Sukses

Redenominasi, Kebijakan yang Tak Sederhana

Redenominasi atau penyederhanaan nilai nominal rupiah dapat diterapkan di Indonesia, jika kondisi ekonomi stabil. Menurut DPR, redenominasi bisa mengacaukan sistem ekonomi jika tidak dilakukan sosialisasi dengan baik.

Liputan6.com, Jakarta: Wacana redenominasi atau penyederhanaan nilai nominal rupiah (tanpa mengubah nilai tukarnya) yang dilontarkan Bank Indonesia (BI), hingga kini masih menuai pro-kontra. Menurut para bankir, kebijakan ini bakal memiliki efek yang sangat besar bagi industri perbankan. Selain itu, rencana redenominasi rupiah bakal memakan biaya tinggi.

Rencana redenominasi bukan hanya menimbulkan polemik. Masyarakat juga merasa resah karena rencana tersebut mengingatkan kembali pada pemotongan nilai rupiah atau sanering yang membawa kekacauan pada masa pemerintahan Soekarno. Lantaran itu pula protes bermunculan, baik dari kalangan perbankan, analis, ekonom, dan pengusaha [baca: Redenominasi Bukan Sanering].

Namun, Gubernur Bank Indonesia terpilih Darmin Nasution mengatakan masyarakat tak perlu khawatir dan resah. Darmin meyakinkan penerapan redenominasi tidak akan merugikan masyarakat dari sisi nilai rupiah. Prosesnya juga, kata Darmin, dipercaya tidak akan diikuti inflasi.

BI juga menegaskan lagi redenominasi bukanlah sanering seperti yang dilakukan di masa Soekarno. Melalui redenominasi, rencananya tiga angka nol akan dihapus. "Redenominasi ini terminologi yang tidak terlalu mudah buat lidah kita, tetapi pengertiannya bukan sanering atau pemotongan nilai uang," ujar Darmin.

Tapi, apa pun istilahnya, masyarakat terutama orang awam tetap merasa bingung. Penyederhanaan nilai nominal rupiah dikhawatirkan akan menyulitkan mereka jika akan melakukan transaksi atau pembelian barang.

Menurut Darmin, redenominasi hanya merupakan penyederhanaan penyebutan satuan harga maupun nilai mata uang. Artinya, pecahan mata uang disederhanakan tanpa mengurangi nilai dari uang. Misalnya, Rp 1.000 akan menjadi Rp 1, Rp 1.000.000 jadi Rp 1.000. Tapi, nilai uang sebelum dan sesudah redenominasi itu sama.

Masyarakat nanti bisa pergi ke bank untuk menukarkan uang lama sebesar Rp 1.000 dengan uang baru Rp 1. Sedang jika menukarkan uang lama Rp 100.000 akan diganti dengan uang Rp 100. Nilai keduanya sama. Untuk uang baru, BI berencana menuliskan kata "uang baru" di kertas uang. Untuk pecahan kecil, maka akan ada uang baru berupa koin atau logam dengan pecahan sen.

Untuk pembelian barang, nantinya sebuah barang akan diberi dua label harga. Contohnya, baju yang saat ini seharga Rp 100.000, akan ditempeli label tambahan "harga dengan uang baru Rp 100". Apabila seseorang membeli baju tersebut dengan uang lama, maka dia harus membayar senilai Rp 100.000. Tapi, jika membayar dengan uang baru, maka dia membayar senilai Rp 100.

Redenominasi sebenarnya sudah diterapkan di sejumlah restoran dan penjual pulsa telepon seluler. Coba diingat lagi ketika makan atau minum di sejumlah restoran. Pasti sering disodori menu dengan harga tanpa tiga nol di belakangnya.

Dengan cara begitu, apakah pemilik restoran sudah mengantisipasi pemangkasan tiga angka nol? Ternyata, tidak juga. Menurut Rahmat A. Benaya, supervisor salah satu restoran, itu hanya cara mereka agar menu terlihat artistik dan indah. Dan pengunjung restoran pun sepertinya terlihat tidak bingung dan paham berapa harga yang harus dibayar.

