Sukses

Menanti Maut di Tangan Algojo

Dalam waktu dekat lima terpidana mati bakal dihadapkan kepada regu tembak. Pemerintah dan MA didesak mengeksekusi para pesakitan kasus narkoba sebagai efek penjeraan.

Liputan6.com, Jakarta: Tidur Sumiasih mungkin tak lelap di selnya. Betapa tidak, ia bersama anak kandungnya, Sugeng, mau tak mau harus menghadapi satu regu tembak dalam hitungan tak sampai satu bulan ke depan. Meski mengaku pasrah, terpidana mati kasus pembunuhan keluarga Letnan Kolonel Marinir Purwanto yang ditolak grasinya ini boleh jadi terguncang. Kompleksitas kejiwaan memang kerap melingkupi sang pesakitan menjelang dicabut nyawanya oleh sang algojo, entah melalui tiang gantungan, peluru tajam, kursi listrik hingga suntikan mati.

Sumiasih memang masih meringkuk di Lembaga Pemasyarakatan Perempuan Kelas II Kebon Sari, Malang, Jawa TImur. Perempuan berusia 55 tahun ini dan anaknya divonis mati karena terbukti membantai Purwanto beserta empat keluarganya di Jalan Dukuh Kupang Timur 24 Surabaya pada 13 Agustus 1988. Selain dibantu Sugeng, Sumiasih juga melibatkan suaminya, Djais Adi Prayitno, dan menantunya Adi Saputro. Terpidana mati Adi adalah anggota kepolisian yang sudah dieksekusi pada 30 November 1998. Sedangkan Djais meninggal di dalam sel LP Porong Pasuruan, Jatim, pada tahun 2001, karena serangan jantung.

Wanita yang menggagas pembunuhan berdasarkan buku fiksi karangan Agatha Christie tersebut sudah dua kali mengajukan grasi. Pertama kepada Presiden Soeharto--presiden saat itu, tapi ditolak pada 28 Juni 1995. Demikian pula grasi kedua yang ditolak Presiden Megawati Sukarnoputri pada 3 Februari 2003. Setelah grasinya ditolak, ia menyurati Presiden Megawati. Dalam surat yang ditulis tangan tersebut, Sumiasih menyatakan siap dieksekusi mati bila itu sebagai upaya penegakan hukum. Dia juga meminta pers mempublikasikan surat tersebut. Akan tetapi, ia berharap Presiden meninjau kembali keputusannya jika di balik penolakan grasi itu ada kepentingan tertentu [baca: Menjelang Eksekusi Mati Sumiasih Menyurati Presiden].

Selain terpidana mati kasus pembunuhan Letkol Purwanto, Megawati juga menolak grasi Suryadi Suwabuwana alias Kumis, Surit bin Abdullah, dan Ayodhya Prasat Cau Bey. Suwabuwana dan Surit adalah terpidana mati dalam kasus pembunuhan di Palembang, Sumatra Selatan. Sedangkan Ayodhya adalah terpidana mati kasus narkotik dan obat-obatan berbahaya. Ayodhya divonis mati karena terbukti membawa heroin seberat 12,29 kilogram pada 1994. Kini, Ayodhya mendekam di LP Medan, Sumatra Utara. Penolakan grasi tersebut tertuang dalam Keputusan Presiden Nomor 20/G, 21/G, 22/G, dan No 24/G Tahun 2003. Keppres itu juga menyebutkan bahwa pertimbangan presiden menolak permohonan grasi karena tidak ada cukup alasan untuk memberi grasi [baca: Keppres Penolakan Grasi Baru Diserahkan Hari Ini].

Dengan penolakan grasi tersebut, pemerintah nampaknya ingin membuktikan komitmen terhadap penegakan hukum. Namun patut disayangkan, kebijakan pemerintahan Megawati itu terkesan lamban dan reaktif belaka. Permasalahan itu mencuat ketika Pengadilan Negeri Tangerang, Banten, kembali menjatuhkan pidana mati terhadap terdakwa pemilik pabrik ekstasi terbesar di Asia, Ang Kim Soei, pada 13 Januari silam. Meski putusan itu disambut sukacita oleh masyarakat dan sejumlah kalangan, mereka juga khawatir eksekusi putusan tersebut tidak akan terlaksana karena masih mungkin dianulir oleh pengadilan yang lebih tinggi [baca: Ang Kim Soei Divonis Mati].

Kekhawatiran berbagai kalangan itu memang cukup beralasan. Menurut Kepala Hubungan Masyarakat PN Tangerang Ade Komarudin, selama kurun waktu 2000 hingga awal 2003, PN Tangerang telah menjatuhkan putusan pidana mati terhadap 20 orang terdakwa kasus narkoba. Di luar jumlah tersebut, terdapat satu terpidana yang dijatuhi pidana seumur hidup yang kemudian di tingkat banding vonisnya berubah menjadi pidana mati.

