Sukses

Hendarman dan Kursi Panas Jaksa Agung

Putusan Mahkamah Konstitusi yang disusul keputusan presiden, akhirnya menyudahi jabatan Hendarman Supandji sebagai orang nomor satu di Korps Adhyaksa. Sekalipun pelaksana tugas sudah ditunjuk, jabatan Jaksa Agung tetap dinilai kursi panas.

Liputan6.com, Jakarta: Pekan keempat September ini pastilah hari-hari yang teramat panjang dan berat bagi Hendarman Supandji. Bagaimana tidak? Lelaki berusia 63 tahun ini harus mengakhiri jabatan sebagai Jaksa Agung yang diemban sejak Mei 2007. Kendati demikian, Hendarman menerima dengan ikhlas pemberhentian dirinya sebagai Jaksa Agung oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, setelah Mahkamah Konstitusi memenangkan sebagian permohonan mantan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Yusril Ihza Mahendra terhadap uji materi Undang-undang Kejaksaan. Ya, gugatan Yusril di Mahkamah Konstitusi, Rabu pekan silam memang menyudahi kedudukan Hendarman sebagai orang nomor satu di korps kejaksaan.

Tak tega dengan para wartawan yang mengancam akan memasang tenda demi menunggu di depan rumah dinas, mantan Ketua Tim Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi ini pun menyampaikan sikapnya. Hendarman mengaku sempat bertemu dengan Presiden Yudhoyono di kawasan Padalarang, Kabupaten Bandung Barat, Jawa Barat, Jumat malam pekan silam, untuk membahas masalah pergantian jabatannya.

Jaksa karier ini juga langsung mengembalikan kendaraan kantor dan minta waktu beberapa hari untuk berada di rumah dinas guna membereskan barang-barangnya, sebelum dipindahkan ke kediaman pribadi. Tidak hanya ikhlas melepas jabatannya, Hendarman juga mengaku tidak dendam kepada Yusril, mantan mitranya di pemerintahan. Hendarman hanya berpesan: "Biar bumi runtuh sekalipun kejaksaan tetap harus menegakkan hukum."

Sikap ini jelas berbeda beberapa hari sebelumnya, terutama saat Mahkamah Konstitusi mengeluarkan keputusan tersebut. Sehari setelah keputusan Mahkamah Konstitusi, Hendarman tetap pergi ke kantornya di bilangan Jalan Hasanuddin, Jakarta Selatan. Saat itu, mantan Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (Jampidsus) ini mengaku dirinya masih menunggu putusan presiden. Dan, karena masih digaji dirinya akan tetap ngantor.

Sementara, menyinggung soal kasus dugaan korupsi Sistem Administrasi Badan Hukum (Sisminbakum) dengan Yusril Izha Mahendra sebagai tersangka, menurut Hendarman tidak berhubungan dengan statusnya yang diputuskan MK. "Kasus korupsi Sisminbakum tetap jalan karena hal tersebut diatur dalam KUHP (Kitab Undang-undang Hukum Pidana)," kata Hendarman.

Penolakan pun sempat dari kalangan istana. Adalah Menteri Sekretaris Negara (Mensesneg) Sudi Silalahi yang sempat menolak putusan Mahkamah Konstitusi tersebut. "Keputusan MK yang menyatakan sejak [Rabu] pukul 14.35 WIB Jaksa Agung tidak lagi memiliki kewenangan adalah tidak benar," kata Sudi.

Segendang sepenarian, Staf Khusus Presiden Bidang Hukum Denny Indrayana pun menyuarakan penolakan. Usai sidang di MK, ia mengatakan bahwa Jaksa Agung Hendarman Supandji tetap dianggap sah karena putusan Mahkamah Konstitusi tidak menyiratkan kata-kata ilegalitas jaksa agung.

Pro-kontra bermunculan. Jurhum Lantong, misalnya. Anggota tim kuasa hukum Yusril Ihza Mahendra ini menilai putusan Mahkamah Konstitusi soal legalitas Hendarman Supandji sebagai Jaksa Agung seharusnya bisa sebagai momentum untuk memulihkan integritas lembaga penegakan hukum. Menurut Jurhum, keputusan Mahkamah Konstitusi seharusnya juga tidak ditafsir berbeda oleh Staf Khusus Presiden Bidang Hukum Denny Indrayana dan Mensesneg Sudi Silalahi. "Semestinya Presiden jangan lagi mudah terkecoh dengan orang dekatnya," lanjut Jurhum.

