Sukses

Menanti Utuhnya Keistimewaan Yogyakarta

Seluruh lapisan masyarakat Ngayogyakarta Hadiningrat mungkin tak pernah bermimpi, bahwa tanah air mereka suatu ketika menjadi bagian dari negeri bernama Republik Indonesia. Kawula Yogyakarta pun tak pernah memprotes Sinuwun Sri Sultan HB IX, saat Ngarso Dalem pada Rabu Kliwon, 5 September 1945 menyatakan kerajaan dan rakyatnya mendukung seratus persen kemerdekaan Indonesia.

Liputan6.com, Jakarta: Seluruh lapisan masyarakat Ngayogyakarta Hadiningrat mungkin tak pernah bermimpi, bahwa tanah air mereka suatu ketika menjadi bagian dari negeri bernama Republik Indonesia.

Kawula Yogyakarta pun tak pernah menyangka apalagi memprotes Sinuwun Sri Sultan HB IX, saat Ngarso Dalem pada Rabu Kliwon, 5 September 1945, di awal musim penghujan itu menyatakan kerajaan dan rakyatnya mendukung seratus persen kemerdekaan Indonesia. Sekaligus menyatakan diri bergabung dengan Republik Indonesia. Ngayogyakarta Hadiningrat menjadi daerah provinsi ke tiga setelah Jawa Timur dan Jawa Tengah, yang menjadi bagian resmi dari negara berumur balita Indonesia pascaproklamasi kemerdekaan.

Pemerintahan baru Indonesia memberikan apresiasi yang amat tinggi atas segala sumbangsih Yogyakarta bagi republik. Termasuk di antaranya, pernah dijadikan sebagai Ibu Kota Republik Indonesia pada masa transisi politik, sejak Sabtu Pahing 5 Januari 1946. Apresiasi yang tulus itu diberikan pemerintahan pusat kepada rakyat Yogyakarta melalui Ngarso Dalem Sinuwun Sri Sultan HB IX yang merupakan junjungan dan panutan masyarakat. Tak hanya untuk urusan kepemimpinan dan perilaku, tapi juga panutan untuk kelangsungan tradisi dan budaya.

Bentuk apresiasi pemerintah pusat itu diwujudkan dalam bentuk Daerah Istimewa setingkat provinsi. Barulah, pada 1965 Yogyakarta dijadikan provinsi seperti provinsi lain di Indonesia.

Substansi keistimewaan Ngayogyakarta Hadiningrat itu, yang pertama mencakup Sejarah Pembentukan Pemerintahan DIY terkait dengan perjuangan Kemerdekaan Republik Indonesia sesuai UUD 1945, Pasal 18 dan Penjelasannya yang menjamin hak asal-usul suatu daerah sebagai daerah swapraja (zelfbestuurende landschaappen).

Tak hanya itu. Yang kedua, keistimewaan dalam hal Bentuk Pemerintahan DIY sebagai daerah setingkat provinsi yang terdiri dari penggabungan wilayah Kasultanan Nagari Ngayogyakarta dengan Praja Kadipaten Pakualaman dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia sesuai UU No. 3/1950.

Yang ketiga, keistimewaan Yogyakarta berkaitan dengan Kepala Pemerintahan DIY yang dijabat oleh Sultan & Adipati yang bertahta sesuai Piagam Kedudukan, 19 Agustus 1945, Maklumat HB IX & Paku Alam VIII tertanggal 5 September 1945 dan juga tertanggal 30 Oktober 1945. Kedudukan Daerah Istimewa Yogyakarta sebagaimana diatur oleh UU No.3, tahun 1950 sebagai lex spesialis tidak pernah diatur secara jelas, rinci, rigid dalam UU No. 5, tahun 1974; UU No.22 tahun 1999; UU No.32 tahun 2004 sebagai lex generalis sehingga menimbulkan implikasi yuridis setiap ada perubahan undang-undang yang mengatur tentang pemerintahan daerah dan juga kepala daerahnya.

                                                                                                    ***

Ada apa dengan Keistimewaan Ngayogyakarta Hadiningrat?
Tak banyak orang yang tahu ada angin politik apa sebenarnya, ketika seolah seperti tiba-tiba, keistimewaan Yogyakarta dibahas dalam sidang kabinet terbatas yang dipimpin langsung Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, Jumat (26/11). Yakni poin tentang jabatan kepala daerah yang tak lagi secara otomatis, namun melalui pemilihan. Yogyakarta yang sedang dirundung bencana meletusnya Gunung Merapi pun seperti terhenyak dan 'membara'. Terlebih ketika SBY menyebut-nyebut sistem monarki yang tak cocok lagi diterapkan dalam frame kehidupan demokrasi.