Lebih jauh Ade mengungkapkan, dari ke-20 terpidana mati kasus narkoba tersebut, kini tinggal 15 perkara yang belum memperoleh putusan yang berkekuatan hukum tetap alias in kracht van bewijs. Sebanyak 13 dari 15 perkara itu di antaranya masih diproses di Mahkamah Agung. Sementara dua perkara lainnya diperiksa di tingkat pengadilan tinggi. Sedangkan, lima perkara sisanya telah berstatus in kracht. Di antara ke-13 terpidana mati yang kasusnya masih diproses di MA tersebut, termasuk pula tiga orang terpidana mati asal Indonesia. Dua di antaranya adalah wanita. Masing-masing adalah Meirika Pranola alias Ola, Rani Andriani alias Melissa, serta Dani Setia Maharwan alias Rapi Mohamad Majid [baca: Jerat Asmara Pengedar Narkoba nan Mematikan].

Di mata masyarakat dan sejumlah kalangan, kenyataan tersebut memang sangat memprihatinkan. Terutama elemen-elemen masyarakat yang peduli dengan pemberantasan narkoba di Tanah Air. Sebut saja, Gerakan Nasional Anti Narkotika (Granat) Gerakan Rakyat Antimadat (Geram). Gemas dengan kenyataan itu, sejumlah aktivis Granat dan Geram berunjuk rasa di depan Gedung Mahkamah Agung, Jakarta Pusat, pada Januari silam. Mereka mendesak MA menolak kasasi para terpidana mati kasus narkoba [baca: MA Didesak Mengeksekusi Terpidana Mati Kasus Narkoba].

Jauh-jauh hari sebelumnya, Badan Narkotika Nasional (BNN) telah berkali-kali mendesak agar para terpidana mati segera dieksekusi [baca: BNN Mendesak 20 Terpidana Mati Narkoba Dieksekusi]. Ini mengingat pada pertengahan 2002 lalu, MA pernah menyelamatkan empat warga Nepal yang telah divonis mati oleh PN Tangerang. Pidana mati bagi empat WNA tersebut oleh MA dianulir menjadi hukuman seumur hidup. Sementara seorang warga Nepal lainnya, Thomas Daniel, dari hukuman seumur hidup menjadi 15 tahun penjara. Putusan bagi kelima terpidana ini telah berstatus in kracht. Empat terpidana mati yang gagal dieksekusi itu adalah Nar Bahadur Tamang, Bala Tamang, Til Bahadur Bahandari, dan Bir Bahadur Gurung [baca: Heroin Ditemukan dalam Perut Orang Nepal].

Pembebasan lima WNA tersebut jelas melecehkan upaya pemberantasan narkoba di Indonesia yang disinyalir sudah mencapai angka tiga juta pemakai. Pemerintah pun bagai kebakaran jenggot. Buktinya, Presiden Megawati sempat melontarkan kritik pedas ke arah MA. Menurut Megawati, kinerja MA masih berlawanan dengan amanat reformasi [baca: Megawati: "Apakah Saudara-Saudara Sanggup Hidup Sederhana"]. Kritik tajam Megawati diamini Jaksa Agung M.A. Rachman. Menurut Rachman, bila MA terus-menerus mengubah vonis terpidana mati kasus narkoba, Kejakgung akan malas mengeksekusi para pelanggar hukum [baca: Rachman Kecewa dengan Kinerja Mahkamah Agung].

Desakan serupa juga disuarakan Kepala BNN Inspektur Jenderal Polisi Togar Sianipar. Dia mengatakan, eksekusi terhadap terpidana mati yang telah berkekuatan hukum tetap memang perlu dilaksanakan. Alasannya, hukuman mati akan menimbulkan efek jera, serta menunjukkan keseriusan pemerintah dalam penegakan hukum. "Kalau hukuman mati tidak dilaksanakan, maka hukuman mati hanya dianggap guyonan saja. Yang penting, kalau memang sudah ada kasus terpidana mati yang berkekuatan hukum tetap segera eksekusi," cetus Togar [baca: Vonis Mati yang Tak Mati-Mati].

