Sukses

Aksi militer, Belajar dari Blackhawk Down

Nama Sinar Kudus, kapal general cargo yang digunakan PT Samudra Indonesia mendadak tenar, lantaran dibajak di Semenanjung Somalia, 16 Maret lalu. Kapal yang membawa ferronickel ini berlayar dari Pomalaa, Sulawesi Selatan ke Rotterdam di Belanda. Ada 20 orang WNI di dalam kapal ini.

Nama Sinar Kudus, kapal general cargo yang digunakan PT Samudra Indonesia mendadak tenar, lantaran dibajak di Semenanjung Somalia, 16 Maret lalu. Kapal yang membawa ferronickel ini berlayar dari Pomalaa, Sulawesi Selatan ke Rotterdam di Belanda. Ada 20 orang WNI di dalam kapal ini.

Pembajaknya, disebut-sebut sebagai orang Somalia, menuntut uang tebusan hingga 3 juta dolar AS untuk membebaskan para ABK yang seluruhnya WNI ini. Tapi hingga batas waktu yang ditentukan, Rabu (13/4) belum ada tebusan yang dibayar, sehingga nyawa ABK Sinar Kudus pun kini dalam ancaman.

Dari sisi PT Samudra Indonesia, ditegaskan bahwa tujuan utama dari kasus ini adalah keselamatan ke 20 ABK. Hal yang hampir sama diungkapkan oleh Menteri Pertahanan, Purnomo Yusgiantoro bahwa  keselamatan ABK adalah yang utama. Secara logis hal inilah yang juga diinginkan oleh para keluarga ABK yang mengharapkan kepulangan mereka ke rumah dengan selamat.

Disisi lain, muncul kritik bahwa pemerintah lamban dalam menangani masalah ini, sebagian membandingkannya dengan pemerintah Korea Selatan yang mengirimkan pasukan khususnya untuk membebaskan kapal mereka. Meski seperti diketahui, serangan ini mengakibatkan seluruh ABK Korsel ini tewas.

Sebagian lainnya membandingkan juga dengan keberhasilan duet Benny Moerdani dan Sintong Pandjaitan dalam operasi pembebasan Pesawat Garuda Woyla di Bandara Don Muang di Thailand. Operasi ini dilakukan hanya tiga hari setelah upaya pembajakan dilakukan.

Perbandingan ini nampaknya tidak bisa langsung diterima, karena kasus dan tempat kejadian sangat berbeda. Tapi dari kasus Korsel dan Don Muang ini ada kesamaannya, pemerintah tidak tunduk pada tuntutan pihak teroris.

Pengunaan militer sah dilakukan saat kepentingan nasional seperti prestise atau rasa kebangsaan dikoyak oleh aksi terorisme. Pemerintah Indonesia sendiri hingga saat ini tidak pernah tunduk pada kekuatan terorisme, termasuk aksi teror bom yang sering terjadi dalam kurun waktu hampir 10 tahun.
Tapi terorisme yang dilakukan oleh pihak Somalia ini memang tergolong luar biasa, bahkan sangat terorganisir dengan baik. Berbekal strategi hingga pengunaan senjata yang cangih.

Sekedar mengingatkan bagaimana orang Somalia atau sebutlah orang bersenjata di Somalia menghadapi kekuatan militer yang jauh lebih besar tergambar dalam film Blackhawk Down. Film yang dirilis pada 2001 ini menceritakan kisah nyata 3 Oktober 1993 di Mogadishu, Somalia.

Film garapan sutradara Rodley Scott ini menceritakan pada 3 oktober 1993, satu flight Blackhawk dari 160th SOAR yang dipimpin General William Garrison mengantarkan 140 prajurit elite Delta Force dan Army Ranger ke Mogadishu, ibukota negara di Afrika, Somalia.

Misi mereka menangkap para pendukung seorang Warlord terkemuka yaitu Farah Aidit. Sayangnya, aksi ini berjalan tidak sesuai harapan. Aksi yang direncanakan 30 menit berjalan hingga 18 Jam. Dua heli Black Hawk pun ditembak jatuh, 19 prajurit AS gugur, dan hampir 100 lainnya terluka. Sementara pihak milisi Somalia korban tewas mencapai 1.000 orang.

Setelah sukses di War in The Gulf, maka misi ini adalah salah satu masa terburuk dalam sejarah militer Amerika modern. Padahal, baru dua tahun sebelumnya Amerika dianggap sukses saat menjadi leader War in The Gulf dalam misi membebaskan Kuwait.

Akibat misi yang gagal ini, 24.OOO pasukan Amerika ditarik dari Somalia. Memang tidak bisa kita samakan aksi dalam film "yang berbasis kisah nyata itu" dengan penyanderaan kapal yang digunakan oleh PT Samudra Indonesia.

Tapi yang ingin digambarkan bahwa milisi atau orang bersenjata di Somalia ini bukanlah orang-orang sembarangan yang dengan mudah dikalahkan. Sebuah aksi militer akan berakibat fatal jika tidak berdasarkan informasi intelejen yang benar.

Ini yang harus menjadi pertimbangan, sejauh mana intelejen kita mampu mendeteksi keberadaan para perompak bersenjata ini? Satu-satunya informasi hanya diperoleh dari ABK atau Kapten Kapal yang berdialog dengan pihak PT Samudra Indonesia. Informasi ini tentu tidak meyakinkan, karena informasinya sudah dikontrol para perompak dan hanya berupa nilai uang tebusan. 

Mungkin saja pengunaan satelit untuk memantau keberadaan para pembajak, tapi apakah TNI kita bisa mengakses teknologi ini, karena barang seperti ini hanya dimiliki oleh negara-negara seperti Amerika.

Katakanlah kita diberi akses intelejen oleh pihak ke 3, lalu bagaimana serangan itu akan dilakukan? Jika berhasil, maka banjir pujian pasti akan datang, tapi jika sebaliknya ada ongkos politik dan sosial yang harus ditanggung oleh  pemerintah.

Jika tebusan 20 nyawa ABK ini ada harganya (3 Juta dolar AS atau sekitar Rp26 Miliar) maka prestise bangsa sulit untuk ditentukan berapa harganya. Secara emosional mungkin saja penggunaan militer adalah jawaban atas masalah ini. Pasukan elit milik TNI AL sendiri sudah terbiasa berlatih untuk membebaskan kapal tanker yang dibajak. Meski berlatih disekitar perairan Selat Malaka, namun ketangguhan para prajurit TNI ini tidak perlu diragukan.

Jika pasukan elit TNI kita sudah berada di titik serang dekat dengan kapal yang disandera, apakah kemungkinan hasilnya akan positif? Tidak ada keraguan untuk itu. Tapi saat semua orang asik berdiskusi, memprediksi dan mempertimbangkan rasa nasionalime, kadang kita mempertimbangkan rasa, pemikiran dan harapan keluarga para ABK. Mereka mengharapkan Suami, Ayah atau kelaurga mereka tiba di Indonesia dengan selamat. Mungkin kita harus merasa menjadi bagian dari keluarga ABK ini.  


Raymond Kaya
Produser Senior Liputan6 SCTV
 
















 

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.