Sukses

Liga Komentator

Hampir sejenis komentator pertandingan bola berpendapat. Misalnya fakta penguasaan bola yang gagal, dikonfrontasikan dengan seharusnya bola dikuasai sempurna. Ironisnya, content seperti itu masih digunakan sebagian media untuk menggalang opini massa lewat kutipan konyol pengamat olah raga.

Permainan paruh kedua tengah digelar. Sebaris lelaki berlari maju nyaris sejajar. Pola pertahanan bak tim sapu bersih seolah bagai tembok gelombang yang tak mungkin ditembus apapun. Si kulit bundar pun menggelinding deras dari balik pasukan pembuka jalan tadi, digiring sepasang kaki dengan kecepatan penuh. Sebuah tendangan keras berkelebat melesat menyeruak membubarkan barisan sepuluh punggawa lawan. Sang penghalau akhir di kotak keramat tak berdaya. Bola melesat tajam di sisi kanan atas tiang gawal. Point!

Badu tak kuasa menahan lebih lama, dalam sebuah acara menonton pertandingan di media massa televisi. Ocehannya meluncur bak ledakan serentet petasan cabe rawit: "Semestinya Tim Garuda tampil lebih percaya diri. Jangan terlalu berhati-hati! Buktinya, lini pertahanan kocar-kacir tak keruan, tak bisa diantisipasi. Penguasaan bola setengah hati justru jadi blunder." Begitu jawab Badu menjawab soal pengamatannya.

"Blunder seperti apa?" tanya sang presenter lagi. Badu meledak: "Pokoknya fatal!"

Sang presenter melirik ke sisi kiri. Tak mau kalah analisis, Sompal cepat balas menggertak. "Antisipasi Tim Garuda asuhan Ki Santet Kampret sudah benar! Aksi serang Tim Harimau yang sempurna harus diantisipasi lewat pertahanan lini belakang. Coba bayangkan, ya. Solusi itu toh sudah berulang kali membuat mandul Tim Harimau buat melancarkan serangan. Buktinya, Garuda sukses membekukan nihil gol hingga peluit panjang pertama dibunyikan."

BRAK!!! Sebuah televisi 21 inci bergetar. Amir menggebrak meja. "Bah! Sok tahu betul si Sompal. Berlagak bak pengamat!" Dia menelengkan kepalanya ke belakang, ke arah kerumunan orang yang nonton bareng di sebuah warung kopi di pinggir jalan, seolah minta diamini. "Betul nggak?" cetus Amir dengan nada tinggi. Orang-orang mengangguk-angguk enggan.

Dia tak berhenti di situ. "Begini, ya. Sompal salah besar. Sejak masuk pertengahan babak pertama, bola lebih banyak berkutat di lini tengah. Solusinya sudah benar dan sudah dilakukan anak-anak asuh Ki Santet Kampret. Tembakan berulang kali dari garis tengah lapangan sudah bisa menjadi psywar lawan, dan sekaligus uji coba mental."

"Tengok, hanya selang sebentar selepas jeda, gawang Tim Harimau bergetar. Memang, selepas itu dianulir oleh wasit. Itulah," beber Amir panjang lebar. Orang-orang di belakangnya mengangguk-angguk lagi.

Tak semua mengangguk sepaham dengan Amir. Jono dan Joni juga berseteru di dalam mobil. Mereka tengah mendengarkan siaran langsung final antara Tim Garuda melawan Tim Harimau dari radio yang menyiarkan secara live.

Jono sepaham dengan Badu, Joni memilih Sompal. "Kesadaran Ki Santet datang terlambat. Semestinya saat melihat anak didiknya keteteran, dia langsung memasukkan Kebo Ireng dan Blek Semut buat mengangkat semangat Tim Garuda yang tengah kembang kempis. Ini kok, ya, malah marah-marah doang," cetus Jono. Jelas betul dia membenci solusi Ki Santet saat itu.

"Ah ya, nggak juga. Lihat dulu, deh. Perhitungan Ki Santet sudah pas. Permainan Kutilang Picek yang dinilai buruk semestinya membuat Tim Harimau merasa di atas angin sementara waktu. Targetnya, supaya serangan Tim Harimau tak terarah, karena semua mau menyarangkan bola ke gawang lawan. Kan pada berebutan, tuh jadinya. Intinya, supaya menang," papar Joni makin tak terarah.

Ya. Mengulas pertarungan gocek menggocek di lapangan hijau di negeri ini memang unik. Di saat sang empunya amanat bertarung keras di ajang apapun--dari dulu sampai sekarang--biasanya sang komentatorlah yang paling sibuk menganalisis pertandingan dari A sampai Z. Seolah yang paling paham betul situasi yang tengah terjadi, tersirat maupun tersurat.

Acapkali pandangan komentator sekadar permainan psikologis pertandingan yang diputar balik. Misalnya saat seorang gelandang gagal menyarangkan bola ke kotak gawang, sang komentator bisa membahasnya khusus secara panjang lebar. Mulai dari kosa kata tak andal, ceroboh, sengaja membuang kesempatan, menyia-nyiakan waktu, dan masih sederet lainnya. Intinya sama: menggugat bahwa semestinya bila andal, kalau saja tak ceroboh, andai kata tak membuang kesempatan, dan mampu menggunakan waktu dengan efektif, maka si gelandang bakal sukses menyarangkan bola. Tinggal diputar balik.

Rata-rata hampir sejenis komentator pertandingan bola berpendapat. Mulai dari fakta penguasaan bola yang selalu gagal, dikonfrontasikan dengan seharusnya, bola dikuasai dengan sempurna. Metodanya sesederhana itu. Dan ironisnya, content seperti itulah yang masih digunakan sebagian media massa untuk menggalang opini massa lewat kutipan konyol pengamat olah raga.

Mungkin, sudah waktunya bila dibentuk khusus sebuah liga bagi para pengamat. Liga Komentator, sebagai contoh. Mumpung perhelatannya pun bisa diselenggarakan pada momentum yang sama dengan ajang Final Piala Asean Football Federation 2010, 29 Desember mendatang. Sebab, unggul atau tidak Tim Nasional Indonesia kelak, toh komentator negeri ini bisa tetap unggul, dengan komentar dan hasil pengamatannya tentang pertandingan tersebut.

Meski yang sebenarnya, bukan komentar tanpa dasar dan jauh dari kritik membangun yang dibutuhkan. Saat ini Tim Nasional Garuda butuh dukungan kebanggaan yang sebenarnya. Bangga jadi olah ragawan yang membawa harum nama bangsa dan negara. Cuma itu.


M.I. Stephen Vincent
Redaktur Eksekutif Liputan6.com

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

    Video Terkini