Sukses

Mempidana Pelaku Nikah Siri atau Pelacuran?

Nikah siri atau di bawah tangan menjadi polemik, karena pelakunya akan dikenai sanksi pidana. Langkah ini dinilai berlebihan, mengingat nikah siri tidak dilarang dalam Islam.

Nikah siri menjadi fokus perhatian dalam dua pekan terakhir. Meski belum menyaingi "kepopuleran" Pansus Hak Angket Bank Century—yang masa kerjanya tinggal dua pekan lagi—polemik nikah siri melibatkan banyak pihak. Mulai Kementerian Agama, Majelis Ulama Indonesia (MUI), Komisi Nasional (Komnas) Hak Asasi Manusia, Komnas Perempuan, Mahkamah Konsitusi, Muhammadiyah, Nahdhatul Ulama hingga sejumlah pimpinan Pondok Pesantren.

Bermula dari materi Rancangan Undang-Undang (RUU) Hukum Materiil Peradilan Agama bidang Perkawinan. Dalam rancangan ini, terdapat klausul tentang pemberian sanksi pidana bagi pelaku nikah siri. Ada apa gerangan dengan nikah siri?

Nikah siri, menurut Majelis Ulama Indonesia adalah nikah di bawah tangan dan tidak tercatat dalam administrasi pemerintah. Nikah siri, menurut ajaran Islam, hukumnya sah dan tidak haram. Meski demikian, ada syaratnya: ada dua saksi dari kedua belah pihak, dikukuhkan penghulu, ada mempelai laki-laki dan perempuan, serta mengucapkan ijab-kabul.

Karena tidak tercatat dalam administrasi pemerintah, alias kantor urusan agama (KUA), pemerintah melalui Kementerian Agama, mengkhawatirkan soal kepastian hukum ini terhadap anak-anak yang dilahirkan dan nasib istri jika terjadi perceraian atau akibat lain. "Jika perceraian tanpa kepastian hukum, akan menimbulkan dampak sosial yang luar  biasa, terutama bagi anak-anak hasil pernikahan siri," jelas Direktur Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam Kementerian Agama Nazaruddin Umar.

Kekhawatiran itu kemudian dijawab dengan "menyelipkan" sanksi pidana bagi para pelaku nikah siri ke dalam RUU tadi. Sebuah pasal dari RUU menyebutkan, setiap orang yang dengan sengaja melangsungkan perkawinan tidak di hadapan pejabat pencatat nikah, dipidana dengan denda maksimal Rp 6 juta atau hukuman paling lama enam bulan penjara.

Karena adanya sanksi pidana, polemik pun bersiliweran. Muncul pertanyaan, mengapa nikah siri yang menurut agama (Islam) diperbolehkan, tapi oleh pemerintah pelakunya justru dikenai sanksi pidana?

Komnas Perempuan, melalui komisionernya, Kiai Haji Husein Muhammad menyatakan, sanksi pidana diperlukan karena nikah siri bertentangan dengan ajaran Islam. Alasannya, Islam justru harus melindungi perempuan, sementara nikah siri malah merugikan.

Ketua Mahkamah Konstitusi Mahfud M.D. secara pribadi bukan sekadar mendukung pemberian sanksi pidana. Mahfud bahkan melarang pernikahan siri, karena hanya diperlakukan sebagai pelampiasan nafsu seksual belaka. "Pelarangan nikah siri dan pemberian sanksi pidana merupakan wujud perlindungan akibat buruk pada korban-korbannya," terang Mahfud.

Pihak Komnas HAM menentangnya. Ketuanya, Ifdhal Kasim mengingatkan, pemerintah jangan terlalu jauh masuk ke dalam ranah pribadi warga negara. Pengaturan formalitas perkawinan yang berlebihan, bisa dikategorikan satu bentuk pelanggaran hak asasi yang dilakukan negara. Jika kemudian alasannya untuk melindungi perempuan dan anak-anak—karena pernikahan siri tidak tercatat dalam administrasi pemerintah—Ifdhal punya saran: "Legalkan pernikahan siri dengan melakukan pencatatan, bukan menonjolkan sanksinya."