Tepat sehari setelah Presiden SBY menyampaikan pernyataannya itu, Sabtu (27/11), Sri Sultan HB X pun menjawab. "Jika sekiranya saya dianggap pemerintah pusat menghambat proses penataan Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), jabatan gubernur yang ada pada saya saat ini akan saya pertimbangkan kembali. Itu merupakan pernyataan politik saya. Silakan bagaimana mau menafsirkannya."

Sejak itulah, suhu politik di Ngayogyakarta Hadiningrat terasa kian menghangat. Para pemain sirkus politik di Jakarta juga ikut angkat bicara, seturut kepentingan kelompok masing-masing. Banyak pernyataan mereka yang tidak mencerminkan pemahaman pada persoalan pokok secara jernih. Tapi justru ikut memperkeruh suasana, sehingga membingungkan rakyat.

Perdebatan pun segera mengarah ke istilah monarki dengan segala tafsirannya. Sri Sultan HB X pun, tak tahu persis apa yang dimaksud dengan sistem monarki seperti yang disampaikan Presiden Yudhoyono.

"Saya tidak tahu sistem monarki yang disampaikan dan dimaksud pemerintah pusat, karena Pemerintah Provinsi (Pemprov) DIY itu sama dengan provinsi lain di Indonesia, seperti dalam organisasi, manajemen, perencanaan, dan pertanggungjawaban pemerintahan. Hal itu sesuai dengan konstitusi, baik UUD 1945 maupun peraturan pelaksanaannya. Semuanya sama dengan provinsi lain, tidak ada yang berbeda dengan yang lain."

"Saya juga tidak mengerti, mengapa disebut monarki. Apa karena sultan yang menjadi gubernur?"

                                                                                                    ***

Rakyat harus jadi subjek demokrasi. Yang paling berkompeten untuk menjalankan demokrasi adalah rakyat itu sendiri. Demikian pula yang terjadi di Yogyakarta, sehubungan dengan status keistimewaannya.

Sejak diembuskannya persoalan keistimewaan Ngayogyakarta Hadiningrat oleh pemerintah pusat, masyarakat Yogyakarta seperti tak pernah berhenti berdemo. Puluhan ribu orang dari berbagai elemen masyarakat berkumpul di luar Gedung DPRD Yogyakarta, Senin (13/12). Massa gabungan mahasiswa, Paguyuban Lurah, Paguyuban Penata Rias, Paguyuban Pedagang, Paguyuban Kesenian, anak sekolah, dan berbagai elemen masyarakat lainnya berkumpul sejak pukul 11.00 WIB untuk menyuarakan aspirasi mereka mempertahankan keistimewaan Yogyakarta.

Sikap DPRD pun telah terlontar. Enam dari tujuh fraksi mendukung Gubernur sebagai keistimewaan Yogyakarta dan menolak wacana penyelenggaraan pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur secara langsung. Hasil sidang paripurna ini juga akan disampaikan kepada DPR RI dan Presiden.

Menghadapi aksi rakyat Yogyakarta itu, Sri Sultan HB X menyarankan agar ada dialog publik yang didasari dengan ketulusan dan kejujuran, sehingga masyarakat dapat tetap menjadi subjek dalam demokrasi. Persoalan pemilihan atau penetapan kepala daerah di DIY itu merupakan ranah kepentingan rakyat. Jadi proses pemilihan atau penetapan kepala daerah di DIY itu tergantung rakyat karena yang menentukan mereka.

"Demokrasi jangan hanya dilihat sekadar pada aspek prosedural mengenai pemilihan atau penetapan saja," kata Sri Sultan.

Rancangan Undang-undang (RUU) tentang Keistimewaan Yogyakarta kini sedang diolah di DPR. Ketua Umum DPP Partai Demokrat Anas Urbaningrum, yakin permasalahan RUU Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta itu akan selesai dengan baik dan segera bisa ditemukan solusinya agar demokrasi modern dapat dikawinkan dengan nilai sejarah.

                                                                                                      ***

Wakil Ketua DPR RI Pramono Anung mengatakan, RUU Keistimewaan DIY dari pemerintah sudah diterima DPR, Kamis (16/12). Surat pengantar tentang RUU Keistimewaan DIY juga sudah diterima, maka pembahasan RUU tersebut akan digelar pada masa sidang DPR mendatang yang dimulai Jumat, 7 Januari 2011, setelah masa reses.

Kini rakyat Ngayogyakarta Hadiningrat menunggu. Apakah aspirasi mereka yang akan didengarkan dan diperjuangkan para Wakil Rakyat, ataukah sebaliknya kepentingan politis golongan yang lebih diperhitungkan.(VIN)

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.