Sukses

Mencuci Kaki Sang Proklamator

Fraksi PDI Perjuangan mendesak sejumlah ketetapan MPRS yang mendiskreditkan Bung Karno dicabut. Mayoritas fraksi dalam ST MPR menolak meski sepakat tak ada dosa turunan bagi keluarga PKI.

Liputan6.com, Jakarta: "Jangan sekali-sekali melupakan sejarah," begitulah gelegar suara Sukarno ketika membacakan pidato kenegaraan yang terakhir di depan Istana Merdeka, Jakarta Pusat, 17 Agustus 1966. Pidato Singa Podium itu bertepatan dengan peringatan ke-21 proklamasi kemerdekaan RI yang dikemundangkannya bersama Mohammad Hatta. Saat itu, Putra Sang Fajar tengah memasuki senja kekuasaan.

Boleh jadi, kalimat "jangan sekali-sekali melupakan sejarah", itulah yang mungkin mendasari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan untuk merehabilitasi atau memulihkan nama baik Presiden Pertama RI yang juga ayah kandung Megawati Sukarnoputri, sang ketua umum partai. Ini tertuang dalam Rapat Kerja Nasional VII PDI Perjuangan yang berlangsung di Hotel Sheraton Bandara, Tangerang, Banten, dua hari menjelang Sidang Tahunan MPR.

Kalangan Banteng Bulat menggugat sejumlah Ketetapan MPRS antara tahun 1966 hingga 1967. Di antaranya, Tap MPRS Nomor IX/1966 yang melegitimasi Soeharto sebagai pemegang Surat Perintah 11 Maret 1966 atau Supersemar, Tap MPRS No XXV/1966 mengenai pembubaran PKI dan larangan menyebarkan serta mengembangkan komunisme, dan Tap MPRS No XXXIII/1967 tentang pencabutan kekuasaan pemerintahan negara dari Presiden Sukarno. Bola panas itu kemudian digulirkan dalam Sidang Tahunan MPR pada Jumat pekan silam. Fraksi PDIP mengusulkan agar sejumlah ketetapan MPRS yang berkaitan dengan nama baik Bung Karno dicabut.

PDIP memang memandang pemulihan atau rehabilitasi Sukarno sangat penting, apalagi putri pertama Bung Karno sedang berkuasa. Terutama Pasal 6 TAP MPRS XXXIII/1967 yang berbunyi penyelesaian persoalan hukum selanjutnya yang menyangkut Presiden Sukarno diserahkan kepada Pejabat Presiden Soeharto. Menurut anggota F-PDIP Permadi, Tap MPRS itu adalah pemasungan terhadap Bung Karno. Permadi beralasan, Pasal 6 itu intinya menyebutkan Pejabat Presiden Soeharto masih mempunyai kewajiban tindakan hukum terhadap Bung Karno. "[Namun] sampai hari ini belum dilakukan. Jadi itu masih jadi kabut. Status BK [Bung Karno] jadi terkatung-katung," ucap Permadi.

Sementara Ketua Fraksi F-PDIP MPR Arifin Panigoro bersama delapan fungsionaris lainnya, di antaranya Teras Narang, Permadi, Sukowaluyo Mintorahardjo, Jacob Tobing, kepada wartawan menyatakan tekad fraksi mereka untuk terus memperjuangkan pencabutan Tap MPRS tentang pelarangan marxisme dan komunisme. "Masih ada cap bagi orang-orang dan keluarganya yang terlibat PKI mendapat perlakuan yang tidak adil sehingga tidak bisa ikut Pemilu," kata Sukowaluyo.

Lain lagi pandangan pengamat politik Salim Said. Dia menilai, niat untuk mencabut Tap MPRS tersebut dalam ST MPR kali ini hanya bertujuan politis. Terutama untuk kepentingan Pemilihan Umum 2004. "Jika pencabutan itu dilakukan, diprediksi akan melecut masalah sosial baru yang hanya membuang-buang energi saja," kata Salim. Menurut Salim, yang berkepentingan dengan isu pencabutan ketetapan tersebut adalah PDI Perjuangan. "PDIP berharap orang-orang dari subkultur yang dulu memilih PKI [Partai Komunis Indonesia] akan bersimpati pada PDIP, yang memperjuangkan pencabutan Tap itu," tambah Salim.

Polemik itu memang masih menggulir. Namun, Ahad kemarin atau hari ketiga ST MPR, sikap F-PDIP soal rehabilitasi mantan Presiden Sukarno dan pelarangan paham komunis akhirnya melunak. Mereka tak lagi ngotot meminta Tap MPRS No XXXIII/1967 dan Tap MPRS XXV/1966 dicabut. Itu terjadi setelah mayoritas fraksi di Komisi B menolak permintaan tersebut. Alasannya kedua Tap itu sudah menjadi bagian sejarah bangsa. Selain soal Tap MPRS No XXXIII/1967 dan Tap MPRS XXV/1966, Komisi B juga menyepakati tak akan ada dosa politik warisan buat anak dan cucu bekas aktivis Partai Komunis Indonesia. Hak-hak asasi mereka tak akan dikotomi. Keputusan lain dari rapat pertama Komisi B adalah merehabilitasi nama Bung Karno.

