracun) yang dibawa ke Batam dengan kapal TK Winstar 6 Singapura. Dalam dokumen, tujuan kapal itu ke Pelabuhan Batu Ampar, Batam. Dan material yang dibawa adalah pupuk organik. Muatan kapal seharusnya dibongkar di pelabuhan resmi, tapi malah diturunkan di sebuah pelabuhan tak resmi di Pulau Galang. Dari pelabuhan tikus itu, karung-karung limbah itu diangkut dengan truk ke kawasan Jembatan Enam, Kecamatan Galang Baru [baca: Ribut-Ribut Pupuk Beracun Made In Singapura].

Tim Sigi juga menurunkan laporan mengenai hutan Indonesia. Banyak orang tahu hutan tropis di gugusan zamrud khatulistiwa itu indah nan mempesona. Tak aneh, bila kalangan internasional menyatakan hutan di Indonesia sebagai paru-paru dunia. Ibarat tubuh manusia, paru-paru memang sebuah organ penting. Tanpanya, manusia tidak bisa bernapas, alhasil mati.

Namun yang terjadi, hutan Indonesia justru terus menciut akibat illegal logging atau pembalakan liar. Lembaga Investigasi Lingkungan (EIA) yang berbasis di London, Inggris dan lembaga swadaya masyarakat Telapak di Indonesia menyebutkan penjarahan kayu berlangsung tanpa tedeng aling-aling. Selain merusak lingkungan, penebangan liar seakan telah menjadi kanker ganas yang menggerogoti kekayaan negara.

Saban tahun, setidaknya dua juta hektare hutan hilang dari Bumi Indonesia. Ini artinya, dalam setiap menit hutan Indonesia berkurang enam kali luas lapangan sepak bola akibat penebangan liar di berbagai kawasan, seperti Kalimantan, Sumatra, dan Papua. Akibatnya, negara merugi hingga Rp 30 triliun per tahun.

Menurut EIA dan Telapak, sekitar 300 ribu meter kubik kayu merbau gelondongan asal Papua diselundupkan ke Cina setiap bulan. Kayu merbau memang menjadi sasaran utama pembalakan liar di Bumi Cendrawasih. Sebab merbau adalah salah satu kayu asal Asia Tenggara yang paling berharga dan diminati karena kekuatan dan daya tahannya. Kayu berwarna gelap ini sering digunakan untuk membangun bangunan-bangunan mewah, lantai, dan perabotan luar ruangan.

Penyelundupan kayu merbau nyaris selalu mulus lantaran melibatkan banyak agen dan pebisnis berkantong tebal. Karena mereka sanggup membayar uang pelicin dalam jumlah sangat besar. EIA dan Telapak bahkan menyebut sindikat perdagangan kayu itu mampu menyetor sekitar Rp 1,8 miliar untuk melicinkan bisnis mereka [baca: Hutanku Hijau, Hutanku Terus Dibabat].

Tim Sigi juga menelusuri seluk-beluk bisnis ganja di Kutacane, Aceh Tenggara, Nanggroe Aceh Darussalam. Kehidupan di Kutacane, mungkin seperti di Cidade de Deus, Rio de Janeiro, Brasil yang kisahnya diangkat dalam film City of God. Di kota kecil ini, peredaran daun ganja menjamur. Sebagian orang menyebut mariyuana. Bob Marley bilang, tampee. Memang banyak sebutan untuk ganja. Adapun di Kutacane, dalam setahun transaksi daun memabukkan itu mencapai puluhan miliar rupiah.

Wajar saja, karena ratusan hektare lahan ganja tumbuh subur di kawasan pegunungan Leuseur. Di sebuah kaki bukit, terdapat satu hektare lebih ganja siap panen. Ada enam hektare ganja lain yang bisa dipanen dalam satu bulan mendatang. Dengan asumsi satu hektare bisa menghasilkan satu ton ganja. Berarti paling sedikit ada enam ton ganja yang siap membanjiri pasaran setiap bulannya. Ini baru dari satu lokasi [baca: Bisnis Ganja di "Kota Tuhan"].