Polemik bisa lebih panjang lagi manakala pemerintah mengurus pernikahan siri yang jelas-jelas diakui agama. Seperti kata Yunahar Ilyas, seorang Pengurus Pusat Muhammadiyah: "Sanksi bagi pelaku nikah siri sudah terlalu jauh. Kalau mau mempidanakan, pidanakan dulu pelaku pelacuran perzinaan, kumpul kebo, yang jelas-jelas haram hukumnya."

Ahmad Bagdja, ketua Pengurus Besar Nahdlatul Ulama berpendapat senada. Jika pelaku nikah siri dipidanakan, ia khawatir, hal itu justru akan menyuburkan praktik 'kumpul kebo'. "Sangat tidak logis nikah siri dihukum. Seks bebas dan kumpul kebo dianggap bagian dari hak asasi manusia, karena suka sama suka," ingat Bagdja.

Dari polemik yang berkembang, persoalannya sebetulnya bukan pada nikah siri, tapi akibat yang ditimbulkan. Jika pernikahan siri gagal di tengah jalan, anak-anak sebagai buah perkawinan dikhawatirkan kehilangan hak dan tidak punya kekuatan hukum untuk mendapatkan nafkah maupun warisan.

Kekhawatiran itu dinilai K.H. Mutawakkil berlebihan. Menurut ketua Pengurus Wilayah NU Jawa Timur ini, pernikahan secara siri juga melindungi hak anak dan perempuan atau istri. Meski tidak masuk dalam administrasi pemerintah, anak-anak yang dilahirkan dari pernikahan siri juga berhak mendapat warisan, sesuai hukum waris.

Kalau demikian persoalannya, pemerintah tidak perlu menempuh jalan pintas yang dinilai bertentangan: mengharamkan sesuatu yang sudah dihalalkan. Nikah siri tentu lebih baik dibanding tindakan kumpul kebo dan perzinaan, yang bertentangan dengan hukum agama maupun hukum positif. "Nikah siri juga menjadi satu cara menghindari perzinahan dan kumpul kebo," papar Mutawakkil mengingatkan.

Soal risiko mengorbankan anak-anak dan kaum perempuan, tentu bukan hanya akibat nikah siri saja. Pernikahan tercatat sekalipun, baik yang berakhir perceraian maupun bukan, juga sering mengorbankan anak-anak dan perempuan. Khususnya, manakala hak-hak mereka juga tidak bisa terlindungi.

Mengapa misalnya pemerintah tidak menempuh jalan melegalkan nikah siri dengan melakukan pencatatan di KUA, sebagaimana disarankan Komnas HAM? Atau bukan hukumannya yang ditonjolkan, tapi menyosialisasikan kepada masyarakat agar menghindari nikah siri, tapi melakukan nikah dengan melaporkan ke KUA.

Sudah seyogyanya pemerintah tidak masuk terlalu jauh ke dalam ranah kehidupan pribadi warga negara. Cukup banyak masalah yang perlu ditangani segera, terkait perkawinan dan akibat yang ditimbulkan. Misalnya, anak-anak yang lahir dari hasil pernikahan, kini terpaksa mencari nafkah di jalanan, karena tidak ada sumber penghasilan yang bisa diperoleh orangtua mereka. Atau, orangtua yang terpaksa menjual bayi—baik yang masik dalam kandungan maupun yang sudah dilahirkan—karena tidak mampu menanggung biaya hidup yang makin tak terjangkau.

Atau, energi untuk membahas pemidanaan terhadap pelaku nikah siri ini dialihkan kepada kepentingan yang lebih mendesak. Misalnya, mengatasi maraknya pelacuran dan perzinaan, yang sebagian juga menghasilkan anak-anak tanpa diketahui bapaknya. Bahkan di Batam, Kepulauan Riau, para pelacur rencananya akan dikenai pajak 10 persen dari penghasilan mereka. Ini bagai menegaskan, pemerintah hendak melegalkan pelacuran, tapi kemudian melarang pernikahan yang jelas-jelas dihalalkan dalam ajaran Islam.

Tentu pemerintah lebih bijak memilih, tanpa mengabaikan keyakinan umat beragama.


Erdi Taufik
Redaktur Eksekutif Liputan6.com



* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

    Video Terkini