Sukses

Mengubah Sistem Penempatan TKI

Jika penempatan TKI PLRT tidak bisa dihindarkan karena alasan ekonomi, pemerintah hendaknya bersungguh-sunguh melindungi para TKI dengan membuat sistem yang bisa menghindarkan TKI dari tindak kekerasan dan penganiayaan.

Kasus penganiayaan Tenaga Kerja Indonesia (TKI) kembali terjadi di Malaysia. Winfaidah TKI PLRT (Penata Laksana Rumah Tangga) menjadi korban penganiayaan dan perkosaan majikannya di Malaysia. Kasus penganiayaan TKI asal Lampung ini terjadi disaat Pemerintah Indonesia dan Malaysia tengah berunding bagi penempatan TKI PRT di negeri Jiran tersebut.

Tak hanya itu, penganiayaan juga terjadi disaat Indonesia tengah melakukan moratorium pengiriman TKI sejak kasus penganiayaan TKI Siti Hajar, Juni 2009.

Penganiayaan yang dialami para TKI kita di negeri jiran bukanlah yang pertama kali terjadi, dua  kasus yang mencuat yakni Nirmala Bonat dan Siti Hajar membuat pemerintah Indonesia turun tangan untuk mengatasinya, hingga akhirnya keluarlah keputusan moratorium terhadap TKI yang bekerja ke Malaysia.

Namun moratorium tidak bisa mencegah keinginan TKI untuk bekerja ke Malaysia. Berbagai cara dilakukan, mulai dari melintasi perbatasan sepanjang lebih dari 700 km di perbatasan Kalimantan hingga melintasi Selat Malaka.

Bekerja di Malaysia masih menjadi impian ditengah sulitnya mencari lapangan kerja di dalam negeri. Segala cara dilakukan warga negara Indonesia, baik secara legal maupun ilegal. Lebih dari 1 juta TKI legal bekerja di Malaysia, sedangkan jumlah yang ilegal diperkirakan mencapai 2 juta lebih.

Meski Moratorium diberlakukan, calo-calo TKI masih berkeliaran dan merayu warga negara Indonesia untuk bekerja ke Malaysia. Tak hanya itu, sesampainya di negeri Jiran, pihak yang berwenang Malaysia dengan mudah mengeluarkan surat izin bekerja untuk para TKI. Kepala BNP2TKI Jumhur Hidayat mengakui tindakan pemerintah Malaysia ini menyulitkan pemerintah Indonesia mencegah orang mencari pekerjaan di sana.

Penyerapan tenaga kerja yang minim di dalam negeri, dan semakin tingginya angka pengangguran, membuat bekerja sebagai TKI menjadi pilihan. "Malaysia tahu Indonesia tidak pernah serius dengan Moratorium dan segala hal yang berkaitan dengan TKI," kata Politisi senior UMNO Datuk Kadarshah.

Menurut Datuk Kadarshah, pemberlakuan moratorium tidak akan ada artinya jika tidak diikuti dengan langkah lain seperti memperketat perbatasan. Semua ini menurutnya diketahui oleh Malaysia, dan menjadi senjata ketika berunding dengan Indonesia.

MOU soal PLRT hingga kini belum juga selesai, perundingan masih berjalan, meski ada jaminan dari Menteri Sumber Daya Malaysia Subramaniam bahwa MOU itu akan segera ditandatangani.

Tuntutan gaji untuk PLRT yang diajukan Pemerintah Indonesia sebesar RM800 atau sekitar Rp2.080.000 tidak mudah dipenuhi oleh Malaysia. Selama ini PLRT di Malaysia digaji dengan standar antara RM.400-RM.500, jauh dari Standar.

Malaysia menolak pemberlakuan upah minimum untuk PLRT asal Indonesia. Mereka bersikeras gaji diserahkan kepada mekanisme pasar, alasannya di Negeri Jiran ini tidak pernah ada penetapan upah minimum.

Masalah lain adalah paspor yang selama ini dipegang oleh majikan karena khawatir PLRT melarikan diri saat kontrak belum selesai, harus dipegang sendiri oleh TKI.

