Sukses

Indonesia pun Tersenyum

Sepakbola merupakan obat paling mujarab untuk meluluhkan segala persoalan di negeri ini. Dan harus diakui sejujurnya bahwa sepakbolalah yang membuat Indonesia tersenyum. Sepakat?

Pemain belakang Malaysia Mohd Asraruddin Putra terkecoh ketika pemain belakang tim nasional Indonesia M. Nasuha mengirimkan umpan silang dari sayap kiri. Bola membentur kakinya dan melesak ke dalam gawang Malaysia. Skor antara Indonesia dan Malaysia pun menjadi seimbang 1-1 [baca: Gol Bunuh Diri Samakan Kedudukan].

Gelora Bung Karno membahana. Teriakan, tepukan tangan, suara terompet, dan suara alat tetabuhan, saling bersahutan menyambut gol pertama timnas Indonesia di ajang ASEAN Football Federation (AFF) 2010. Jutaan pemirsa televisi di seluruh pelosok Tanah Air terbangun dari duduknya dan ikut menikmati suka cita itu. 

Hasil akhir, timnas Indonesia mengganyang Malaysia 5-1 (2-1). Dengan demikian Indonesia memimpin Grup A dengan raihan poin sempurna [baca: Indonesia Bantai Malaysia]. M. Nasuha, pemain naturalisasi asal Uruguay Cristian “El Loco” Gonzalez, M. Ridwan, Arif Suyono, dan pemain naturalisasi asal Belanda Irfan Bachdim, menjadi pahlawan-pahlawan yang diwacanakan media. Bahkan, hampir seluruh media di Tanah Air mengusung framing pemberitaan yang sama: kebangkitan sepakbola Indonesia!

Hari-hari berikutnya, euforia kemenangan dan harapan kebangkitan sepakbola itu menjadi-jadi. Terlebih setelah, timnas menghancurkan Laos 6-0 (2-0) pada laga kedua di Gelora Bung Karno, Jakarta, Sabtu (4/12) malam [baca: Gilas Laos, Indonesia ke Semifinal], dan menumbangkan tim Gajah Putih Thailand 2-1 (0-0) pada pertandingan terakhir Grup A [baca: Tekuk Thailand, Indonesia Loloskan Malaysia]. Indonesia meraih nilai sempurna dari seluruh pertandingan dan bersiap melangkah ke semifinal menghadapi runner-up Grup B.

Media menjadi garda terdepan untuk menyambut perayaan itu dan mengodifikasinya dalam sajian khas industri budaya popular. Interaksi media dan khalayak adalah penghidangan secepat-cepatnya dan sebanyak-banyaknya realitas di permukaan sebagai wacana yang dimaknai. Bahkan, tanpa perlu menunjuk konteks wacana.

Televisi adalah contoh paling marak soal perayaan komodifikasi itu. Pekan-pekan terakhir pemberitaan penyisihan Grup A Piala AFF 2010 itu adalah gemerlap keterasingan media televisi akan esensi persoalan sepakbola yang sebenarnya di Tanah Air. Bahkan, di lingkungan regional ASEAN. Kealpaan memperlihatkan konteks sepakbola di Tanah Air adalah pembuktiaan keterasingan itu.

Untuk barang sejenak, mari lupakan ketampanan Irfan Bachdim, keuletan Cristian “El Loco” Gonzalez, keliaran Oktomaniani, kecerdasan Firman Utina, atau keelokan strategi Alfred Riedl sebagai pelatih timnas. Dan mari susuri kembali carut-marut kompetisi liga yang belum berkesesudahan, kisruh kepengurusan Nurdin Khalid dan kawan-kawan (dengan Nurdin sebagai karakter utama), tradisi pencetakan pemain secara instan, dan sejumlah catatan-catatan lain. Termasuk juga, “proyek” naturalisasi.   

Lantas, pertemukan kembali medan wacana yang mengemuka dengan konteks wacana. Adakah sesuatu yang terlewatkan dari pemikiran kita?

Timnas Indonesia memang berhasil menghadirkan senyum, tawa, kegembiraan, bahkan kegemparan, untuk barang sejenak. Masyarakat menjadi merasa perlu merogoh koceknya dalam-dalam untuk membeli tiket, menyediakan energi lebih untuk mengantre dan terjebak kemacetan, serta menyediakan waktu luang untuk menonton dan membincangkannya. Masyarakat juga tidak mempedulikan agenda setting media yang ngotot dengan realitas sepakbola. 

Sementara media juga tak kalah gesit untuk melukiskan euforia itu secara sempurna di balik “patriotisme” lagu Garuda di Dadaku. Bahkan, dengan ketegaan memarjinalkan konflik RUU Keistimewaan Yogyakarta dan suasana “panas” di Yogyakarta; keterpurukan korban-korban bencana di Wasior, Mentawai, dan Merapi; isu suap hakim Mahkmah Konstitusi; bahkan nominator “man of the year” kali ini, Gayus Tambunan!

Saat tulisan ini disusun, timnas Indonesia tengah bersiap-siap menuju Kualalumpur, Malaysia, untuk menjalani laga tandang pada final leg pertama melawan Malaysia. Entah bagaimana hasil akhir partai final itu. Mungkinkah Indonesia tampil sebagai juara seraya membuktikan awal kebangkitan sepakbola di Tanah Air? Lantas, bagaimana kalau sebaliknya?

Mimpi masyarakat Indonesia, seperti juga mimpi pengurus PSSI yang tengah berjuang untuk meraih pencitraannya, adalah timnas Indonesia tampil sebagai juara. Sehingga, masyarakat (dan pengurus PSSI) bukan hanya bisa tersenyum. Tapi, senyum yang dilanjutkan derai tawa nan membahana. Lantas, media pun merekamnya sebagai perayaan komodifikasi laksana kasus video porno mirip artis.

Dengan kenyataan itu, siapa tahu, kita makin yakin bahwa sesungguhnya sepakbola merupakan obat paling mujarab untuk meluluhkan segala persoalan agama, ekonomi, politik, sosial, dan budaya, yang belakangan ini terus menggoda negeri ini. Dan harus diakui sejujurnya bahwa sepakbolalah yang membuat Indonesia tersenyum. Sepakat?(SHA)

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

    Video Terkini