Sukses

Perdagangan Bebas dan Ketergopohan Kita

Terhitung 1 Januari 2010, gerbang perdagangan bebas Cina dan ASEAN dibuka lebar. Dan, banyak kalangan di negeri ini seperti tergopoh kalau tak mau disebut kebakaran jenggot. Namun, terpenting adalah mencari solusi terbaik menghadapinya.

Kalau Anda berjalan-jalan ke Pasar Pagi Mangga Dua atau ke Pasar Tanahabang, Jakarta Pusat, untuk membeli sepatu, tas, pakaian atau kain, Anda pasti akan menemukan banyak sekali barang-barang impor dari Cina. Barang-barang ini dijual dengan harga yang terjangkau meski dengan kualitas yang mungkin sedang-sedang saja.

Pasar Pagi Mangga Dua dan Pasar Tanahabang hanyalah dua outlet dari sekian banyak tempat yang dijejali barang-barang produksi Negeri Tirai Bambu itu. Dan ternyata tak hanya di Jakarta, bahkan di daerah seperti Bali, barang-barang impor dari Cina menyerbu bersama produk impor dari India, Thailand, Jepang dan Korea.

Bagi konsumen, tentu kedatangan barang-barang impor menguntungkan. Kenapa? Karena harganya yang terjangkau. Soal kualitas? Mungkin jadi pertimbangkan kedua. Jika demikian, maka kondisi ini tentu juga menguntungkan bagi para pedagang yang menangguk untung besar.

Bagaimana dengan nasib produsen dan pengusaha dalam negeri? Tentu saja mereka menjerit, barangnya tak ada yang laku! Memprihatinkan memang. Kalau dijual untuk masyarakatnya sendiri saja tak laku, bagaimana akan bersaing di pasar ekspor? Tapi inilah kenyataan yang kini harus dihadapi.

Sejak gerbang perdagangan bebas yang disebut ASEAN-China Free Trade Agreement (ACFTA) dibuka per 1 Januari 2010, maka tak ada ampun lagi, barang-barang impor dari kawasan ASEAN dan terutama Cina langsung merangsek ke sudut-sudut pasar dan mal di negeri ini. Dengan pemberlakuan bea masuk nol persen sesuai kesepakatan dalam ACFTA, produk-produk impor itu masuk dengan harga yang bersaing.

Inilah mungkin "mimpi buruk" dunia usaha nasional yang menjadi kenyataan. Kini mereka teriak, kini mereka protes. Padahal jika mau jujur, perdagangan bebas ini sudah dimulai sejak 2002. Pada tahun itu disepakati perjanjian komprehensif kerja sama ekonomi ASEAN-Cina yang menjadi basis negosiasi ASEAN-Cina AFTA yang kemudian dilaksanakan pada 2004. Sejak saat itulah, maka tarif bea masuk nol persen terus berjalan dan berlangsung menjadi 8.654 pos tarif yang sudah nol sebelum 2010. Jadi ini sebuah proses yang semestinya disadari sejak awal.

Ketidaksiapan itu dibuktikan dengan merosotnya kinerja industri nasional. Pada 2009 hingga Juli nilai ekspor industri tekstil sudah merosot sekitar 520 juta dolar Amerika Serikat. Asosiasi Industri Besi dan Baja Indonesia juga menjerit. Sejak tahun 2000 ketika bea masuk masih diberlakukan, industri baja Indonesia terus mengalami defisit perdagangan karena kalah bersaing dengan produk impor. Defisit ini dipastikan membengkak, jika bea masuk jadi nol persen.

Menanggapi teriakan ini, pemerintah dan DPR pun seolah terkaget-kaget. Komisi VI DPR melalui Ketua DPR Marzuki Alie melayangkan surat kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono untuk membatalkan perjanjian ACFTA itu sebelum 1 Januari 2010. Suara-suara untuk menggunakan hak angket pun bermunculan. Pemerintah kemudian tergopoh-gopoh membentuk tim khusus beranggotakan lintas departemen dan wakil dari dunia usaha. Kekagetan dan ketergopohan yang sebenarnya tidak perlu terjadi seandainya pemerintah, DPR dan dunia usaha sejak awal sudah mempunyai perencanaan dan langkah antisipasi yang jelas. Masyarakat tentu bertanya, kemana saja mereka selama ini.

Di satu sisi kita memang patut mencermati catatan DPR. Sejak ACFTA diberlakukan secara bertahap pada 2005, neraca perdagangan Indonesia-Cina "jomplang". Surplus perdagangan Indonesia terhadap Cina terus menurun, bahkan menjadi defisit 3,61 miliar dolar AS pada 2008. DPR juga menuding Cina melakukan praktik "dumping" untuk membuat harga produknya murah, seperti menggunakan pekerja anak yang diupah rendah juga mempekerjakan narapidana tanpa bayaran.

Tapi ibarat nasi sudah menjadi bubur, membatalkan perjanjian ACFTA tentu hal yang tidak mungkin dilakukan, kecuali jika pemerintah ingin mencoreng muka sendiri di hadapan dunia internasional. Maka yang harus dilakukan adalah mencari solusi pada koridor yang tidak melanggar aturan dalam perjanjian.

Perdagangan bebas ACFTA tentu dibuat untuk meningkatkan perdagangan di antara negara pesertanya dengan menghilangkan berbagai hambatan (barrier) terutama tarif dan bea masuk. ACFTA juga bertujuan untuk memberikan kepastian ekonomi yang lebih besar dan transparansi. Pertanyaannya, jika Cina bisa memanfaatkan kesempatan ini, mengapa Indonesia tidak?

Jika barang Cina murah karena terbukti melakukan dumping, kenapa pemerintah tidak berbuat sesuatu karena praktik ini melanggar aturan? Andai barang Indonesia lebih mahal karena berbagai pungutan dan birokrasi yang berbelit-belit, kenapa hal ini tidak diselesaikan? Inilah pertanyaan yang perlu dijawab dan dicari jalan keluarnya.

Hal lain yang perlu dilakukan adalah perlindungan terhadap konsumen. Orang bilang harga tak akan bohong. Barang yang harganya mahal tentu kualitasnya lebih bagus ketimbang yang harganya murah. Dalam konteks ini pemerintah sangat berperan untuk melakukan pengawasan kualitas dan keamanan produk, kehalalan serta penerapan standarisasi.

Pendek kata, pemerintah tetap dituntut untuk melakukan sesuatu demi menyelamatkan ekonomi nasional. Kita menunggu janji Menteri Koordinator Perekonomian Hatta Rajasa yang telah memberi setumpuk tugas kepada tim khusus untuk bekerja meningkatkan efektivitas pengamanan pasar dalam negeri.

Tujuan utamanya adalah industri nasional tetap tumbuh, buruh tetap bekerja dan konsumen tetap mendapatkan barang dan jasa yang aman. Ini tentu bukan tugas ringan tetapi wajib dilakukan.

Belajar dari pengalaman perjanjian ACFTA ini juga, mungkin ke depan perlu dikaji lebih lanjut agar perjanjian-perjanjian yang bersifat internasional dan menyangkut kepentingan ekonomi secara nasional sebaiknya dibuat bersama dengan DPR. ini untuk menghindari ketidaksepahaman yang menimbulkan tindakan saling menyalahkan.


Marthin Budi Laksono
Kepala Departemen Liputan6.com

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.