Sukses

Apa Salahnya Syariat Islam di Aceh?

Syariat Islam mulai diberlakukan di Aceh bertepatan 1 Muharam 1424 Hijriah. Sejumlah masalah menghadang, dari qanun yang belum lengkap hingga perbedaan tafsir berdasarkan mahzab.

Liputan6.com, Jakarta: Hari Senin, 3 Maret 2003, menandai sebuah peristiwa besar di Aceh. Lapangan Blang Padang di Banda Aceh menjadi saksi. Tepat di Tahun Baru Islam, 1 Muharam 1424 Hijriah, pemerintah memulai pemberlakuan hukum Syariat Islam di Bumi Serambi Mekah. Sebuah peraturan yang sebenarnya dicanangkan sejak tahun silam itu lantas menjadi kontroversi. "Saya anggap [pemberlakuan Syariat Islam di Aceh] terburu-buru," kata praktisi hukum Adnan Buyung Nasution dalam Debat Minggu Ini yang dipandu reporter SCTV Arief Suditomo, Rabu (5/3) malam. Acara bertajuk "Hukum Syariat di Aceh, Sudah Siapkah?" itu juga dihadiri Hakim Agung Bidang Agama Mahkamah Agung Syamsuhadi, ahli hukum pidana Universitas Indonesia Rudy Satrio, dan Wakil Ketua Bidang Pendidikan Agama Departemen Agama Muchtar Zarkasyi. Sementara di ujung telepon ada Kepala Dinas Syariat Islam Nanggroe Aceh Darussalam Alyasa` Abubakar.

Menurut Buyung, pemberlakuan Syariat Islam di Aceh memang sebuah perlakuan khusus. Untuk itu diperlukan kesiapan segenap perangkat pendukungnya. Dalam bahasa Buyung, Syariat Islam di Aceh harus benar-benar disesuaikan dengan perkembangan zaman.

Sebagai kelanjutan pemberlakuan Syariat Islam di Aceh, pemerintah memang meresmikan Mahkamah Syariat di tingkat pertama (setara pengadilan negeri) dan banding (pengadilan tinggi). Dengan pembentukan Mahkamah Syariat, seluruh lembaga pengadilan agama di Tanah Rencong berubah. Pengadilan tinggi agama pada tingkat provinsi akan berubah menjadi Mahkamah Syariat provinsi, sedangkan 19 Pengadilan Agama tingkat kabupaten dan kotamadya berubah menjadi Mahkamah Syariat. Peraturan hukum syariat atau qanun akan berlaku di Aceh untuk hal-hal yang berkaitan dengan penyelenggaraan Mahkamah Syariat [baca: Mahkamah Syariat NAD Diresmikan].

Kewenangan Mahkamah Syariat meliputi sengketa-sengketa di bidang perdata keluarga, perdata harta benda, perdagangan, dan pidana (jinayah) di kalangan umat Islam. Sejauh ini, pemerintah daerah setempat sudah menyerahkan sepuluh qanun kepada DPRD untuk disahkan. Dua di antaranya yang sudah disahkan adalah qanun Nomor 10 Tahun 2002 tentang Peradilan Syariat Islam dan qanun Nomor 11 tentang Pelaksanaan Syariat Islam Bidang Aqidah, Ibadah, dan Syiar Islam.

Buyung melanjutkan, kesan terburu-buru menyangkut pemberlakuan hukum syariat di Aceh terlihat jelas manakala belum ada aturan yang menyebutkan pembentukan polisi dan jaksa syariat sebagai sumber daya. "Jadi harus disempurnakan lagi," kata Buyung. Namun, menurut Syamsuhadi, sebagai permulaan yang dikarenakan belum ada aturannya, pemerintah akan menggunakan hukum nasional yang selama ini berlaku, seperti Kitab Undang-undang Hukum Pidana. Dalam penanganan kasus pun, polisi dan jaksa tetap berperan sebagai penyidik dan penuntut seperti halnya pada pengadilan biasa.

Namun demikian, keadaan di lapangan, menurut Alyasa` Abubakar tak setajam perdebatan malam itu. Dari ujung telepon, dia mengatakan bahwa rakyat Aceh sangat menerima pemberlakuan Syariat Islam dengan segala perlengkapan dan pendukung yang serba minim itu. Soalnya, memang tak bisa dilakukan secara sekaligus alias setahap demi setahap. Yang jelas, Abubakar menambahkan, sambil jalan, qanun demi qanun dibuat dan dilengkapi. "Warga cuma berharap Syariat Islam dilaksanakan dengan sungguh-sungguh," kata dia.