Peladang mengaku ganja yang dipetik dan dikeringkan adalah ganja kelas satu, yakni jenis laki-laki. Jenis ini biasanya diburu para bandar karena kualitasnya yang tidak tertandingi. Untuk jenis ini, biasanya dijual Rp 250 ribu sampai Rp 300 ribu per kilogram.

Polisi bukannya tak pernah bergerak. Hanya, gerakan penegak hukum itu dirasa lamban dan kalah gesit dengan peladang. Operasi pun sering digelar. Akan tetapi, bagai pungguk merindukan bulan, langkah itu tidak menyurutkan niat para pelaku untuk meraup untung dari ladang ganja.

Selain bisnis ganja, tim Sigi juga berupaya menguak jenis pelanggaran hukum lainnya yang bernama korupsi. Kasus perampokan uang rakyat yang dipantau tim Sigi adalah di tubuh Komisi Pemilihan Umum (KPU).

Memang, sukses menyelenggarakan pemilihan umum belum tentu berhasil menyembunyikan korupsi. KPU akhirnya harus merelakan para petinggi dan stafnya untuk berada di hotel prodeo. Berawal dari penjebakan terhadap anggota KPU Mulyana Wira Kusumah oleh auditor Badan Pemeriksa Keuangan Khairiansyah Salman [baca: Drama Itu Berjudul Pemerasan Berakhir Jebakan].

Kisah itu akhirnya "mengalir" kepada sebuah buku kecil berwarna biru, yakni Buku Pintar Dana Taktis-Ekstra Budgeter. Di dalam buku ini tercatat nama-nama rekanan yang turut mengisi "lumbung" dana gelap KPU atau dana taktis. Adapun istilah data taktis diberikan oleh si pemilik buku yang tidak lain adalah Bendahara KPU Hamdani Amin.

Hamdani menulis dana taktis pertama datang dari rekanan pengadaan mobil operasional KPU, yakni tertulis PT Astra International Tbk. Perusahaan ini menyumbang dana sebesar Rp 2,33 miliar yang disetor dalam dua tahap. Pertama Desember 2003 dan kedua pada Januari 2004. Bukti setoran yang paling jelas adalah dari tender pengadaan kotak suara pemilu. Selain Mulyana, hasil korupsi beramai-ramai ini juga menyeret Ketua KPU Nazaruddin Sjamsuddin.

Dana gelap senilai Rp 20 miliar bisa jadi hanya bagian kecil dari banyak dana lain yang masuk ke lumbung hitam KPU. Ini sangat mungkin melihat audit investigasi BPK saja mendapati indikasi korupsi sebesar Rp 90 miliar untuk lima proyek logistik pemilu. Padahal di luar itu masih ada 10 proyek KPU lainnya yang belum diaudit [baca: Lumbung Hitam KPU yang Menjerat].

Kasus dugaan korupsi juga terjadi dalam penyelenggaraan ibadah haji yang melibatkan mantan Menteri Agama Said Agil Husin al Munawar dan mantan Direktur Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam dan Penyelenggaraan Haji Taufiq Kamil. Keduanya dituduh telah menilap Dana Abadi Umat sebesar Rp 700 miliar. Namun baik Said Agil maupun Taufiq Kamil menolak tudingan itu.

Walaupun demikian, hasil audit Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPPKP) menemukan setidaknya ada 10 pos penyimpangan yang besarnya mencapai Rp 1 triliun. Angka itu jauh melebihi temuan dari Tim Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebesar Rp 700 miliar. Jumlah yang cukup untuk membangun 20.000 pusat kesehatan masyarakat atau sekolah dasar di tempat terpencil.

Pelaksanaan rukun Islam kelima itu dalam praktiknya jauh dari baik. Ini direkam oleh anggota DPR Marissa Haque. Para jemaah mengeluh soal rumah inap yang tak nyaman. Ditambah lagi jaraknya cukup jauh dari lokasi ritual haji. Untuk mencapai lokasi melempar jumrah, para tamu Allah ini harus menempuh jarak 4,5 kilometer. Padahal, jarak yang harus dilalui dalam ritual itu sendiri rata-rata mencapai sembilan kilometer [baca: Sengsara di Rumah Allah].

