Sukses

Perspektif Khitah 1926

"NU agar kembali ke khitah 1926 atau organisasi masyarakat keagamaan yang hanya bergerak di bidang pendidikan, sosial, dan ekonomi," imbau K.H. Sahal Mahfudz. "Selama ini, pelaksanaan khitah itu belum maksimal."

Liputan6.com, Jakarta: Gema takbir dan salawat badar berkumandang penuh syahdu dari arena Muktamar ke-32 Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (NU) di Asrama Haji Sudiang, Makassar, Sulawesi Selatan, akhir pekan lalu. Kalimat pujian untuk Yang Maha Besar dan Rasulallah SAW merupakan pertanda, perhelatan akbar kaum nahdiyin telah usai seraya mengantarkan K.H. Sahal Mahfudz ke "singgasana" Rois Am  dan K.H. Said Aqil Siradj sebagai Ketua Tanfidziyah.

"NU agar kembali ke khitah 1926 atau organisasi masyarakat keagamaan yang hanya bergerak di bidang pendidikan, sosial, dan ekonomi," imbau K.H. Sahal Mahfudz. "Selama ini, pelaksanaan khitah itu belum maksimal."

Apa kabar dengan khitah 1926?

Jombang, Jawa Timur, 31 Januari 1926 silam. Kaum ulama, di antaranya K.H. M Alwi Abdul Aziz, K.H. Hasyim Asy`ari, dan K.H. Abdul Wahab Hasbullah, merintis sebuah organisasi keagamaan berpondasikan sebuah khitah (cita-cita, garis haluan, atau landasan perjuangan). Makna tersirat dari pondasi itu adalah roda organisasi sepenuhnya berada di bawah genggaman kaum ulama serta organisasi tidak terikat organisasi politik dan organisasi kemasyarakatan lain.

Sedangkan fokus kegiatan organisasi itu adalah penanganan masalah-masalah pendidikan, sosial, dan ekonomi. Pilihan itu terkait dengan dampak penjajahan Belanda yang memang sangat menyengsarakan dan membodohkan rakyat.

Catatan sejarah itu menegaskan bahwa perspektif para kiai sepuh memang benar-benar terarah pada masalah-masalah di luar politik. Apalagi, politik praktis. Sebaliknya, melayani masyarakat --dengan cara-cara yang Islami-- ditempatkan di barisan terdepan.

Dalam perjalanannya, kiprah pendidikan, sosial, dan ekonomi, itu harus bersentuhan juga dengan wilayah politik. Pada 1930, NU berusaha menggalang organisasi-organisasi Islam lain untuk menanggapi berbagai ordonansi pemerintah kolonial Belanda yang merugikan umat Islam. Idealnya, peran itu dilakukan partai politik.

Selang 22 tahun, NU resmi menjadi partai politik dan semakin leluasa "memainkan" visi keagamaannya untuk meronakan politik di Tanah Air. Sebelumnya, suara kaum nahdiyin dialirkan kepada Masyumi.

Setelah partai-partai Islam menyatu dalam bendera Ka`bah (Partai Persatuan Pembangunan) pada 1973, para politisi NU mulai dihadapkan kepada berbagai persoalan pelik. Satu sisi berkeinginan memulihkan perspektif kiai sepuh dan di sisi lain berharap bisa berperan lebih dalam bingkai kenegaraan--dengan kendaraan politik.

Muktamar ke-26 NU di Semarang, Jawa Tengah, pada 1979 menjadi momen kembalinya organisasi itu ke khitah 1926. Sayangnya, hal itu masih sebatas konsep karena banyak politisi NU masih bermukim di Gedung DPR/MPR, Senayan (56 dari 99 anggota Fraksi Persatuan Pembangunan berasal dari NU).

Akhirnya, Muktamar ke-26 NU di Situbondo, Jawa Timur, menjadi gong reborn organisasi itu dengan khitah 1926-nya. Dengan demikian, warga nahdiyin menjadi floating mass yang menggiurkan bagi partai politik mana pun.

Meski demikian, ternyata momen itu belum cukup ampuh untuk meyakinkan warga NU tentang komitmen untuk tidak berpolitik praktis. Prinsip komunikasi yang irreversible (tidak bisa ditarik setelah pesan dilepaskan) dan dinamis (selalu menjadi wacana) begitu lekat dengan topik khitah. Hampir setiap muktamar, kaum nahdiyin sibuk juga bersuara tentang "pondasi sakral" itu. Termasuk, Muktamar ke-32 kemarin.

"Pimpinan NU yang mengincar jabatan politik dari bupati, wali kota, hingga presiden, harus mundur dari jabatannya," seru Ketua Panitia Muktamar ke-32 NU K.H. Hafidz Utsman. "Keputusan komisi organisasi, pengurus harian yang akan mencalonkan diri untuk jabatan politik harus mengundurkan diri."

Seiring dengan itu, para politisi didikan NU kerap masih memancing para kiai yang sudah "berzuhud" secara politik untuk memberesi konflik internal Partai kebangkitan Bangsa (PKB). "Kami berharap, pengurus NU yang baru nanti bisa menengahi persoalan yang terjadi di tubuh PKB," kata Effendi Choirie, anggota Komisi I DPR dari PKB.

Maka, di tengah kondisi bangsa yang terus diguncang ketidakpercayaan akan sistem hukum, sistem politik, bahkan sistem budaya, konteks khitah 1926 menjadi sangat strategis. Kaum ulama masa kini perlu meyakini perspektif para kiai sepuh tentang kesakralan pondasi organisasinya, yang memang ingin berperan lebih di luar wilayah politik. 

Bahwa manajemen perubahan bangsa ini membutuhkan masukan dan peran dari semua kalangan. Termasuk, kaum ulama. Namun, kesadaran akan porsi dan kualitas peran juga menjadi salah poin penting dalam agenda perubahan itu. Sehingga NU dengan pimpinan barunya plus agenda khitahnya juga memiliki porsi tersendiri dan mampu berbuat lebih dengan kapasitas yang dimilikinya.

Poin terpenting lagi --berdasarkan pendekatan tradisi fenomenologi dalam terminologi Ilmu Komunikasi-- Ketua Rois AM (bahkan Ketua Tanfidziyah) bukanlah tipe pimpinan sekadar hasil aklamasi atau votting. Mereka dipilih karena memang dinilai amanah dan sesuai petunjuk dari Yang Maha Memberikan Petunjuk. Karena itu, kaum nahdiyin, bahkan kaum muslim lain, sangat berharap amanah itu menjelmakan rahmatin lil `alamin untuk bangsa dan negeri ini.(SHA)

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.