Sukses

Anas dan Inspirasi Politik 2014

Kesuksesan Anas seolah memberi sinyal bakal ada sesuatu yang spesial pada pesta demokrasi Indonesia 2014 mendatang. Tibakah waktunya kepemimpinan nasional Indonesia direbut kaum muda? Mestikah calon presiden dan wakilnya berasal dari kalangan partai politik?

Kepiawaian berpolitik Anas Urbaningrum benar-benar teruji. Di kongres Partai Demokrat, Anas berhasil mengungguli Andi Mallarangeng, tokoh yang ke mana-mana selalu mengumbar pernyataan bahwa dirinya didukung Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Bahkan melawan Marzuki Alie, yang sempat meniti karier sebagai Sekjen Demokrat dan kini menjabat Ketua DPR RI, Anas tak mundur setapak pun. Anas datang, berjuang, dan menang.

Tulisan ini tak hendak membincangkan hal-ihwal penyebab keberhasilan Anas meraih kursi puncak Partai Demokrat. Tak pula tentang betapa ketatnya persaingan perolehan suara, baik di putaran pertama maupun kedua. Satu hal yang pasti, keberhasilan Anas menularkan inspirasi dan ilham bagi politik Indonesia masa depan.

Kesuksesan Anas dan tim pendukungnya, seolah memberi sinyal bakal ada sesuatu yang spesial pada pesta demokrasi Indonesia 2014 mendatang. Tokoh kelahiran Blitar, Jawa Timur, yang kini berusia 40 tahun ini berhasil memimpin partai terbesar, partai pemenang Pemilihan Umum 2009. Ini menandai transisi kepemimpinan ke kalangan pemimpin muda, di atmosfer pemimpin partai politik di Indonesia.

Seperti kita ketahui, dari sembilan (9) partai politik pemenang Pemilu 2009, hanya Anas Urbaningrum dan Muhaimin Iskandar-lah yang bisa dibilang pemimpin muda dan bertengger di jabatan puncak partai politik. Dan kejadian kongres di Padalarang, Jawa Barat, seperti hendak mengkonfirmasi segudang pertanyaan yang selama kemarin berkecamuk di ranah politik kita. Misalnya, apakah Pemilihan Umum 2014 mendatang masih dihiasi tokoh-tokoh lama? Tibakah waktunya transisi kepemimpinan nasional Indonesia terjadi dan direbut oleh kaum muda? Mestikah calon presiden dan wakilnya berasal dari kalangan partai politik?

Unggulnya Anas di perhelatan akbar Demokrat, memendarkan optimisme yang tinggi atas kebutuhan transisi kepemimpinan nasional. Banyak yang berspekulasi, Anas bakal melangkah ke pencalonan presiden pada 2014. Dan spekulasi ini bukanlah mengada-ada. Karena seseorang yang berkeinginan mencalonkan diri pada pemilu presiden 2014, setidaknya sudah merancangnya dari sekarang, atau bahkan jauh sebelumnya.

Jika benar arah pemikiran politik ini yang bakal mengemuka, maka patut dicatat siapa saja yang pada pemilu presiden mendatang masih memiliki kesempatan dan keinginan mencalonkan diri. Menilik komposisi berdasar kelompok partai koalisi atau oposisi, maka sekretariat gabungan partai koalisi memiliki cukup banyak tokoh. Selain Anas, di kubu gabungan koalisi ada Aburizal Bakrie, Hatta Rajasa, dan Muhaimin Iskandar. Yang bukan pejabat partai koalisi namun punya kans besar muncul sebagai kandidat, di antaranya Djoko Suyanto dan Hidayat Nur Wahid.

Sedangkan dari faksi oposisi, hanya Ketua Dewan Pembina Partai Gerindra Prabowo Subianto yang menonjol dan masih kuat pengaruhnya. Sedangkan Partai Demokrasi Perjuangan Indonesia, jika perolehan suaranya masih besar pada pemilu mendatang, tentu tak main-main untuk berdiam diri tanpa mengajukan kadernya.

Jika komposisi sederhana ini saja yang dibaca, maka tinggal dikalkulasi, apakah partai gabungan koalisi akan meramu satu paket capres dan cawapres. Dan ini bakal menyulitkan komposisi kepemimpinan politik. Karena tentu saja, figur Anas sebagai Ketua Umum Partai Demokrat, partai pemenang pemilu, agak kurang pas jika hanya diposisikan di bangku kedua. Warga Demokrat pun belum tentu rela ketua umumnya hanya menjadi ban serep. Apalagi jika pilotnya adalah Ical (Golkar), maka senyawa kimia politiknya bakal lebih seret.

Belum lagi jika kabar yang beredar selama ini benar, bahwa ada yang menginginkan Djoko Suyanto sebagai kuda hitam pada pemilu mendatang. Ini artinya, Demokrat mesti berbagi “kartu As”, akan diberikan kepada Anas atau Djoko. Pilihan ini didasarkan pada spekulasi politik bahwa meski karakter politik Anas mirip SBY, namun ia belumlah sekuat SBY. Oleh karena itu, figur yang bisa mengisi kekosongan itu adalah Djoko Suyanto.

Meski begitu, ada tokoh-tokoh di luar partai politik yang layak diperhitungkan. Di antara mereka ada tokoh sekaliber Anies Baswedan, Fadjroel Rachman, atau Rizal Ramli. Belajar dari kemenangan pasangan SBY-Boediono, maka sosok Anies Baswedan bisa menjadi alternatif yang jitu. Masalahnya, tak sedikit yang menilai bahwa Anies justru layak menjadi nakhoda politik, meski kendala terbesarnya adalah ketiadaan partai politik yang bisa mengusungnya dalam bursa kandidat.

Kalkulasi itu mengandaikan Anies Baswedan bakal digaet kelompok koalisi. Nah, persoalan bakal berbeda jika kubu oposisi yang merangkulnya. Semisal PDIP mengulurkan “tiket” kepada Anies, tentu peta politiknya bakal bermetamorfosis. Figur Anies yang relatif cerdas, tenang, dan tidak meledak-ledak, diperkirakan bakal bisa diterima berbagai pihak. Gaya bicaranya yang santun dan penampilan yang sedap dipandang, bahkan sudah mengoleksi sejumlah penghargaan internasional, membuat bekal Anies lebih dari cukup untuk ditawarkan kepada publik.

Sedangkan sosok Fadjroel, selama ini konsisten di jalur calon independen. Padahal sudah terbayang, jalur independen jauh lebih terjal dan berliku untuk dilalui. Sedangkan Rizal Ramli pun menghadapi kendala serupa, ketiadaan mesin politik. Jika kendala itu mampu diatasi, pengamat yang rajin mengusung isu antineolib ini bakal menjadi penantang kelas berat.

Tentu saja di luar nama-nama yang sudah disebutkan, terpendam mutiara politik. Masalahnya, aturan main yang selama ini digunakan, partai politiklah yang berhak mengusulkan calon presiden dan wakil presiden. Dan dari aspek ini, Anas sudah melaju lebih dulu, mendahului tokoh-tokoh muda lainnya.


Rommy Fibri
Eksekutif Produser Liputan 6 SCTV

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

    Video Terkini