Bukan hanya uang rakyat yang digerogot para pelaku kejahatan, harta karun terpendam di lautan juga diincar. Indonesia memang tersohor sebagai Negeri Maritim dengan letak geografis yang sangat strategis, yakni di jalur persimpangan perniagaan dunia. Tidak mengherankan, jika lautan Nusantara banyak menyimpan harta karun dari kapal-kapal abad lampau yang karam. Seperti emas, keramik kuno, atau benda berharga lainnya.

Tengok saja Kota Belitung, Provinsi Bangka Belitung. Perairan Bangka Belitung pun strategis karena bertetangga dengan Selat Malaka. Sejak beberapa abad silam, bahkan ribuan tahun lampau selat ini merupakan salah satu jalur laut tersibuk di dunia. Lantaran itulah, sekitar perairan tersebut, tepatnya di dasar laut yang diyakini menyimpan banyak harta karun.

Wajar saja jika nama-nama besar pemburu harta karun dunia, seperti Michael Hatcher dan Tilman Walterfang dikaitkan dengan perburuan harta karun di perairan itu. Hatcher, seorang pemburu harta karun kelas kakap dari Autralia yang berhasil mengangkat lebih dari 400 ribu keramik dari Dinasti Ching dan membawanya terbang ke balai lelang di Jerman. Hatcher menangguk untung sekitar 6,5 juta mark Jerman atau setara Rp 32 miliar. Sementara pemerintah Indonesia hanya kebagian 1.400 keping keramik dan Rp 4,2 miliar.

Sedangkan Tilman Walterfang. Seorang warga Jerman disebut-sebut mengeruk harta karun Kapal Tang Cargo hampir 50 ribu keping artefak. Umumnya berupa keramik asal abad IX Masehi. Nilainya ditaksir mencapai US$ 40 juta. Ironisnya, sebagai pemilik sah, Indonesia hanya kebagian lima persennya saja atau sekitar Rp 22 miliar. Itu pun setelah melalui negosiasi alot.

Eksplorasi harta karun juga dilangsungkan di perairan Cirebon, Jawa Barat. Pengangkatan ini resmi diketahui pihak pemerintah. Kabarnya harta karun itu berasal dari muatan kapal kargo abad 10 Masehi. Kapal itu tenggelam dalam perjalanan dari Kerajaan Sriwijaya menuju Singosari. Hasil survei menunjukkan, kapal itu membawa puluhan ribu keramik kuno dan sejumlah lempeng emas. Nilainya ditaksir mencapai US$ 24 juta atau setara Rp 225 miliar.

Pengangkatan harta karun secara ilegal itu telah merugikan negara triliunan rupiah. Padahal, harta terpendam itu berada di wilayah kekuasaan Indonesia. Berapa pun nilai ekonomi dan sejarahnya, tetap itu milik negara [baca: Mencari Jurus Ampuh Menangkal Penjarahan Harta Karun].

Selain harta karun, para nelayan lokal maupun luar negeri juga tertarik dengan ikan-ikan yang berada di perairan Indonesia. Namun, jangan terkecoh dengan penampilan ikan segar yang baru turun dari kapal sehabis melaut. Kuat dugaan, ikan-ikan itu sudah tersentuh formalin sejak dari dalam kapal. Di dalam palka penampungan ikan, nelayan mencampuri ikan hasil tangkapan dengan cairan bernama lain formaldehid. Ini untuk menekan penggunaan es batu agar lebih murah [baca: Di Balik Kenikmatan Ikan Asin].

Zat pengawet mayat itu diduga digunakan oleh produsen ikan asin sejak dua tahun silam. Cairan yang mengandung metanol ini memang biasa dipakai para nelayan untuk menjaga bobot ikan asin. Jika tidak, maka bobot ikan berkurang hingga 60 persen. Sedangkan dengan menggunakan larutan bening itu, bobot yang berkurang akibat pengeringan hanya sekitar 30 persen.

