Sukses

Tari Pendet Tayang, Protes Berbilang

Hari-hari belakangan ini, energi kita habis terkuras untuk bersahut-kata soal negeri jiran Malaysia yang diduga melakukan klaim terhadap Tari Pendet. Perasaan kita seperti diaduk-aduk: rasa nasionalisme yang tinggi, emosi sesaat yang melekat, bahkan rasa cinta budaya yang terlalu dalam. Seluruhnya tumpah ruah tak terbendung.

Hari-hari belakangan ini, energi kita habis terkuras untuk bersahut-kata soal negeri jiran Malaysia yang diduga melakukan klaim terhadap Tari Pendet. Perasaan kita seperti diaduk-aduk: rasa nasionalisme yang tinggi, emosi sesaat yang melekat, bahkan rasa cinta budaya yang terlalu dalam. Seluruhnya tumpah ruah tak terbendung.

Pun, barisan kata-kata yang meluncur hampir seragam: tudingan, cacian, makian, dan protes. Semua senada, menuding Malaysia sebagai “tukang copet” alias suka mengambil harta budaya Indonesia, yang lantas diklaim sebagai miliknya.

Kasus bermula dari iklan pariwisata Malaysia yang mempertontonkan Tari Pendet untuk menarik minat wisatawan. Iklan ini sebagai rangkaian dari promosi “Malaysia Truly Asia” yang disiarkan oleh 23 negara di seluruh dunia. Promosi itu ditayangkan di program Discovery Channel berjudul Enigmatic Malaysia. Disinilah para penari asal Bali  yang membawakan tarian Pendet muncul.

Belakangan, iklan tersebut menuai badai kritik. Malaysia dituding sedang mengangkangi tarian adat milik masyarakat Bali itu. Pembuluh darah melebar, degup jantung pun semakin cepat. Amarah mulai menyeruak. 

Betapa tidak. Karena ternyata video tarian itu direkam bertahun-tahun sebelumnya lewat perusahaan Bali Record. Bahkan pengambilan gambar pun dilakukan di Bali. Dan seluruh dunia pun tahu, bahwa tarian Pendet, yang tadinya tarian sakral keagamaan, sudah disuguhkan sebagai tarian selamat datang sejak puluhan tahun silam. Bahkan pada 1962, Tari Pendet dipertontonkan secara kolosal oleh 800 penari dalam pembukaan Asian Games di Jakarta.

Masalah semakin sensitif  ketika media massa memberitakan hal ini secara besar-besaran. Bahkan memberi judul yang bombastis, dengan menuding Malaysia telah mengklaim Tari Pendet. Bahkan di dunia maya, Tari Pendet sempat menempati urutan teratas topik terpanas yang sedang dibahas. Lantas pertanyaannya, benarkah Malaysia telah secara serius melakukan klaim terhadap aset budaya kita itu?

Hingga saat ini tak pernah terucap satu kata pun, baik dari pejabat Malaysia maupun pihak swasta yang menayangkan iklan pariwisata tersebut, bahwa mereka telah mengklaim Tari Pendet. Pihak Malaysia terkesan “melempar kesalahan” pada Discovery Channel yang telah mempublikasikan iklan tersebut tanpa persetujuan dari pemerintah Malaysia. 

Sebenarnya masalah bisa saja selesai dengan penjelasan itu, dan janji bahwa iklan tersebut akan dicabut. Dan tampaknya memang iklan itu benar-benar dicabut. Namun kemarahan rakyat Indonesia atas penayangan Tari Pendet asal Pulau Dewata ini dapat dipahami. Karena sejak beberapa tahun lalu, Malaysia telah melakukan sejumlah tindakan yang kontroversial.

Ini bukan kali pertama Malaysia mengambil budaya Indonesia dan mengklaim sebagai budayanya. Apalagi Malaysia selalu mengelak tudingan telah mengambil budaya Indonesia. Seperti misalnya reog Ponorogo yang disebut di Malaysia sebagai sisingaan, dan tari barong disebut barongan. Itupun belum termasuk keris, angklung, batik, lagu "Rasa Sayange" yang berasal dari Ambon, dan lagu "Es Lilin" asli Sunda.

Padahal Malaysia sadar betul bahwa pada 10 November 2007 di Kuala Lumpur, ada kesepakatan antara Menteri Kebudayaan dan Pariwisata Ri Jero Wacik dan Menteri Malaysia Rais Yatim. Isinya, untuk masalah budaya yang masuk wilayah abu-abu, kedua pihak sepakat saling meminta izin apabila akan digunakan dalam iklan komersial.

Dan jika benar bahwa pemerintah Malaysia mengaku kurang serius melakukan pengawasan terhadap iklan ini, maka ada pelajaran berharga yang bisa dipetik. Pertama, agaknya Malaysia menganggap remeh soal “curi-mencuri” budaya seperti yang selama ini acapkali terjadi. Mesti dicermati, apakah itu terjadi karena memang Malaysia cuek, mentalitas yang arogan, atau karena perasaan serumpun dengan Indonesia. Sehingga korelasinya, Malaysia tak perlu minta izin lagi karena budaya yang ada pada mereka memiliki akar yang sama dengan Indonesia.

Kedua, fakta mengatakan bahwa seniman-seniman Malaysia kurang kreatif. Karena dari materi yang ditayangkan, agaknya mereka hanya mengambil bahan mentah.  Tragisnya lagi, materi tersebut sudah berumur tahunan. Jangan-jangan, ini semacam pucuk gunung es bagi karya-karya budaya Malaysia lainnya.

Dan ketiga, pemerintah Indonesia patut memikirkan sedari sekarang, apa yang harus dilakukan untuk mengamankan
aset-aset budaya tersebut. Karena jangan sampai pemerintah tergagap-gagap menghadapi ulah Malaysia, hanya karena terkendala faktor yuridis disebabkan tak pernah mendaftarkannya ke kantor Hak Atas Kekayaan Intelektual (HAKI) maupun lembaga Hak Paten.

Akhirnya, “pertempuran” telah berkobar. Para peselancar dunia maya, blogger, netter, dan sekawannya, saat ini sedang bertempur habis-habisan.  Kasus Tari Pendet kembali menghangatkan suhu yang kemarin sempat mereda.

Rommy Fibri
Redaktur Eksekutif Liputan6.com

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.