Selain melalui lembaga yudikatif, para terpidana mati di Indonesia memang dapat lolos dari eksekusi sang algojo. Hal itu dibenarkan Direktur Jenderal Pemasyarakatan Adi Sujatno. Dia mengatakan, terpidana yang sudah menjalani hukuman selama lima tahun dan dinilai berkelakuan baik, jenis hukumannya akan berubah menjadi pidana biasa, yaitu hukuman menjadi 20 tahun. Jika demikian, seseorang yang semula dipidana mati atau seumur hidup akan bisa mendapatkan remisi. Pendapat senada juga dikatakan ahli hukum pidana dari Universitas Indonesia Indriyanto Seno Adji. Dia mengakui, Indonesia termasuk negara yang jarang melaksanakan eksekusi terhadap terpidana mati. "Eksekusi semestinya tidak boleh terlalu lama setelah putusan itu berkekuatan hukum tetap. Bahkan, untuk terpidana mati kasus narkotika, eksekusi itu harus segera dilaksanakan. Dalam kasus narkotika hukuman mati lebih ditujukan untuk efek penjera," jelas Indriyanto.

Berdasarkan data yang dihimpun situs liputan6.com, hukuman mati di Indonesia mengadopsi Pasal 10 Kitab Undang-undang Hukum Pidana. Dalam pasal ini disebutkan bahwa pidana mati sebagai satu di antara bentuk pidana pokok yang dapat dijatuhkan kepada pelaku makar dan pembunuhan berencana. Vonis tersebut bisa dijatuhkan dalam peradilan umum maupun militer dan berbentuk hukuman tembak sampai mati. Ada sepuluh jenis kejahatan yang terancam hukuman mati, antara lain, perbuatan makar, membunuh Kepala Negara, hingga pembunuhan berencana. Sedangkan perbuatan kriminal di luar KUHP diatur dalam sejumlah undang-undang. Yakni, UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, UU Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika, dan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perpu) Nomor 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme.

Kendati demikian, putusan pidana mati terbilang jarang di Tanah Air. Sejak rezim Orde Baru, terpidana mati yang telah dieksekusi berjumlah 32 orang. Rincinya, delapan orang penjahat kriminal dan 23 lainnya terbukti terlibat pemberontakan Gerakan 30 September 1965 Partai Komunis Indonesia. Seorang lagi divonis mendalangi pembajakan pesawat dan penyerangan kantor polisi di Bandung, Jawa Barat.

Sementara eksekusi terhadap terpidana mati yang terakhir dilakukan adalah terhadap Gerson Pandie dan Frederik Soru pada Mei 2001. Penghuni Lembaga Pemasyarakatan (LP) Kupang, Nusatenggara Timur, itu dihukum mati lantaran terbukti membunuh empat anggota keluarga Pinggak di Pulau Rote pada Februari 1989. Sebaliknya, belum ada seorang pun terpidana kasus narkoba yang dieksekusi selama tujuh tahun terakhir. Tertundanya pelaksanaan hukuman mati juga sempat menyisakan cerita pilu. Pada Maret 2001, Tugiman--terpidana mati yang terlibat pembunuhan keluarga Utomo Kasidi bersama Kartacahyadi pada 1990--ditemukan tewas bunuh diri setelah meminum racun serangga di LP Kedungpane, Semarang, Jawa Tengah. Tugiman dijatuhi hukuman mati sejak tahun 1992.

Kenyataan tersebut mendapat sorotan Ketua Biro Advokasi Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Daniel Panjaitan. Dalam kacamata dia, penundaan eksekusi terhadap terpidana mati yang sudah berkekuatan hukum tetap yang terlalu lama dapat menjadi pelanggaran hak asasi manusia. Sebab, kejiwaan terpidana mati bisa terganggu selama menanti pelaksanaan eksekusi. Apalagi bila pelaksanaan eksekusinya pernah dijadwalkan, namun dibatalkan. Itulah sebabnya, Daniel menyarankan agar eksekusi terhadap narapidana yang dijatuhi hukuman mati, khususnya dalam perkara peredaran gelap narkotika harus segera dilakukan.

Ada yang setuju, ada pula yang tak setuju terhadap eksekusi mati. Komite Pembela Publik untuk Kemanusiaan (KPPK), misalnya. Dalam siaran persnya, baru-baru ini, mereka menolak pelaksanaan eksekusi. Alasannya, kalau memang eksekusi mati hanya untuk membuat jera, mengapa hukuman mati hanya dijatuhkan kepada pengedar narkotika dan para pembunuh berencana. Tentu ini menjadi ironis, menginggat hukuman mati seharusnya juga dijatuhkan kepada para koruptor. Tapi sayangnya, Presiden Megawati malah memberikan jaminan pembebasan hukum kepada koruptor [pemberian Release and Discharge kepada sejumlah obligor--Red] yang menyengsarakan rakyat. Mereka menilai para koruptor sama kejamnya dengan para pengedar narkoba dan pembunuh tersebut.

Semua kalangan pada akhirnya memang hanya dapat menunggu pelaksanaan eksekusi mati tersebut. Bbagi terpidana mati kasus narkoba sangat tergantung goodwill atau niat baik dari MA maupun pemerintah sendiri. Tunggu sajalah.(ANS)

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

    Video Terkini