Padahal berdasarkan penelitian Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) Indonesia tahun silam, penggunaan formalin pada ikan dan hasil laut menempati peringkat teratas. Yakni, 66 persen dari total 786 sampel. Sementara mi basah menempati posisi kedua dengan 57 persen. Tahu dan bakso berada di urutan berikutnya yakni 16 persen dan 15 persen.

Adapun pengujian di laboratorium menunjukkan hasil positif untuk hampir seluruh produk ikan asin dari Teluk Jakarta. Di dalam ikan asin kecil seperti jambal dan cumi-cumi, untuk 10 gramnya terdapat lebih dari 1,5 ppm (part per million atau satu per sejuta) formalin. Padahal zat berbahaya dalam tubuh yang berlangsung menahun bisa mengakibatkan gangguan pada sistem pernapasan, gangguan pada ginjal dan hati, sistem reproduksi dan kanker. Sementara gangguan yang ringan adalah rasa terbakar pada tenggorokan dan sakit kepala.

Tak hanya ikan asin, kerang juga tidak luput dari penggunaan zat kimia berbahaya bagi tubuh. Pengolah kerang menggunakan bahan pewarna Rhodamine B yang seharusnya untuk pakaian atau biasa disebut wantek. Tujuannya untuk membuat kerang yang telah dikupas agar tak terlihat pucat. Zat kimia ini akan menumpuk pada tubuh dan pada gilirannya juga meracuni organ dalam, terutama ginjal dan hati.

Selain kasus penggunaan bahan kimia berbahaya pada makanan, pelanggaran lain yang menarik adalah perjudian. Sejak menjabat Kepala Polri, Jenderal Sutanto memberi waktu sepekan kepada setiap kepala kepolisian daerah untuk memberantas judi di wilayah masing-masing. "Kalo enggak mampu, masih banyak pejabat lain yang bisa melaksanakan," ancam Sutanto ketika itu.

Pernyataan mantan Kepala Badan Narkotika Nasional itu segera ditanggapi oleh para bawahannya. Sejumlah tempat judi digerebek, alat-alat judi disita, dan banyak pejudi yang dicokok. Langkah berani polisi itu mendapat sambutan positif dari masyarakat. Tetapi, tidak sedikit kalangan yang mencibir. Pasalnya, kebanyakan tempat-tempat judi yang digerebek adalah tempat judi kelas teri [baca: Lingkaran Setan Perjudian].

Diduga, para bandar judi kakap sengaja menutup usahanya sampai keadaan aman. Ketua Presidium Indonesia Police Watch Neta S. Pane menyatakan, menutup usaha atau tiarap--istilah pejudi--merupakan kebiasaan mereka saat mendengar ada pergantian pejabat Polri. Uang panas yang berputar di meja judi untuk daerah Jakarta saja diprediksi sekurangnya Rp 40 triliun per tahun. Jumlah itu tiga kali lipat Anggaran Pembangunan Provinsi DKI Jakarta. Ini hanya Jakarta, belum termasuk kota-kota besar lain di Nusantara.

Setidaknya ada 100 lokasi judi dari super elite hingga kelas pinggiran yang tersebar di Jakarta Barat, Jakarta Pusat, Jakarta Utara, dan Jakarta Timur. Tempat-tempat judi populer yang dikenal masyarakat antara lain seperti Kalijodo, Jakbar, Pancoran, Jaksel dan Batutulis, Jakpus. Itu untuk judi di kalangan masyarakat bawah. Sedangkan para pejudi elite disebut-sebut bermarkas di lantai tiga sebuah pusat perbelanjaan di Mangga Dua dan sebuah bangunan kuno di Jalan Kalibesar Nomor 11 di kawasan Kota, Jakbar.

Berbagai kasus sepanjang tahun 2005 itu memang sangat memberatkan bagi Indonesia yang belum keluar dari krisis multidimensional ini. Walau demikian, daftar panjang pelanggaran hukum itu diharapkan berbuah hikmah dan pelajaran berharga. Dengan begitu, tahun-tahun mendatang menjadi lebih baik dari sebelumnya.(BOG/Tim Sigi SCTV)

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.