Sukses

"Sense of Crisis"

Apakah kita akan menunggu jatuhnya puluhan atau ratusan korban tewas akibat penyakit ini, untuk membuat pemerintah bertindak sigap dan menganggap krisis flu babi ini sebagai krisis yang berbahaya bagi rakyat kita?

Agak sulit menemukan padanan untuk sense of crisis yang tepat, singkat, padat, dalam bahasa Indonesia, kecuali mungkin: “kepekaan menghadapi krisis”. Wah, terlalu panjang kalimat itu rasanya, jika dibandingkan dengan sense of crisis yang hanya terdiri atas empat suku kata. Selain juga, padanan itu masih kurang tepat. Kata sense dalam frasa sense of crisis, tidak hanya berarti kepekaan. Tetapi juga kewaspadaan, ketergesaan, kesegeraan, dan pada akhirnya kesigapan dalam menghadapi krisis, karena krisis adalah krisis, permasalahan yang sangat mendesak untuk segera diselesaikan, ditanggulangi.

Bahasa Indonesia memang tergolong masih berusia muda, pun kosakatanya  masih terbilang miskin, jika dibandingkan dengan bahasa Inggris dan bahasa-bahasa “tua” lainnya, yang sudah berabad-abad digunakan berbagai bangsa di dunia. Tetapi bukan soal itu yang ingin saya diskusikan. Melainkan “ruh” dari frasa sense of crisis itu sendiri (tanpa harus diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia) yang ternyata tidak dimiliki para pengelola republik ini.

Sebagai contoh, krisis flu babi alias flu H1N1, yang beberapa bulan lalu mulai didengung-dengungkan WHO (Organisasi Kesehatan Dunia) sebagai penyakit berbahaya dan mematikan, ditanggapi pemerintah Indonesia secara adem ayem. Bahkan ada pejabat tinggi di bidang kesehatan yang justru berkomentar bahwa WHO terlalu membesar-besarkan masalah. Ada pula pejabat yang mengatakan, flu babi tidak akan pernah bisa menyebar di Indonesia, karena virusnya tidak akan kuat bertahan di negara tropika. Untungnya, belum ada yang berani mengatakan Indonesia bebas flu babi.

Kini coba kita simak. Berdasarkan data-data yang dihimpun berbagai media, di negeri kita dalam tiga hari terakhir ini terjadi lonjakan kasus positif flu H1N1 sebanyak 60 kasus, sehingga seluruhnya menjadi 112 kasus positif. Dua pasien terduga influenza H1N1 meninggal dunia, yakni di Padang, Sumatra Barat dan Denpasar, Bali, walau belum bisa dipastikan apakah flu H1N1 yang menjadi penyebab kematian mereka. Ini belum termasuk beberapa warga negara Indonesia yang mau tak mau dirawat di rumah sakit mancanegara, karena diduga terpapar virus flu babi. Dengan kata lain, virus H1N1 terbukti bukan hanya “milik” orang asing. Orang Indonesia juga bisa terkena.

Apakah kita akan menunggu jatuhnya puluhan atau ratusan korban tewas akibat penyakit ini, untuk membuat pemerintah bertindak sigap dan menganggap krisis flu babi ini sebagai krisis yang berbahaya bagi rakyat kita? Memang, sejumlah rumah sakit sudah disiagakan dan alat pemantau suhu tubuh pun tersedia di bandara-bandara internasional, namun itu saja rasanya belum cukup, karena penularan virus H1N1 bisa terjadi di mana saja.

Sampai saat ini kita masih belum melihat adanya pusat-pusat pemantau krisis flu H1N1 di tengah masyarakat. Pejabat kesehatan yang berwenang pun hanya mampu mengimbau masyarakat untuk waspada, melalui keterangan pers, bukan dengan turun langsung ke tengah masyarakat. Walhasil, masih sangat banyak anggota masyarakat yang belum paham betul mengenai sejauhmana tingkat bahaya virus influenza yang satu ini, dan bagaimana menanggulanginya.

Pemerintah Indonesia sangat jauh ketinggalan dibandingkan pemerintah negara lain, dalam mengelola kasus flu babi. Pemerintah Thailand saja sudah menyetujui tambahan anggaran 25 juta dolar Amerika Serikat, untuk memproduksi vaksin dan obat-obatan antivirus, karena jumlah korban meninggal dunia akibat virus ini semakin bertambah di Thailand. Di Negeri Gajah Putih itu jumlah korban meninggal sudah mencapai 24 orang dari 4.057 kasus positif influenza H1N1.

Tentu saja tidak perlu menunggu jatuhnya korban sebanyak itu, untuk membuat pemerintah Indonesia tergesa-gesa melakukan tindakan pencegahan dan penanggulangan. Jangan pula memandang remeh kasus flu babi ini, sebelum segalanya terlambat, seperti yang sering kita alami dalam kasus penyakit lainnya seperti Demam Berdarah Dengue (DBD).

Sudah terlalu sering kita menyaksikan riuh rendahnya jerit tangis anggota keluarga yang ditinggalkan penderita DBD yang meninggal dunia, dan banyak penderita yang tidak mendapat bagian ruangan perawatan di banyak rumah sakit. Padahal DBD adalah penyakit musiman yang bisa diantisipasi sejak jauh hari. Jangan sampai itu terjadi pada kasus flu H1N1. Tapi masihkah pemerintah Indonesia memiliki sense of crisis?


Billy Soemawisastra
Kepala Pendidikan dan Pelatihan Liputan 6

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

    Video Terkini