Menyikapi kompromi tersebut, Permadi mengatakan, biar bagaimanapun PDIP harus realistis. Sikap lunak juga dimaksudkan untuk menghindari voting. "Yang dilawan 10 fraksi, ya, kalau ngotot pasti voting. Kalau voting pasti ada yang kalah lantas sakit hati," jelas Permadi. Menurut Permadi, itulah yang dihindari F-PDIP.

Untuk menatap masa depan, sejarah memang boleh ditinggalkan. Namun, alangkah bijaknya bila tak dilupakan, seperti pesan Bung Karno. Apalagi, peralihan kekuasaan dari Sukarno ke Soeharto memang masih menimbulkan luka mendalam bagi sebagian masyarakat Indonesia. Kejatuhan Sukarno juga mendapat perhatian besar para peneliti Indonesia baik lokal maupun asing. Banyak teori yang muncul menganalisis peristiwa politik tersebut.

Peristiwa tersebut dimulai dengan munculnya Gerakan 30 September 1965 (G30S) yang memakan korban jiwa enam perwira tinggi dan seorang perwira pertama TNI Angkatan Darat. Kematian tujuh Pahlawan Revolusi itu kemudian memicu pembunuhan massal terhadap massa pendukung PKI di berbagai daerah. Hingga saat ini, data mengenai korban tewas akibat huru-hara nasional itu masih simpang siur, sekitar 500 ribu hingga tiga juta orang.

Kekacauan itu berujung dengan keluarnya Surat Perintah 11 Maret 1966 (Supersemar)--hingga saat ini dokumen otentik tersebut belum ditemukan. Saat itu, Sukarno selaku Panglima Tertinggi Angkatan Bersenjata memberi "mandat" kepada Menteri Panglima Angkatan Darat Letnan Jenderal TNI Soeharto untuk memulihkan keamanan dan politik yang sangat kacau. Soeharto tak menyia-nyiakan kesempatan. Dia segera membubarkan PKI dan menggelar operasi penumpasan terhadap para anggota maupun simpatisan PKI di Tanah Air.

Ini berlanjut dengan ditolaknya laporan pertanggungjawaban Presiden Sukarno yang berjudul Nawaksara beserta Pelengkap Nawaksara oleh MPRS yang diketuai Jenderal TNI Abdul Haris Nasution pada 5 Juli 1966. Founding fathers ini akhirnya harus menyerahkan kekuasaan kepada Pejabat Presiden Soeharto atau pemegang Supersemar yang notabene dikeluarkan olehnya. Sukarno tumbang. Singa Podium ini kemudian diasingkan hingga akhir hayatnya tanpa proses hukum seperti diamanatkan MPRS. Ketika masih berkuasa, Soeharto kerap beralasan tak mengadili Pemimpin Besar Revolusi itu lantaran menganut falsafah Jawa: "Mikul Duwur, Mendem Jero".

Kendati demikian, seiring tumbangnya Orde Baru, sejumlah kalangan mulai mempertanyakan kebenaran sejarah seputar pendongkelan kekuasaan Sukarno. Terutama penulisan sejarah ketika Orde Baru berkuasa. Seolah-olah Bung Karno-lah yang bertanggung jawab atas Gerakan 30 September 1965 yang memakan korban jiwa enam perwira tinggi dan seorang perwira pertama TNI Angkatan Darat. Kematian tujuh Pahlawan Revolusi itu kemudian memicu pembunuhan massal terhadap massa pendukung PKI.

Tuntutan pelurusan sejarah memang bukan tak mendasar. Menurut sejarawan Asvi Warman Adam, pembantaian masal atau kejahatan atas kemanusiaan itu masih dirasa kurang cukup. Sebanyak 10 ribu orang termasuk orang tua dan anak-anak dibuang ke Pulau Buru selama 10 tahun--1969-1979--tanpa pengadilan. Tapi, rezim Orba masih belum puas. Buktinya, ribuan mantan tahanan politik itu masih harus rutin melapor selama bertahun-tahun. Itu pun masih dianggap kurang, anak-anak dan cucu-cucu mereka dinyatakan tidak "bersih lingkungan". Artinya, mereka tak bisa bekerja sebagai pegawai negeri, militer, polisi, guru dan jabatan strategis lain di masyarakat.

