Sukses

Siapa Melindungi TKI?

Indonesia masih berada pada tingkat menengah (Tier-2), dalam masalah human trafficking (perdagangan manusia). Selain pengiriman TKI ilegal ke luar negeri, perdagangan manusia juga terjadi di dalam negeri. Dualisme BNP2TKI dan Kemenakertrans dinilai menjadi penyebabnya.

Departemen Luar Negeri (Deplu) AS dalam laporan tahunan kesepuluh mengenai perdagangan manusia 2010 yang dirilis, Senin 14 Juni 2010, menggolongkan Indonesia di tingkat menengah (Tier-2), dalam masalah human trafficking (perdagangan manusia). Seperti dikutip dari stasiun televisi Voice of America (VOA), 117 negara yang berada dalam laporan setebal 373 halaman tersebut dikelompokkan dalam tiga kategori berdasarkan kinerja kebijakan anti-perdagangan manusia di tiap negara.

Secara khusus Utusan Khusus AS Anti Perbudakan Duta Besar Luis CdeBaca, dalam rilis laporan Deplu AS, Senin 14 Juni 2010, menilai akibat lemahnya pengawasan pemerintah, praktek perdagangan manusia merajalela di desa-desa pelosok di Indonesia. Meski laporan itu mencatat ada kemajuan pemerintah dalam menangani praktek perdagangan manusia, secara umum terlihat bahwa peranan Kementrian Negara Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Kemenakertrans) dan Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI) tidak optimal dalam mencegah trafficking (perdagangan manusia) ini.

Laporan itu juga mencatat perdagangan sosial tidak hanya terjadi di luar negeri melalui pengiriman Tenaga Kerja Indonesia (TKI) tetapi juga di dalam negeri. Lemahnya pengawasan pemerintah berakibat pada merajalelanya praktek rekruitmen TKI non prosedural ke manca Negara.

Dalam laporan lain disebutkan bahwa, jumlah perempuan pekerja domestik (pembantu rumah tangga) asal Indonesia di Timur Tengah yang mengalami perkosaan mengalami peningkatan.

Ketua Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI) Miftah Farid menilai, carut-marutnya pelayanan TKI akibat dualisme  BNP2TKI dan Kemenakertrans menjadi penyebab utama tingginya modus trafficking melalui pengiriman tenaga kerja ke luar negeri. Karena itu, ia menganggap revisi harus dimulai dengan menuntaskan dualisme dengan memberi tupoksi yang jelas antara BNP2TKI dengan Kementrian Tenaga Kerja dan Transmigrasi.

Sudah lama dua lembaga pemerintah yang mengurus masalah tenaga kerja ini berselisih perihal wewenang siapa yang berhak menangani TKI yakni BNP2TKI dan Kemenakertrans. Kisruh wewenang dua instansi ini berpengaruh pada pelayanan TKI hingga ke tingkat bawah.

Baik BNP2TKI dan Kemenakertrans sama-sama merasa berhak menempatkan TKI. ambil contoh data pemberangkatan TKI pada 2008, BNP2TKI memberangkatkan 175 ribu lebih TKI ke Arab saudi, sedangkan Ditjen Binapenta sebagai unsur dari Kemenakertrans memberangkatkan 234.643 TKI. Ketidak kompakan kedua lembaga ini berimbas kepada penanganan TKI bermasalah, saling lempar tanggung jawab dari keduanya, dan nyaris tidak ada koordinasi menjadi hal-hal yang sering dialami TKI.

Sementara jumlah TKI bermasalah setiap tahunnya meningkat. BNP2TKI mencatat dari Januari hingga Juni 2010 jumlah TKI yang bermasalah 25.064 meningkat 41 % diperiode yang sama pada tahun 2009 sebesar 17.793. Arab Saudi adalah negara terbanyak yang memiliki TKI bermasalah, dari Januari-Juni 2010 jumlah TKI bermasalah yang kembali ke tanah air berjumlah 13.559 TKI, dari jumlah ini 1.064 dianiaya majikan, 874 mengalami pelecehan seks, dan 3568 sakit saat bekerja.

