Sukses

Warga Aceh Mendambakan Rumah

Setahun pascabencana, sedikitnya ada 16 ribu rumah permanen telah dibangun untuk para pengungsi. Namun angka itu tentu masih jauh dari mencukupi karena amukan Tsunami membuat 500 ribu orang kehilangan tempat tinggal.

Liputan6.com, Banda Aceh: Setahun silam, bencana paling dahsyat di dunia telah mengubah peradaban Serambi Mekah. Gempa disusul Tsunami pada 26 Desember 2004 telah meluluhlantakkan daerah sepanjang 800 kilometer garis pantai Aceh. Lebih dari 130 ribu orang tewas dihempaskan Tsunami dan 37 ribu lainnya hilang. Sedikitnya 500 ribu warga kehilangan tempat tinggal.

Bencana telah berlalu. Di tengah bayang-bayang kepiluan, Bumi Serambi Mekah terus mempercantik diri. Roda perekonomian mulai berjalan. Sejumlah gedung dan sarana umum ditata. Pelan tapi pasti, provinsi paling barat ini terus berbenah. Namun membangun kembali Nanggroe Aceh Darussalam bukan pekerjaan mudah. Beragam persoalan terus bermunculan.

Penelusuran tim Sigi, baru-baru ini, mendapati masih ada sekitar 67 ribu pengungsi di titik pengungsian seperti, Mataie, Lambaro, dan Kompleks Universitas Syiah Kuala, Kota Banda Aceh. Kondisi mereka begitu memprihatinkan. Tenda-tenda sudah mulai kumal dan kusut. Selain kondisi lingkungan yang tak sehat, fasilitas juga sangat serba terbatas.

Jemu. Begitulah yang mungkin dirasakan para pengungsi selama setahun hidup di tenda. Wajar bila mereka tak betah lagi. Mereka ingin hidup normal. Memiliki rumah sederhana adalah impian yang tidak tahu kapan bisa didapatkan. Mimpi memang tak selamanya harus terwujud. Pasalnya "angin surga" untuk dibikinkan rumah hingga kini belum juga terealisasi. "Akan dibikinkan rumah di kampung," kata penghuni barak penuh harap.

Hingga kini, sedikitnya 16 ribu lebih rumah permanen bagi para pengungsi telah dibangun. Biaya pembangunan diperoleh atas bantuan sosial dari lembaga swasta, badan usaha milik negara dan juga para dermawan. Akan tetapi, angka itu jelas masih jauh dari mencukupi. Sebab, ada 500 ribu warga Tanah Rencong kehilangan rumah.

Persoalan lainnya adalah gaji pejabat Badan Rekonstruksi dan Rehabilitasi (BRR). Setelah enam bulan bekerja sedikitnya Rp 110 miliar telah habis untuk belanja para pegawai. Padahal, belanja barang yang langsung menyentuh kebutuhan pengungsi dan pembangunan yang baru cair tidak mencapai seperempat dari angka tersebut, yakni sekitar Rp 25 miliar. Suatu perbandingan yang mencengangkan.

Tak aneh, bila kemudian muncul kritik menanggapi gaji pegawai BRR yang fantastis itu. Analisis Gerakan Antikorupsi (Gerak), misalnya, menunjukkan penghasilan kepala BRR sebesar Rp 75 juta lebih tinggi dibanding gaji presiden yang sebesar Rp 62,7 juta per bulan. Bahkan gaji ketua DPR tak ada separuhnya. "Ini tidak sepadan," kata Koordinator Gerak Akhiruddin Mahjuddin.

Sontak, Kepala BRR Kuntoro Mangkusubroto langsung membela diri. Walau demikian, Kuntoro mengaku gajinya lebih besar dengan pejabat pemerintah yang lainnya. "Perlu diingat para dirjen [direktur jenderal] dan direktur punya tunjangan lain," ucap dia.

Persoalan tak berhenti sampai di sini. Di luar soal jumlah yang jauh dari mencukupi, ternyata banyak ditemukan kasus rumah tak layak huni. Akibatnya, warga enggan menempati rumah proyekan itu. Pasalnya, banyak rumah dibangun asal-asalan. Kondisi ini tampak jelas di Desa Lamsie Daya, Darul Imarah, Banda Aceh.

Pemandangan serupa terlihat di Desa Lamnga, Kecamatan Baitussalam, Kabupaten Aceh Besar. Sebagian besar rumah yang menghabiskan duit Rp 22 juta per unit ini sudah retak-retak. Padahal belum pernah diinjak sekali pun oleh para pengungsi. Tak hanya itu, kayu yang dipakai untuk membangun sebanyak 134 unit rumah tersebut ternyata dari kayu lapuk. Adapun sanitasi dibuat asal-asalan.

Nasib berbeda dialami penghuni perumahan di Desa Lamujong di kecamatan yang sama. Lantaran lembaga swadaya masyarakat yang membangun hunian ini berduit dan berdedikasi, rumah bantuan yang diterima warga jauh lebih mewah ketimbang di Desa Lamnga. Di sini, setiap rumah dilengkapi dua kamar tidur dan lantainya keramik. Kualitas bangunan ini sekelas perumahan mewah.