Lebih jauh Asvi mengungkapkan, sampai usia renta (60 tahun ke atas) mereka masih disakiti. Pemerintah Orba juga tak membolehkan eks tapol memiliki kartu tanda penduduk seumur hidup. Nasib yang dialami Nani Nuraini, misalnya. Dengan perjuangan berat, mantan penari Istana Cipanas yang berusia 62 tahun ini akhirnya mendapat KTP seumur hidup. Ini berdasarkan keputusan Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta, beberapa waktu silam. Nani sempat ditahan selama tujuh tahun gara-gara pernah menari pada ulang tahun PKI, Juni 1965. Nasib Nani mungkin cukup beruntung mengingat ribuan eks tapol lainnya tak dapat mengecap kesempatan tersebut.

Asvi mengingatkan, hingga saat ini, stigma buruk terhadap orang-orang yang dituduh berideologi kiri masih dilestarikan. Keluarga yang dituduh komunis, meski banyak di antara mereka tak tahu-menahu soal ideologi kiri, akan terkucil di masyarakat. Bahkan, sebuah pernikahan bisa batal bila diketahui seorang di antara mempelai ternyata mempunyai orang tua atau keluarga yang terlibat G30S.

Ribuan eks tapol beserta keluarga mereka mungkin tak tahu ideologi komunis. Mereka juga tak tahu Indonesia sempat terseret pusaran perang dingin antara blok barat dan timur. Kurun 1960-an, Indonesia di bawah Sukarno memang memainkan peranan penting dalam kancah perang dingin antara blok barat pimpinan Amerika Serikat dan blok timur yang terdiri dari negara-negara berpaham sosialis atau komunis. Kepemimpinan Indonesia tampak saat menggalang kekuatan internasional dalam Konferensi Asia Afrika dan Gerakan Non-Blok maupun New Emerging Forces (NEFO) sebagai garis politiknya untuk menghadapi imperialisme. Bagi AS, sikap Sukarno terlalu kekiri-kirian.

Lantaran itulah, Pusat Intelijen AS (CIA) merancang sejumlah upaya mendongkel kekuasaan Sukarno. Ini dibuktikan dengan publikasi dokumen operasi CIA rentang tahun 1964-1966. Dokumen yang juga diterjemahkan dan disebarluaskan oleh penerbit Hasta Mitra--berjudul Dokumen CIA, Melacak Penggulingan Sukarno dan Konspirasi G30S-1965--ini mengurai keterlibatan AS untuk menjatuhkan Sukarno dalam rangka ofensif Perang Dingin. Publikasi dokumen CIA itu akhirnya memancing polemik yang berujung niat sejumlah sejarawan meluruskan sejarah nasional. Terutama menjernihkan status Sukarno yang selama ini diembuskan rezim Orba bertanggung jawab secara tidak langsung atas tragedi nasional yang dimulai sejak 30 September 1965 hingga 1967.

Usulan merehabilitasi nama baik Bung Karno memang kerap kali disuarakan keluarga Sang Proklamator. Terakhir, sekitar tahun 2001, Rachmawati Sukarnoputri sempat mengusulkan sejumlah ketetapan MPRS yang dinilai mendiskreditkan ayahnya itu dicabut. Meski Presiden Abdurrahman Wahid setuju, tapi keputusan itu tak sampai dibahas di MPR. Apalagi Gus Dur--begitu Abdurrahman kerap disapa--keburu terjungkal.

Jauh sebelumnya, sejumlah tokoh yang dekat dengan Sukarno pernah mengusulkan rehabilitasi sekaligus rekonsiliasi nasional. Mendiang Manai Sophiaan, misalnya. Dalam bukunya yang bertajuk Kehormatan bagi yang Berhak terbitan tahun 1994, ayah Sophan Sophiaan ini justru mengungkapkan bahwa Sukarno-lah yang menggagalkan gerakan lebih lanjut dari sayap militer G30S/PKI.

Ketika itu, menurut Manai, Presiden Sukarno mengeluarkan perintah lisan sebagai Panglima Tertinggi kepada Brigadir Jenderal Soeparjo, pimpinan militer G30S di Bandar Udara Halim Perdanakusuma, Jakarta Timur, 1 Oktober 1965. Perintah lisan inilah yang kemudian memudahkan pasukan Komando Cadangan Strategis TNI AD pimpinan Mayor Jenderal TNI Soeharto dapat menghancurkan gerakan itu tanpa menemui perlawanan sengit.

Terlepas dari itu, sebenarnya, Soeharto saat masa berkuasa telah memberikan pengakuan formal kepada Bung Karno sebagai proklamator bersama Bung Hatta. Soeharto juga mengubah nama Bandar Udara Internasional Cengkareng menjadi Bandara Sukarno-Hatta. Termasuk meresmikan makam Bung Karno di Blitar, Jawa Timur, pada 21 Juni 1979. Begitulah gaya Soeharto yang lebih mengedepankan simbolisme.

Kini, muncul pertanyaan yang cukup menggelitik. Benarkah PDIP tulus "mencuci" kaki atau meluruskan jejak sejarah Sukarno?(ANS)

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.