Ketua Mahkamah Konstitusi Mahfud MD menyatakan hal biasa jika putusan lembaganya menuai pro dan kontra, termasuk putusan mengenai jabatan jaksa agung. "Mana ada putusan MK yang langsung diterima. Mesti ada saja yang tak puas," kata Mahfud.

Polemik ini tak berlanjut. Presiden Yudhoyono akhirnya mengeluarkan keputusan presiden (Keppres Nomor 104 tanggal 24 September 2010) mengenai posisi Jaksa Agung. Hendarman Supandji kini tak lagi menduduki posisi puncak pimpinan Korps Adhyaksa tersebut. Setelah putusan Mahkamah Konstitusi tentang status Jaksa Agung, keppres tersebut pun lantas menuai banyak respons positif.

Pengamat politik Lembaga Survei Indonesia (LSI) Burhanuddin Mustadi mengatakan dirinya tidak mencium adanya desakan pihak mana pun dalam putusan tersebut. Presiden justru dinilai telah bertindak bijak, sebab tidak tenggelam dalam polemik berkepanjangan para elite politik mengenai legalitas Jaksa Agung. Selain itu, keppres ini dapat menimbulkan citra baik bagi SBY sendiri.

Langkah Presiden Yudhoyono memberhentikan dengan hormat Hendarman Supandji sebagai Jaksa Agung dinilai Ketua Umum Partai Demokrat Anas Urbaningrum sudah sangat tepat. Sebab, keputusan Presiden itu bisa mengakhiri polemik. Hanya saja, Anas mengakui putusan Mahkamah Konstitusi tentang uji materi dalam Undang-undang Kejaksaan yang diajukan mantan Menteri Kehakiman Yusril Ihza Mahendra itu menuai banyak perdebatan dan kontroversi tafsir hukum.

Berbeda dengan Anas, anggota Komisi III DPR Gayus Lumbuun menilai pemberhentian Hendarman Supandji sebagai Jaksa Agung oleh Presiden Yudhoyono justru meninggalkan persoalan baru. Seharusnya, menurut Gayus, SBY memperbaiki kesalahan administrasi atau melakukan reparatoir.

Gayus menjelaskan, sebaiknya SBY melantik Hendarman Supandji terlebih dulu untuk mengisi kekosongan administrasi sebelumnya. Pelantikan itu untuk memulihkan keadaan, yang dalam hukum administrasi negara dikenal dengan asas reparatoir. Presiden bisa memulihkan keadaan dengan memperbaiki kesalahan administrasi negara. "Setelah itu Presiden bisa setiap saat melimpahkan jabatan Jaksa Agung kepada siapa saja dengan hak prerogatifnya," tegas anggota DPR dari Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan ini.

Lebih jauh Gayus mengatakan, dengan tidak melakukan reparatoir, maka akan banyak orang yang mempersoalkan. Sebab, tindakan hukum yang dipimpin Jaksa Agung yang tak sah, akan tidak sesuai dengan administrasi negara.

Komentar positif datang dari Tjatur Sapto Edy. Ketua Fraksi Partai Amanat Nasional ini menilai pemberhentian dengan hormat Hendarman Supandji sebagai Jaksa Agung sudah tepat. Langkah Presiden Yudhoyono itu meredam kontroversi hukum yang berkembang. Menurut Tjatur, keppres tersebut sangat tepat sebagai landasan penegakan hukum yang dilakukan Kejaksaan Agung. Keppres itu dinilai sangat antisipatif. "Kalau tidak ada keppres ini, seluruh kebijakan Kejaksaan Agung digugat orang. Dan itu membuat orang menjadi gamang," kata politisi yang tak lain Wakil Ketua Komisi III Bidang Hukum DPR ini.

Terlepas dari kontroversi di atas, saat ini Wakil Jaksa Agung Darmono resmi menempati posisi pelaksana tugas Jaksa Agung. Terutama, setelah Presiden Yudhoyono mengeluarkan keppres yang memberhentikan Hendarman Supandji dari jabatannya. Sekalipun demikian, perdebatan mengenai asal-usul jaksa agung terus bergulir. Jaksa karier dinilai sulit berkomiten dalam penuntasan korupsi di tubuh kejaksaan.

Wakil Koordinator Badan Pekerja Indonesia Corruption Watch (ICW) Emerson Yuntho memandang Presiden harus segera menunjuk jaksa agung selanjutnya. Keberadaan Jaksa Agung sementara dinilai kurang meyakinkan. Apalagi, imbuh Emerson, ICW sendiri belum menemukan adanya calon yang layak dari delapan nama jaksa karier yang diajukan Hendarman, termasuk Darmono. Menurut Emerson, dari calon internal yang ada belum memenuhi kriteria. Ia berharap posisi Darmono hanya sementara dan jaksa agung mendatang menjadi tugas penting Presiden SBY selanjutnya.