Hal lain yang juga belum disepakati adalah libur untuk TKI selama 1 hari selama satu minggu. Jika Majikan membutuhkan TKI disaat hari libur maka Ia harus membayar lebih.

Malaysia menolak semua syarat yang diajukan oleh Indonesia, jalan kompromi masih dibicarakan dalam perundingan diantara kedua negara.

Apapun hasil perundingan yang terpenting adalah implementasinya di lapangan. Sistem penempatan TKI PLRT yang sepenuhnya tinggal di rumah sehingga majikan, tidak bisa menjamin dimasa datang tidak ada lagi TKI kita yang mengalami penyiksaan dan pelecehan seksual di Malaysia.

Metode "live in" dengan majikan membuat TKI kita tidak terkontrol, semua tergantung kepada kebaikan Sang Majikan. Sementara kita mengetahui Pemerintah Malaysia sendiri tidak selalu tegas terhadap tindak kekerasan yang dilakukan warganya terhadap TKI.

Tidak mudah memang melarang masyarakat untuk tidak lagi bekerja sebagai TKI Penata Lakasana Rumah Tangga (PLRT).

Pengirimannya sudah berlangsung sejak tahun 70an. Oleh sebab itu yang harus dilakukan adalah dengan mengubah sistem penempatannya.

Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan TKI, mengusulkan pola penempatan TKI PRT dengan model "Live Out" sistem. Pola penempatan ini mirip seperti "Clening Service" dimana TKI yang bekerja sebagai PLRT tidak tinggal bersama majikan, namun ditempatkan di asrama, dan bekerja berdasarkan waktu yang ditentukan.

Dengan pola seperti ini kontrol terhadap TKI lebih mudah dilakukan.

Tetapi apakah sistem ini bisa diterapkan dan dinegosiasikan kepada negara yang mau menerima TKI, sementara masalah penempatan TKI masih menjadi rebutan antara BNP2TKI dan Kemenakertrans.

Kedua lembaga ini belum sepakat untuk menentukan siapa yang berhak mengurusi TKI. Tidak dipungkiri uang yang dihasilkan dari pengiriman TKI tidak sedikit jumlahnya, namun siapa yang akan melindungi mereka di luar negeri.

Jika penempatan TKI PLRT tidak bisa dihindarkan karena alasan ekonomi, pemerintah hendaknya bersungguh-sunguh melindungi para TKI dengan membuat sistem yang bisa menghindarkan TKI dari tindak kekerasan dan penganiayaan.

Selain itu, pemerintah juga harus gencar berdiplomasi sehingga membuat kesepakatan dengan negara tujuan TKI. Jika ini belum selesai dilakukan, hendaknya penempaan TKI ditunda. Kita tentu tidak mau lagi melhat berbagai tindak kekerasan dan penganiayaan menimpa para TKI di luar negeri.

Catatan BNP2TKI dari terminal Selapajang, Cengkareng, Jakarta, jumlah TKI bermasalah yang pulang ke tanah air pada 2009 mencapai 17.793 TKI, angka yang sangat memprihatinkan.

Jika dilihat secara keseluruhan, negara dunia ketiga yang mengirimkan tenaga kerja ke luar negeri, hanya Indonesia yang mengirimkan TKI PLRT (Penata Laksana Rumah Tangga) dalam jumlah yang sangat besar. Pakistan, Bangladesh, dan Filipina prosentasinya sangat sedikit.

Filipina misalnya, jumlah TKI formal lebih banyak ketimbang PLRT, dan mereka memiliki perjanjian dengan negara penempatan, dengan gaji yang diberikan kepada Tenaga Kerjanya lebih tinggi dibanding Indonesia.

Semua ini terpulang kepada pemerintah, apakah masih akan menempatkan TKI PLRT atau TKI Informal, dengan sistem yang selama ini masih berjalan, ataukah akan mengubahnya demi melindungi para TKI tehadap tindak pelecehan seks dan kekerasan serta trafficking.


Aribowo Suprayogi
Redaktur Eksekutif Liputan6.com


* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

    Video Terkini