Melihat jumlah ini, tergambar bagaimana segi kuantitas menjadi prioritas ketimbang kualitas. Tidak menutup kemungkinan, TKI yang bermasalah tidak memenuhi syarat sebagai TKI layaknya, dan hanya bermodalkan stempel pengesahan karena lemahnya pengawasan dari pemerintah. Jika sudah demikian tentunya tidak salah jika Indonesia masuk dalam tingkat menengah (tier2) dalam hal human Trafficking.

Pemerintah dalam hal ini Presiden harus segera mengambil keputusan untuk mengakhiri dualisme masalah penanganan TKI, agar permasalahan pengiriman TKI ini tidak berlarut-larut. Jika tidak, siapa yang akan membela para TKI yang dijuluki pahlawan devisa.

Sudah menjadi rahasia umum 6 juta TKI yang bekerja di luar menghasilkan dana Trilinan rupiah bagi negara, dan ini menjadi rebutan dan saling klaim siapa yang pantas menanganinya.

Masalah lain adalah, keseriusan pengambil kebijakan dalam hal ini pemerintah untuk meningkatkan kesejahteraan TKI. Kepala BNP2TKI Jumhur Hidayat bernegosiasi dengan pemerintah Arab saudi untuk menaikan gaji TKI dari 600 real menjadi 800 real, dan hal tersebut berhasil dilaksanakan baru pada tahun 2007. Padahal pemberian gaji TKI sebesar 600 real ditetapkan oleh pemerintah Arab Saudi pada tahun 1970. Bisa dibayangkan berapa puluh tahun pemerintah tidak memperjuangkan gaji para TKI khususnya yang bekerja sebagai pembantu rumah tangga di Arab Saudi.

Pemerintah pernah menghentikan pengiriman TKI ke Malaysia akibat tingginya angka kekerasan terhadap mereka, tapi nyatanya juga tidak efektif, karena masih banyak TKI yang masuk ke negara tersebut secara ilegal, dan bahkan masih ada beberapa PJTKI yang mengirim TKI ke Malaysia.

Letter Of Intent (LOI) yang ditandatangani pemerintah Indonesia dan Malaysia soal TKI hingga kini belum juga menghasilkan kesepakatan yang nyata perihal kenaikan upah, hari libur, dan paspor.

Dari segi kuantitas, jumlah TKI di luar negeri jauh melebihi jumlah tenaga kerja dari Filipina. Namun dari segi kualitas, keberadaan TKI masih di bawah tenaga kerja Filipina. Jumlah TKI di luar negeri pada tahun 2009 lalu, tercatat kurang lebih 6 juta TKI dengan jumlah remittance (pengiriman uang) sekitar Rp 60 trilyun. Sedangkan tenaga kerja Filipina di luar negeri tidak sampai 2 juta orang, tetapi bisa memberikan pengaruh besar bagi pendapatan negaranya.

Kelemahan yang paling mencolok dari TKI adalah dari sisi penyiapan sumber daya manusia (SDM). Kita masih asyik dan puas dengan TKI informal yang notabene banyak di sektor penata laksana rumah tangga (PLRT). Sementara Filipina banyak menyiapkan tenaga kerja di sektor formal, yang notabene penghasilannya jauh lebih tinggi dibanding gaji TKI.

Semua ini menjadi pekerjaan rumah (PR) pemerintah untuk meningkatkan kesejahteraan sekaligus menaikan martabat para TKI, dan tidak hanya menginginkan devisa dari mereka. Jika PR ini tak diselesaikan, bukan mustahil Indonesia masih menjadi negara yang bermasalah dengan Human Trafficking.

Aribowo Suprayogi,
Redaktur Eksekutif Liputan6.com



* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

    Video Terkini