Agar kebingungan tak berlanjut, BI sudah menyusun tahapan-tahapan untuk memuluskan rencana ini. Mulai tahun depan BI akan melakukan tahap sosialisasi mengenai redenominasi ke seluruh lapisan masyarakat. Sosialisasi juga bakal menyentuh aspek akuntansi atau pencatatan di seluruh instansi pemerintah maupun swasta.

Sementara itu, di mata pengamat, penerapan redenominasi hanya akan berdampak psikologis sehingga akan banyak nasabah bank yang menukarkan uangnya dari rupiah ke dolar. Menurut ekonom Universitas Gadjah Mada (UGM) Prof. DR. Nopirin, redenominasi dapat diterapkan di Indonesia dalam kondisi ekonomi stabil seperti inflasi terkendali, neraca pembayaran bagus atau surplus, defisit anggaran negara (APBN) terjaga.

Hanya saja Nopirin mengingatkan untuk melaksanakan redenominasi itu tidak gampang. BI harus mengajukan kepada Presiden dan harus mendapat persetujuan DPR. Jika DPR setuju maka redenominasi baru dapat dilaksanakan.

Apa yang disampaikan pengamat ternyata benar. DPR menyatakan menolak rencana redenominasi. Menurut anggota Komisi VI DPR, Erlangga Hartarto, "Rencana redenominasi itu hanya sebatas wacana dan DPR sudah menolak," katanya.

Alasan DPR menolak usulan BI itu karena dinilai pengurangan jumlah angka pada mata uang rupiah hanya akan membuat resah masyarakat saja. Redenominasi juga diyakini bisa mengacaukan sistem ekonomi jika tidak dilakukan sosialisasi dengan baik [baca: Redenominasi Rupiah Masih Dikaji BI].

Redenominasi, seperti ditegaskan BI, bukan sanering atau pemotongan daya beli masyarakat melalui pemotongan nilai uang. Sanering adalah pemotongan uang dalam kondisi perekonomian yang tidak sehat, di mana yang dipotong hanya nilai uangnya.

Kejadian tersebut pernah dialami sewaktu pemerintahan Soekarno. Pada 24 Agustus 1959, Kabinet Kerja I menggelar rapat yang dipimpin langsung Presiden Soekarno dan Menteri Pertama Ir. Djuanda Kartawidjaja.

Hasil rapat yang diumumkan melalui Radio Republik Indonesia (RRI) sangat menghebohkan masyarakat. Pemerintah saat itu memutuskan menurunkan jumlah uang beredar dengan cara memotong dua uang kertas yang memiliki nilai pecahan terbesar, yaitu Rp 500 yang bergambar macan dan Rp 1.000 bergambar gajah.

Nilai masing-masing uang diturunkan hingga tinggal 10 persen. Macan yang semula mempunyai nilai Rp 500 berubah menjadi Rp 50, sedangkan gajah yang semula Rp 1.000 berubah jadi Rp 100. Namun, pemotongan ini tidak terjadi dengan nominal-nominal yang lebih kecil.

Berdasarkan buku sejarah BI, keputusan itu didasarkan pada Undang-undang (UU) No. 2 Prp. Tahun 1959. Isinya, pemerintah melakukan sanering uang pada 25 Agustus 1959 dengan menurunkan nilai uang pecahan Rp 500 dan Rp 1.000 menjadi Rp 50 dan Rp 100. Langkah ini dilakukan untuk menangani laju inflasi yang terus berlangsung hingga awal 1960-an.

Pada 13 Desember 1965, Soekarno juga melakukan kebijakan yang sama. Langkah ini dipicu adanya kebutuhan anggaran pemerintah untuk proyek-proyek politik semakin meningkat akibat isu konfrontasi yang terus dilakukan dengan Belanda dan Malaysia. Kebijakan ini justru meningkatkan beban pemerintah, jumlah uang beredar, dan inflasi. Defisit anggaran justru semakin meningkat. Pada 1961, pemerintah mengalami defisit anggaran hingga 29,7 persen, lalu 38,7 persen (1962), 50,8 persen (1963), 58,4 persen (1964), dan 63,4 persen (1965).

Tidak ada salahnya memang melihat pengalaman masa lalu, terutama agar tak salah langkah.(IAN/ANS)

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.