Sukses

Mereka Ada di Garis Depan

Para relawan melebur dalam satu misi bernama kemanusiaan. Mereka menunaikan misi agung kemanusiaan, yakni menolong sesama. Mereka mencintai sesama manusia melebihi dirinya sendiri.

Liputan6.com, Sleman: Merapi adalah salah satu gunung api yang tergolong paling aktif di dunia. Berbagai ancaman bahaya, seperti awan panas, lahar, dan hujan abu, ditimbulkan dari letusan Merapi. Gelombang panas telah membumihanguskan daerah sekitar Merapi di Daerah Istimewa Yogyakarta serta Jawa Tengah. Menghadapi bencana ini, tentunya dibutuhkan usaha, biaya, dan tenaga yang luar biasa. Pekerjaan teramat besar itu dilakukan banyak pihak di antaranya relawan. Saat banyak orang melarikan diri untuk mencari keselamatan, para relawan justru menghampiri maut. Mereka maju hingga garis paling depan untuk menyelamatkan para korban di tengah ancaman serangan gelombang awan panas atau yang biasa warga sebut dengan wedus gembel. Para relawan yang berasal dari berbagai organisasi melebur dalam satu misi bernama kemanusiaan. Mereka melakukan misi agung kemanusiaan, yakni menolong sesama. Relawan berusaha sekuat tenaga supaya warga terselamatkan. Mereka mencintai sesama manusia melebihi dirinya sendiri. Dengan kata lain, mereka mempertaruhkan nyawanya demi orang lain. Tim relawan selalu mendahului pejabat berada di daerah bencana. Ketika pejabat sibuk di kantor dan birokrasinya, para relawan sudah bergumul dengan pengungsi. Mereka juga tidak banyak membuat atribut seperti yang dilakukan oleh partai politik dan sejumlah instansi. Ketika relawan bergerak mengevakuasi warga, partai politik atau parpol sibuk memasang atribut mereka. Selain mencari jenazah yang terkubur oleh awan panas, para relawan tak pernah lelah untuk mengevakuasi warga yang masih bertahan di rumahnya. Ternak-ternak warga juga tak luput dari perhatian relawan. Bukan sebuah pekerjaan mudah, memang. Maklum, sebagian warga sangat susah untuk diajak ke pengungsian. Mereka beralasan ingin mengurus ternak dan sawah.Tantangan tak hanya datang dari warga yang susah diajak mengungsi, tapi juga kondisi alam. Bau belereng begitu menusuk hidung saat relawan menyisir dusun-dusun lereng Merapi. Belum lagu abu bekas awan panas yang banyak beterbangan di lokasi. Debu yang menyesakkan dada seolah tak dirasakan. Mereka selalu ingin terus berada di garis depan. Peran relawan dalam proses evakuasi warga di sekitar Merapi, cukup besar. Meski dituntut berani melawan maut, sebagai seorang manusia biasa, ada waswas serta ketegangan luar biasa juga di benak mereka. Kepanikan kerap melanda mereka. Namun rasa tegang tersebut mereka sembunyikan begitu saja karena tugas evakuasi adalah yang utama. Yang tak kalah garang dalam mengevakuasi warga adalah Tentara Nasional Indonesia atau TNI. Salah satunya dari satuan Komando Pasukan Khusus TNI Angkatan Darat (Kopassus). Bersama tim lainnya, pasukan elite ini kerap menantang maut di tengah ganasnya awan panas Merapi. Kopassus tak ada kompromi saat mengevakuasi warga. Semua diangkut. Jika membandel akan dievakuasi paksa. Di balik semuanya ada satu peran penting dalam pergerakan tim, yakni komando yang dipegang Letnan Kolonel Jimmy Ramos Manalu. Pria kelahiran tahun 1971 ini jadi penentu keputusan kapan tim bergerak atau mundur jika kondisi Merapi tak bisa diajak kompromi. Jimmy tidak saja menjaga keselamatan diri, tapi prajurit dan seluruh anggota tim. Bukan hanya relawan dan tim evakuasi yang melawan takut Merapi untuk menyelamatkan warga. Tugas mulia lainnya diemban oleh petugas Pos Pantau Gunung Merapi. Ancaman awan panas yang bersuhu bisa mencapai 600 derajat Celsius dengan kecepatan sekitar 200 kilometer per jam yang sewaktu-waktu dapat menerjang ke arah mereka seolah tak dihiraukan. Tugas penting untuk memberikan informasi kepada warga dianggap sebagai amanah yang harus dijalankannya petugas Pos Pantau Merapi. Pos pantau bersedia menerima telepon yang akan menanyakan kondisi terkini Merapi selama 24 jam. Salah satu pos pantau ada di Kaliurang, sekitar tujuh kilometer dari puncak Merapi. Saat status awas, petugas diharuskan berdinas penuh atau tinggal di pos. Saat Merapi erupsi atau meletus, petugas pantang turun hingga detik terakhir. Mereka baru mau meninggalkan pos setelah mendapat instruksi dari Kantor Balai Penyelidikan dan Pengembangan Teknologi Kegunungapian (BPPTK) Yogyakarta. Namun setelah erupsi berhenti, mereka langsung naik lagi.Kecemasan keluarga atas nasib mereka sudah tidak perlu ditanyakan lagi. Mereka juga tak mengeluh atau membandingkan antara besaran gaji dan risiko pekerjaannya yang cukup berbahaya. Petugas harus selalu menajamkan mata mengamati Merapi, baik dengan teropong maupun dari menara. Lalai sedikit, apalagi tidur saat jaga bisa berakibat fatal. Selain petugas pos pantau, pemantauan aktivitas Merapi dilakukan warga dalam komunitas radio yang tersebar di lereng-lereng gunung. Salah satunya komunitas Balerante yang bermarkas di Dusun Gondang, Balerante, Klaten. Setiap hari, selama Merapi aktif, mereka mengabarkan situasi Merapi dari markasnya yang jaraknya hanya empat kilometer. Ribuan orang mulai warga biasa, relawan, aparat, hingga wartawan mendengarkan informasi yang diberitakan Jalinan Informasi (Jalin) Merapi. Warga yang menjaga kampung meraka dari pencurian dibekali handy talky. Kabar pantauan Merapi dari Balerante sedikit banyak ikut menentukan nasib ribuan nyawa warga di pengungsian dan petugas. Letusan Merapi meninggalkan tak hanya meninggalkan kisah pilu bagi masyarakat Indonesia, tapi juga keluarga korban. Termasuk jajaran Taruna Siaga Bencana (Tagana) Yogyakarta yang anggotanya ikut jadi korban. Empat relawan Tagana meninggal karena awan panas saat mereka sedang bertugas mengevakuasi penduduk di Glagaharjo, Cangkringan. Keempat relawan pemberani itu mempertaruhkan nyawa demi menyelamatkan warga. Mereka tewas terpanggang awan panas sebelum kendaraan evakuasi berhasil mencapai dusun itu. Namun berkat keberanian mereka, puluhan warga yang tertinggal berhasil dievakuasi saat kondisi Merapi sedang mengamuk. Mereka menolong tanpa butuh puja-puji dan tepuk tangan. Semangat dan hati nurani para relawan patut diapresiasi. Keberadaan relawan diharapkan menjadi sumber inspirasi bagi korban bencana. Mereka bisa membantu diri sendiri tanpa menggantungkan sepenuhnya nasib kepada pejabat dan negara. Terlebih, negara sering absen di daerah bencana. Salut untuk relawan. Teruslah berada di garis depan.(JUM/ANS)

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

Video Terkini