Sukses

Menuju Krisis Listrik?

Rupa elok Jakarta kini sulit dikenali karena mati lampu kerap terjadi. Pelaku usaha juga menjerit karena pemadaman listrik membuat mereka rugi hingga Rp 10 miliar per hari. Apa yang terjadi? Apakah negeri ini sudah mengalami krisis listrik?

Jakarta adalah sentral. Kota ini wajah republik. Tapi rupa elok Ibu Kota itu sekarang sulit dikenali. Pasalnya "byarpet" alias mati lampu kerap terjadi. Alhasil aktivitas warga terganggu. Lalu lintas semrawut, kemacetan makin panjang, energi yang terbuang akibat macet menanjak, kalangan industri menjerit. Bayangkan industri skala rumahan di Jakarta yang tekor hingga Rp 10 miliar per hari! Belum lagi kerugian lain yang tak bisa dikonversi dengan rupiah.

Yang menimpa Jakarta ini melengkapi nestapa serupa di sekujur Nusantara. Kita terheran-heran menyaksikan pemadaman bergilir sudah terjadi di Tanjung Pinang, Kepulauan Riau sejak tiga tahun lalu. Warga Banda Aceh, Medan, Riau, Banten, Tenggarong, Samarinda, Balikpapan, Bontang, Makassar, Palu, Manado, Lombok atau Ambon juga harus bersabar karena mati lampu karib dengan hidup mereka.

Pangkal persoalan bukan kerusakan mesin pembangkit atau sebab lain yang bersifat insidental. Lebih fundamental dari itu, PLN di sejumlah daerah mengalami defisit atau kekurangan pasokan listrik. Artinya, jumlah konsumsi listrik lebih tinggi dari produksi listriknya.

Dalam sebuah kesempatan PLN pernah menjamin tak akan ada defisit di Jawa-Bali selama 2009. Tapi fakta bicara lain. Di Jakarta saja permintaan listrik setiap tahun naik mencapai lima persen—sedikit lebih rendah dari kenaikan permintaan listrik nasional sekitar tujuh persen setahun. Kapasitas terpasang sekitar 4.500 megawatt (Mw), padahal konsumsi saat beban puncak menembus 5.200 Mw. Kurangnya pasokan tersebut tak pelak memaksa PLN menggilir pemadaman listrik.

Sebagai ilustrasi, defisit listrik di perumahan saja menyentuh 35 juta watt sepanjang 2002-2009. Akhir 2007, defisit listrik terjadi di 31 lokasi yang tersebar di berbagai daerah. Nah, akhir April lalu Direktur Utama PT PLN Fahmi Mochtar mencatat 14 lokasi di tanah air defisit listrik, terutama di luar sistem pembangkit Jawa-Bali. Ditaksir defisit ini masih akan terjadi hingga 2012 nanti.

Ihwal pentingnya memikirkan listrik disadari benar oleh Jusuf Kalla, saat masih menjabat wapres 2004-2009. JK menyadarkan anggota kabinet untuk mencari jalan cepat mengatasi defisit listrik yang makin tahun kian bertambah serta meluas ke sejumlah daerah. Padahal daya listrik merupakan barang yang tak tergantikan. Ekonomi tak mungkin berjalan tanpa listrik. Karena itu infrastuktur listrik harus dibenahi. “Jika Anda hendak bepergian ke Makassar. Anda bisa memilih moda transportasi. Tak ada pesawat, bisa digantikan kapal laut. Tapi, apa yang bisa menggantikan listrik? Ada lilin, namun tak bisa menghasilkan energi,” papar JK saat berbicara di peluncuran buku Mereka Bicara JK beberapa waktu lalu.

JK mengingatkan pemerintah untuk mengantisipasi krisis listrik di masa-masa mendatang. Ketimbang terjebak pada kondisi darurat, segera saja siapkan langkah-langkah cepat. Proyek pembangunan pembangkit listrik 10 ribu Mw, termasuk ‘warisan’ JK yang diharapkan mengatasi kebutuhan listrik di negeri ini.

Kawat terakhir, baru PLTU Labuan-Banten Unit 1 yang mulai beroperasi. Daya yang mampu diproduksi sekitar 300 Mw. Masih kelewat kecil dibandingkan target. Tak bisa tidak, proyek 10 ribu Mw itu harus dikebut penyelesaiannya. Ini mensyaratkan political will dari pemerintah, sekaligus pengawasan yang memadai dari parlemen. Pendanaan yang telah direncanakan tak boleh bergeser. Kita boleh optimistis, sebab masalah listrik ini menjadi program prioritas yang masuk dalam program utama pemerintah dalam 100 hari.

Satu hal yang harus disosialisasikan: Sadarkan masyarakat dan pelaku usaha bahwa krisis listrik cepat atau lambat akan terjadi di Tanah Air, supaya mereka berhemat dengan listrik. Mei tahun lalu, PLN memberlakukan program insentif-disinsentif pada pelanggan untuk menghemat listrik. Apa kabar program ini? Seberapa mangkus memangkas pemakaian daya listrik?

Selang lima bulan, pemerintah lewat Surat Keputusan Bersama (SKB) Mendag, Menteri ESDM, Mendagri, Menakertrans, dan Menbudpar, juga "memaksa" pelaku usaha sektor bisnis, ritel, apartemen serta perhotelan untuk menghemat konsumsi listrik hingga 10 persen per bulan. Apakah ini juga mangkus atau hanya "menghimpit" pelaku usaha? perlu evaluasi lebih dalam. Jika tak mangkus SKB ini seyogyanya dievaluasi.  Yang penting libatkan masyarakat dan pelaku usaha agar mereka ikut merancang program hemat listrik yang realistis dan dapat dikerjakan.

Moh Samsul Arifin
*) Koordinator Evaluasi Siaran Liputan 6

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

    Video Terkini