Adapun delapan calon yang sempat diajukan Hendarman dan beredar di kalangan pers adalah Darmono (Wakil Jaksa Agung yang saat ini pelaksana tugas Jaksa Agung), M. Amari (Jaksa Agung Muda Pidana Khusus), Hamzah Tadja (Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus), Marwan Effendy (Jaksa Agung Muda Pengawas), Edwin P. Situmorang (Jaksa Agung Muda Intelijen), Iskamto (Jaksa Agung Muda Pembinaan), Kemal Sofyan (Jaksa Agung Muda Perdata dan Tata Usaha Negara), dan Zulkarnain Yunis (Staf Ahli Jaksa Agung).

Boleh dibilang, rangkaian pencopotan Hendarman bermula dari kisruh kasus dugaan korupsi Sisminbakum di Departemen Hukum dan HAM yang menimbulkan kerugian negara hingga Rp 417 miliar. Kasus ini menyeret mantan Menkum dan HAM Yusril Ihza Mahendra sebagai salah satu tersangka korupsi.

Namun, dalam perkembangannya, Yusril menolak diperiksa karena menuding Jaksa Agung Hendarman Supandji tidak sah dan memperkarakannya pada Mahkamah Konstitusi. Hingga akhirnya Mahkamah Konstitusi mengeluarkan keputusan yang mengabulkan sebagian gugatan Yusril.

Menanggapi keputusan Mahkamah Konstitusi, Yusril yang juga merupakan mantan Menteri Sekretaris Negara menganggap sebagai kemenangan konstitusi dan demokratis. Ia menilai pencopotan Hendarman Supandji sebagai Jaksa Agung sebagai langkah tepat pemerintah. Yusril menganggap dalam kasus yang menyeret dirinya sebagai tersangka kasus pidana korupsi tersebut banyak bermuatan intrik politik untuk menjatuhkan citra dirinya. Lantaran itulah, ia menegaskan tak akan sudi dibui.

"Bagi Presiden, pemerintah, dan siapa saja, putusan MK kemarin adalah suatu pelajaran berharga," kata Yusril di Jakarta, Sabtu silam. Yusril mengungkapkan bahwa kebersamaan dalam membangun bangsa dan negara sangatlah mutlak. Semuanya adalah warga bangsa yang sama-sama mencintai bangsa Indonesia. Karena itu pula, Yusril berujar bahwa tidak ada yang menang maupun kalah dalam kasus tersebut.

Untuk melaksanakan tugas dan wewenang Jaksa Agung hingga terpilihnya jaksa agung definitif, pemerintah menugaskan Wakil Jaksa Agung Darmono. Seiring dengan itu, perdebatan mengenai asal-usul jaksa agung mendatang masih berlanjut. Banyak pihak meragukan integritas delapan nama calon Jaksa Agung pilihan Hendarman Supandji. Belum ditemukan sosok unggulan yang dinilai mampu membawa kejaksaan pada citra yang lebih baik.

Kendati Jaksa Agung boleh berasal dari mana saja, pihak kejaksaan tetap berkeinginan jaksa karier sebagai pemimpin Korps Adhiyaksa tersebut. Namun, bukan berarti delapan nama jaksa karier pilihan Hendarman merupakan pilihan satu-satunya. Calon komisioner Komisi Kejaksaan Halius Hosen mengatakan masih banyak nama jaksa karier lainnya yang berkompeten menduduki posisi Jaksa Agung.

Lantas, apa kata istana? "Yang pasti, Presiden SBY tidak akan memilih jaksa agung dari partai politik," kata Staf Khusus Presiden, Heru Lelono. Menurut Heru, SBY juga mempertimbangkan calon dari eksternal Kejaksaan Agung. "Pasti, Presiden Yudhoyono akan mempertimbangkan calon dari luar juga," ujar Heru.

Heru pun menilai figur Hendarman dinilai cocok jika ditempatkan dalam Komisi Kejaksaan. "Saya menilai, Pak Hendarman sangat pantas untuk masuk dalam jajaran Komisi Kejaksaan," kata Heru.

Usulan itu memang bisa dipertimbangkan oleh Hendarman. Sementara, "kursi panas" jaksa agung tetap mengundang perdebatan.(ANS/dari berbagai sumber)

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.