Sementara mengenai kemungkinan diberlakukannya hukum qishas--sebuah ganjaran bagi pelaku kriminal berdasarkan perbuatannya: kalau mencuri, tangannya akan dipotong--rajam, menurut Abubakar, boleh jadi masyarakat Aceh akan menerima walau tetap berharap hukuman tersebut tidak betul-betul dilaksanakan. Namun begitu, persoalan menyangkut qishas akan dibahas menyusul. Sejauh ini, Abubakar menambahkan, pemda dan DPRD Aceh baru membicarakan hukum untuk kejahatan-kejahatan yang lebih besar.

Soal qishas ini, Buyung menolak keras. Menurut dia, Syariat Islam di Aceh tetap diharuskan mengikuti perkembangan di dunia, terutama menyangkut hak asasi manusia. "Syariat Islam jangan ketinggalan dengan nilai-nilai HAM yang berlaku universal," ujar Buyung. Protes Buyung ternyata disetujui Abubakar. "Makanya hukuman mati tak akan menjadi hukuman yang banyak terjadi di Aceh," kata Abubakar. Terlebih lagi, untuk memutuskan sebuah perkara yang mendapat ancaman hukuman rajam, seperti berzinah, dibutuhkan pembuktian yang sangat sulit.

"Kita tetap akan tulis qishas dalam qanun, tapi apa betul hakim akan menjatuhkan itu, saya yakin tak ada. Sebab ini sangat berat buat terwujud di masyarakat," kata Abubakar. Namun, permasalahannya adalah jika suatu saat ada tindak kejahatan yang dilakukan seseorang dengan bukti dan saksi yang kuat. "Kalau begitu, saya setuju qishas," Abubakar melanjutkan.

Menurut Abubakar, qanun atau bisa juga disebut aturan main Syariat Islam di Aceh dibuat anggota DPRD bersama staf ahli keagamaan. Ini dimaksudkan agar tidak ada pemberian tafsir yang semena-mena, apalagi dikaitkan dengan kepentingan politik suatu golongan. Permasalahannya adalah umat Islam, termasuk di Aceh menganut bermacam-macam mazhab. Pada akhirnya, keanekaragaman ini akan membuat proses pembuatan qanun terhambat. Penganut mazhab tertentu akan menginterpretasikan suatu pasal berdasarkan pemahaman mereka akan mazhab atau pahamnya. Contoh kasus, seorang hakim penganut mahzab A dan hakim lainnya yang mengikuti mazhab B belum tentu mengambil keputusan sama dalam kasus serupa. Bahkan, bila semua faktor, seperti bukti-bukti dan keterangan saksi sama pula.

Untuk hal ini, Rudy Satrio mengatakan, agar hal itu tak terjadi, diperlukan sebuah aturan yang pasti. Semisal di dalam peradilan umum ada saksi ahli. Menyoal mahzab, dia menganjurkan agar ada satu paham yang dijadikan patokan. Namun menurut Abubakar, Syariat Islam yang berlaku di Aceh adalah yang sudah ditulis di qanun, bukan mazhab. "Tafsir terhadap qanun berbeda dengan tafsir mazhab," kata Abubakar. Menurut Muchtar, perbedaan tafsir hanya terjadi lantaran belum dilaksanakan. Pendeknya, kalau persidangan menggunakan Syariat Islam sudah digelar akan menjadi biasa saja.

"Contohnya perceraian. Sekali suami bilang cerai itu sudah jatuh talak. Tapi menurut UU Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 kan tidak begitu. Perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang di pengadilan agama," kata Muchtar. Rudy menambahkan, dirinya senada dengan langkah pemerintah agar di masa transisi ini, terutama buat mengisi kekosongan hukum menggunakan hukum positif yang ada.

Abubakar bilang, semua persoalan menyangkut Syariat Islam di Aceh tetap akan didiskusikan dulu, termasuk soal qishas dan mazhab. Tentunya dengan melibatkan semua unsur di Aceh, bahkan kalau bisa ulama di seluruh Indonesia. "Kalau semua sudah sepakat, baru qanun ditulis. Tentang rajam yang diatur hadist misalnya, di Libia tidak diterapkan. Mungkin juga di Aceh kalau semua sependapat," kata Abubakar lagi.

Menjelang dialog usai, masing-masing sumber menggelontorkan sejumlah pesan. Buyung menyarankan agar masalah sumber daya manusia ditingkatkan. Begitu juga dengan memperhatikan nilai-nilai HAM yang berlaku universal. Sedangkan Syamsuhadi mengatakan, perlu peningkatan wawasan, keterampilan, dan kemampuan penegak hukum Syariat Islam di Aceh. "SDM memang masalah terberat. Sebab lebih dari seratus tahun, sistem hukum kita jauh dari masalah Islam. Jarang universitas yang mengajarkan hukum pidana Islam," kata Rudy.(SID)

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.