Perbedaan standar rumah yang kelewat jauh ini mestinya tak harus terjadi. Namun mengapa bisa lolos dari pengawasan BRR. Dan bukan tak mungkin, jika di kemudian hari memunculkan masalah baru. Termasuk kecemburuan dan juga kesenjangan sosial sesama korban Tsunami. "Paling tidak harus memberikan standar mutu minimal dan ukuran minimal," kata Sekretaris Aceh Recovery Forum Saifudin Batasyam.

Lebih mengherankan adalah yang terjadi di Desa Panekai, Kecamatan Sukajaya, Kota Sabang di Pulau We. LSM Indonesia-Jerman (FIG) melaporkan, pihaknya sudah membangun 200 unit rumah untuk pengungsi. Kendati begitu, di tanah lapang yang disebut telah dibangun rumah bagi pengungsi ini kosong melompong. Hanya ada satu rumah. Itu juga belum rampung.

M. Syarif Urung, Koordiator Pengungsi Pasir Putih mengatakan, FIG memang sedang membangun 22 rumah di salah satu bukit di daerahnya. Rumah itu baru sebatas fondasi dan tak tahu kapan akan selesai. "Lantai, pintu dan juga jendela belum ada," ungkap Syarif.

Laporan FIG yang juga belum ada bukti adalah soal pembangunan gedung sekolah. Mereka mengklaim telah mendirikan lima unit sekolah di Sabang. Lagi-lagi laporan tinggal laporan. Tak ada bangunan yang disebutkan FIG. Pun demikian dengan pembuatan perahu. Saat tim Sigi menelisik, bukti kerja FIG tak ada.

Di Sekolah Menengah Pertama 3 Sabang, misalnya. Bantuan FIG baru berupa pengecatan tembok, perbaikan atap, pengadaan kursi dan bangku. Sisanya sebanyak 12 item belum terealisasi. Demikian juga di Sekolah Dasar Negeri 15 Sabang. FIG belum menggelontorkan bantuan sama sekali. Memang ada dua gedung yang sedang dibangun, tapi itu proyek Dinas Pendidikan setempat. "Sangat tidak sesuai dengan uang yang mereka [FIG] keluarkan sebesar dua juta euro," kata Bambang Antariksa, seorang aktivis Gerak.

Saat dikonfirmasi ke FIG, diperoleh informasi, tiga dari lima stafnya sudah tidak bekerja di Sabang. Sedangkan Direktur FIG Verenna, belakangan diketahui sedang mempertanggungjawabkan laporan keuangan di Jerman. "Itu sebagai pelatihan kita sebagai tukang karena di Sabang masih belum familiar bahan bangunan dari batako," kata Asisten Direktur FIG Edrianus Ediandoko.

"Kita juga belum memperoleh surat izin membangun," ungkap lelaki berambut gondrong itu. Pria yang belum genap tiga bulan bekerja ini mengaku tidak hafal tentang berapa dana yang sudah dihabiskan untuk proyek-proyek Aceh. Yang dia tahu, proyek bantuan korban Tsunami harus berlanjut dan karenanya itulah dia mau bergabung dengan FIG.

Di lain tempat, warga yang diwajibkan membayar uang Rp 4,8 juta oleh LSM Aceh Relief. Dalihnya untuk mengganti kavling tanah lokasi rumah bantuan yang akan diterima warga. Kasus ini terjadi di kawasan pengungsi Cot Madi, Aceh Besar. Mereka bingung. "Kenapa harus bayar?" kata salah satu penghuni rumah bikinan Aceh Relief.

Menanggapi kasus ini, aktivis Aceh Relief mengatakan, duit warga itu untuk membayar tanah. "Rumahnya gratis hanya tanah tidak gratis," kata dia. Sementara Kepala BRR Kuntoro mengatakan, pembelian tanah yang dibebankan kepada pengungsi sepenuhnya inisiatif LSM. Dia tak bisa melarang. "Karena pemerintah belum bisa menyediakan tanah yang banyak bagi pengungsi," ungkap Kuntoro.

Suara miring juga diteriakkan seorang kontraktor kepada tim Sigi. Kali ini BRR yang disorot. Sang kontraktor mengaku tak mungkin mendapat proyek dari BRR jika tidak memberikan bayaran 10 persen kepada pemberi proyek yang dikenal sebagai satuan kerja lembaga ini. "Kita harus menyetor dulu pada oknum yang mengelola," kata seorang kontraktor yang tak mau disebut namanya itu. Lagi-lagi Kuntoro membela diri. "Silahkan laporkan ke saya. Kami punya satuan antikorupsi di sini [BRR]," tegas Kuntoro.

Setahun setelah "monster laut" itu menghantam, seharusnya tidak lagi ada tangis terdengar di Tanah Aceh. Setelah kebutuhan pangan, perumahan yang nyaman sudah sepatutnya diterima para korban yang selamat. BRR memang harus bergerak cepat. Dengan demikian, seluruh penghuni barak yang kumuh itu mendapatkan apa yang mereka idam-idamkan: rumah.(JUM/Tim Sigi)

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

    Video Terkini